
Cianjur, Jawa Barat — Di balik lekuk-lekuk sejarah tanah Sunda, terpatri nama besar seorang bangsawan Banjar yang hidup dihormati di Cianjur pada paruh pertama abad ke-20: Pangeran Musa Wirakusuma IV. Ia bukan hanya cucu dari Pangeran Mangkubumi Sultan Ratu Anom Wirakusuma II bin Sultan Muda abdurrahman Bin Sultan adam— tokoh penting dalam garis keturunan Kesultanan Banjar — tetapi juga sosok yang sangat terpandang karena kekayaan, integritas, dan kedekatannya dengan masyarakat setempat.

“Antara Haji dan Pangeran: Cerita Sepasang Tokoh Banjar dalam Bayang Kolonial”Warisan Martabat dari Pangeran Musa dan Nyo. R.E. Maemunah: Gelar Haji dan Bangsawan Banjar dalam Lintasan Sejarah Kolonial: Studi Sosial-Budaya Keluarga Wirakusuma”
Dalam catatan keluarga, Kakek saya Pangeran Musa Wirakusuma IV dikenal hidup pada masa antara tahun 1900 hingga 1965. Ia menikah dengan bangsawan Sunda dari Cianjur. Nyo. R.E. Maemunah Lahir: 12 Februari 1928 Wafat: 26 Maret 2012 di Cianjur. Putri dari Tuan Haji Sobari, tokoh masyarakat dengan gelar haji yang dihormati di Cianjur Jawa Barat
Nenek saya Nyo. R.E. Maemunah bangsawan Sunda dari Cianjur. Lahir pada 12 Februari 1928, Maemunah berasal dari keluarga terhormat — putri dari Tuan Haji Sobari, seorang tokoh masyarakat yang disegani. Ia wafat pada 26 Maret 2012, membawa serta kenangan panjang tentang kebesaran masa lalu.
Gelar “Haji”: Simbol Identitas dan Perlawanan
Dalam konteks kolonial Hindia Belanda, gelar “Haji” bukan hanya tanda telah menunaikan ibadah haji, tetapi juga menjadi simbol kekuatan moral, spiritualitas Islam, dan bentuk perlawanan kultural terhadap dominasi kolonial. Di kalangan bangsawan seperti keluarga Pangeran Musa dan Tuan Haji Sobari, gelar ini memiliki posisi yang bahkan dapat mengungguli gelar aristokratik.
Sejarawan Sartono Kartodirdjo mencatat bahwa pemerintah kolonial sering mencurigai para Haji sebagai motor gerakan keagamaan dan perlawanan lokal. Namun dalam masyarakat, mereka justru dijunjung tinggi sebagai pemimpin moral dan sosial.
R.E. Maemunah: Sebuah Identitas Perempuan Aristokrat
Gelar “Nyo.” (Nyonya) dalam nama Maemunah menunjukkan status kehormatan bagi perempuan bangsawan atau istri tokoh masyarakat. Sementara singkatan “R.E.” yang menyertainya masih menjadi bahan kajian. Diduga, ini bisa merujuk pada Raden Endang, Ratu Endah, atau bahkan bentuk lokal dari adaptasi gelar kolonial seperti halnya pada Laksamana R.E. Martadinata.
Pernikahannya dengan cucu langsung Kesultanan Banjar menjadi contoh lanjutan dari strategi aliansi dinasti yang mempertahankan darah biru dan pengaruh sosial-politik melalui perkawinan lintas elite.
Dari Warisan Budaya ke Ironi Modernitas
Pangeran Musa dikenal memiliki banyak tanah dan rumah di berbagai wilayah Cianjur, menjadikannya tokoh yang sangat dihormati pada zamannya. Namun seiring waktu, aset-aset itu lambat laun berpindah tangan. Menurut pengakuan keluarga, sebagian besar tanah dan rumah peninggalan kakek tersebut telah dijual, bahkan hingga habis oleh generasi penerus.
Tak hanya warisan fisik, kisah keris pusaka milik Pangeran Mangkubumi — yang sempat dipinjam oleh salah satu putra Presiden Soeharto — juga menjadi simbol tersendiri tentang penghargaan terhadap leluhur dan kekuatan spiritual benda pusaka dalam budaya kerajaan Banjar.
Makam dan Penanda Zaman
Keunikan lain adalah penanda makam mereka. Batu nisan Pangeran Musa masih menggunakan batu alami yang diukir, khas zaman dahulu. Sementara nisan Nyo. R.E. Maemunah, yang wafat pada era modern, sudah menggunakan keramik. Ini menunjukkan perbedaan zaman dan transisi nilai dari generasi ke generasi.
Antara Darah Biru, Spiritualitas, dan Realita
Kisah Pangeran Musa Wirakusuma IV dan Nyo. R.E. Maemunah bukan sekadar catatan silsilah keluarga bangsawan. Mereka adalah representasi dari identitas lokal yang berusaha bertahan di tengah gempuran kolonialisme, modernisasi, dan pergeseran nilai kekeluargaan. Bahwa dalam pusaka, nama, dan makam pun, terkandung jejak sejarah yang tak ternilai — sebuah warisan yang lebih dari sekadar harta.
> “Kehormatan tidak hanya diturunkan melalui darah biru, tetapi juga melalui kesalehan, cinta tanah air, dan keteguhan dalam menjaga jati diri.”
“Kisah Pangeran Musa Wirakusuma IV dan Nyo. R.E. Maemunah bukan sekadar narasi sejarah keluarga, tetapi refleksi identitas budaya dan spiritual masyarakat Banjar dan Kesultanan Banjar di tengah bayang kolonialisme. Warisan nilai mereka meneguhkan bahwa kehormatan tidak hanya diturunkan melalui darah biru, tetapi juga melalui kesalehan, cinta tanah air, dan keteguhan dalam menjaga jati diri.”

Menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo, pada era kolonial, pemerintah Belanda mencurigai para Haji sebagai agen perlawanan kultural dan agama. Namun ironisnya, dalam banyak komunitas lokal, gelar haji justru diinternalisasi sebagai simbol status sosial tertinggi, bahkan mengalahkan gelar kebangsawanan dalam beberapa kasus. Hal ini menunjukkan bahwa keberangkatan haji memiliki makna spiritual sekaligus politik di tengah dominasi kolonial.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Antara Haji dan Pangeran: Cerita Sepasang Tokoh Banjar dalam Bayang Kolonial”Warisan Martabat dari Pangeran Musa dan Nyo. R.E. Maemunah: Gelar Haji dan Bangsawan Banjar dalam Lintasan Sejarah Kolonial: Studi Sosial-Budaya Keluarga Wirakusuma”
Untuk mengenang dua sosok yang telah mendahului kita, tetapi juga untuk menapak jejak nilai, kehormatan, dan warisan budaya yang mereka tinggalkan: Pangeran Musa Wirakusuma IV dan Nyonya R.E. Maemunah binti Tuan Haji Sobari.
Beliau berdua bukan hanya suami istri dari keluarga bangsawan, tetapi simbol dari pertautan dua dunia: dunia spiritual yang ditandai dengan gelar Haji, dan dunia aristokratik dari Kesultanan Banjar.
Di masa penjajahan Belanda, ketika gelar kebangsawanan ditekan dan nilai-nilai Islam dicurigai, mereka tetap teguh mempertahankan identitasnya. Ayahanda dari Ibu Maemunah, yaitu Haji Sobari, memilih gelar haji bukan sebagai simbol perjalanan fisik semata, tetapi sebagai penanda moralitas dan kemuliaan.
Dan dalam keluarga Wirakusuma, garis keturunan Sultan Adam dipertahankan, tidak dengan pedang dan mahkota, tetapi dengan akhlak dan warisan nilai.
Semoga kita, sebagai generasi penerus, tidak hanya mewarisi nama, tetapi juga semangat dan integritas mereka.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
———————–
Di tengah kompleksitas zaman kolonial, masyarakat lokal seringkali harus memilih antara mempertahankan identitas atau berkompromi demi keselamatan. Namun, bagi Pangeran Musa Wirakusuma IV dan Nyo. R.E. Maemunah, identitas bukan untuk ditawar.
Sebagai bagian dari keluarga Kesultanan Banjar, Pangeran Musa mewarisi garis darah raja-raja yang pernah memimpin Kalimantan Selatan. Namun, lebih dari sekadar status, ia mewariskan nilai moral dan kesantunan aristokratik yang diwarisi turun-temurun.
Sementara itu, sang istri, Nyo. R.E. Maemunah, datang dari keluarga religius. Ayahnya, Tuan Haji Sobari, memilih gelar haji sebagai simbol kehormatan yang lebih tinggi daripada bangsawan. Ini menunjukkan betapa dalam masyarakat Banjar, agama dan tradisi berdiri sejajar dan saling menguatkan.
Kisah mereka adalah bukti bahwa identitas lokal bisa tetap kuat, bahkan ketika berada dalam tekanan kolonial. Di makam mereka di Cianjur, dua batu nisan berdampingan bukan hanya menyimpan nama, tapi juga sejarah, warisan, dan semangat zaman.
1. Infografik Akademik
Identitas Tokoh
Pangeran Musa Wirakusuma IV Cucu dari Pangeran Mangkubumi Sultan Ratu Anom Wirakusuma II Memiliki garis keturunan langsung Kesultanan Banjar
beristri
Nyo. R.E. Maemunah binti Tuan Haji Sobari
Lahir: 12 Februari 1928
Wafat: 26 Maret 2012 di Cianjur
Putri dari Tuan Haji Sobari, tokoh masyarakat dengan gelar haji yang dihormati di Cianjur Jawa Barat
Signifikansi Gelar “Haji”
Pada masa kolonial Belanda, gelar “Haji” menjadi simbol perlawanan kultural dan otoritas moral di tengah tekanan kolonial.
Di kalangan keluarga bangsawan, gelar ini digunakan bersanding bahkan melampaui gelar aristokratik sebagai bentuk pengakuan religius dan sosial.
Makna Gelar “R.E.”
Kemungkinan merupakan singkatan aristokratik, seperti Raden Endang atau serupa. Perlu eksplorasi lebih lanjut dalam konteks sosial-kultural Banjarmasin dan pengaruh kolonial.
Simbolisme Kultural
Perpaduan gelar keagamaan dan bangsawan menunjukkan:
Konsolidasi identitas Islam dan lokal
Aliansi budaya dalam struktur keluarga kerajaan
Ketahanan nilai tradisi dalam tekanan kolonialisme
Penjabaran arkeologis, historis, dan akademis tentang Pangeran Musa Wirakusuma IV dan Nyo. R.E. Maemunah binti Tuan Haji Sobari

Pangeran Musa Wirakusuma IV dan Nyo. R.E. Maemunah: Integrasi Gelar Haji dan Bangsawan dalam Budaya Kolonial Banjar
1. Konteks Historis: Gelar Haji dalam Era Kolonial
Pada masa kolonial Hindia Belanda, gelar “Haji” tidak sekadar menandai individu yang telah menunaikan ibadah haji ke Makkah, tetapi juga menjadi simbol kekuatan moral, sosial, Kekayaan Melimpah dan identitas keislaman yang penting di kalangan masyarakat pribumi, terutama dalam konteks kerajaan-kerajaan Islam seperti Kesultanan Banjar.
*Menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo, pada era kolonial, pemerintah Belanda mencurigai para Haji sebagai agen perlawanan kultural dan agama. Namun ironisnya, dalam banyak komunitas lokal, gelar haji justru diinternalisasi sebagai simbol status sosial tertinggi, bahkan mengalahkan gelar kebangsawanan dalam beberapa kasus. Hal ini menunjukkan bahwa keberangkatan haji memiliki makna spiritual sekaligus politik di tengah dominasi kolonial.*
Dalam kasus Tuan Haji Sobari, ayah dari Nyo. R.E. Maemunah, sangat mungkin bahwa gelar “Haji” dipilih untuk menyimbolkan moralitas, keagungan akhlak, serta posisi terhormat dalam komunitas lokal, melampaui relevansi gelar feodal yang mungkin mulai kehilangan pamor akibat pengaruh kolonial.
2. Nyo. R.E. Maemunah: Bangsawan Banjar dalam Lintasan Genealogis Islam dan Tradisi
Nenek saya ,Nyo. R.E. Maemunah binti Tuan Haji Sobari lahir pada tahun 1928, dalam suasana di mana identitas budaya dan agama sedang dinegosiasikan antara tradisi lokal dan tekanan kolonial. Nama “Nyo.” ( singkatan dari “Nyonya”) menunjukkan status pernikahan dan penghormatan bagi perempuan bangsawan atau istri tokoh terkemuka. Sementara itu, gelar “R.E.” yang muncul sebelum namanya masih memerlukan eksplorasi lebih lanjut.
Jika diasumsikan paralel dengan tokoh seperti *Laksamana TNI R.E. Martadinata (di mana R.E. berarti Raden Eddy), maka bisa diduga bahwa “R.E.” pada Nyo. Maemunah juga merupakan singkatan aristokratik yang diwarisi, atau adaptasi dari gelar kehormatan lokal atau kolonial, seperti “Raden Endang”, “Ratu Endah”, atau lainnya—meskipun hal ini memerlukan validasi melalui sumber-sumber lokal dan arsip lisan keluarga Banjar.*
Nyo. R.E. Maemunah binti Tuan Haji Sobari lahir pada tahun 1928, Pernikahannya dengan kakek saya Pangeran Musa Wirakusuma IV, yang merupakan cucu dari Pangeran Mangkubumi Sultan Ratu Anom Wirakusuma II bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam, menunjukkan bahwa garis darah kerajaan Banjar tetap dipertahankan dalam struktur pernikahan bangsawan, sebagaimana tradisi aliansi dinasti di masa lalu.
3. Arkeologi Sosial dan Simbolisme Gelar
Dalam kajian arkeologi sosial, gelar-gelar seperti “Haji”, “Pangeran”, dan “R.E.” dapat dilihat sebagai artefak simbolik yang mencerminkan dinamika kekuasaan, identitas, dan resistensi budaya. Dalam hal ini:
Gelar Haji menjadi simbol spiritual sekaligus politik identitas Islam di tengah tekanan kolonial.
Gelar Pangeran dan Wirakusuma menandai kontinuitas darah biru dari Kesultanan Banjar dan menegaskan keberlanjutan otoritas moral-budaya lokal.
Gelar R.E. (jika terbukti sebagai bagian dari sistem gelar) mencerminkan interaksi antara nilai lokal, kolonial, dan bahkan modernitas yang muncul di awal abad ke-20.
Kesimpulan Akademik
“Kisah Pangeran Musa Wirakusuma IV dan Nyo. R.E. Maemunah bukan sekadar narasi sejarah keluarga, tetapi refleksi identitas budaya dan spiritual masyarakat Banjar dan kesultanan Banjar di tengah bayang kolonialisme. Warisan nilai mereka meneguhkan bahwa kehormatan tidak hanya diturunkan melalui darah biru, tetapi juga melalui kesalehan, cinta tanah air, dan keteguhan dalam menjaga jati diri.”
Kisah Pangeran Musa Wirakusuma IV dan Nyo. R.E. Maemunah merupakan contoh konkret dari bagaimana identitas keagamaan dan kebangsawanan menyatu dan dinegosiasikan dalam konteks kolonial. Penggunaan gelar Haji secara terbuka mencerminkan kebanggaan dan kekuatan moral masyarakat Islam lokal di hadapan struktur kolonial. Sementara itu, pernikahan antar bangsawan tetap dijaga sebagai bentuk perlawanan kultural melalui jalur genealogis.
#perempuankerajaan
#maemunahbanjar
#cianjurbersejarah
#makamkeramat
#ceritasunda
#tokohbanjarmasin
#sejarahperempuan
#tokohwanitahebat
#tokohagamis
#hajiindonesiahebat
#tradisikerajaan
#warisanislam
#kisahbanjar
#tokohnusantaraislam
#generasibangsawan
#sejarahkalimantan
#kisahkeluargamulia
#jejakkerajaan
#tokohwarisan
#sejarahbudaya