BUKU SEJARAH KERAJAAN NANSARUNAI DAN PERJUANGAN SUKU DAYAK MA’ANYAN : NANSARUNAI USAK JAWA” – JEJAK KEMEGAHAN, CAHAYA LELUHUR DAYAK MAANYAN
ddadmin
Didukung oleh semangat para leluhur dan para penjaga hutan terakhir. “Nan Sarunai Usak Jawa”
Ketika Keagungan Dayak Ma’anyan Disapu Badai Majapahit
Begini duduk perkaranya.
Narasi tentang kerajaan tertua di Nusantara masih menjadi arena tarik-ulur tafsir, bukti, dan politik identitas. Banyak yang mengklaim bahwa Kerajaan Nan Sarunai, yang berdiri megah di tengah hutan Borneo, adalah kerajaan paling tua di tanah ini. Tapi apakah itu sahih secara ilmiah?
Mari kita uji.
🔬 Fakta atau Frasa Romantik?
Klaim tentang Candi Agung sebagai peninggalan Nan Sarunai yang berdiri sejak 242–226 SM berasal dari uji sampel arang batu yang ditemukan di situs tersebut. Tapi, usia arang bukan bukti berdirinya kerajaan. Itu hanya usia dari zat organik yang mungkin terbakar di tempat itu. Apakah itu aktivitas keagamaan? Atau hanya sisa perapian perkampungan biasa? Kita tidak bisa tahu pasti.
Riset Balai Arkeologi Banjarmasin (1996) menunjukkan bahwa sampel kayu ulin dari situs yang sama menampilkan usia berbeda: sekitar 728 Masehi. Artinya, jika pun benar Candi Agung adalah pusat pemerintahan, maka itu terjadi enam abad setelah usia arang batu.
Dan yang lebih menguatkan: Candi Agung bukan peninggalan Nan Sarunai, melainkan pusat Kerajaan Hindu Negara Dipa yang didirikan oleh Ampu Jatmika di abad ke-14 Masehi—sezaman dengan kekuasaan Majapahit.
🗿 Kutai dan Prasasti Yupa: Awal Peradaban Literasi
Sementara itu, di Muara Kaman—pedalaman Sungai Mahakam, Kalimantan Timur—telah ditemukan tujuh prasasti Yupa yang lebih meyakinkan secara ilmiah. Ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta, yupa-yupa ini merupakan rekaman sejarah tertulis pertama di Nusantara.
Isi yupa menyebut tiga generasi raja: Kundungga, Aswawarman, dan Mulawarman. Di bawah pemerintahan Mulawarman, persembahan besar-besaran dilakukan untuk para Brahmana, menandai peradaban spiritual dan politik yang kompleks.
Para ahli epigrafi seperti J.H.C. Kern dan L.C. Damais sepakat bahwa prasasti ini berasal dari kisaran 400–425 Masehi.
Ini bukan sekadar tinggalan batu. Ini bukti literasi, birokrasi, dan sistem kepercayaan yang sudah terorganisir. Inilah tanda lahirnya peradaban Indonesia.
🔥 Namun… Jangan Abaikan Bara dari Pedalaman
👑 Lambung Mangkurat: Sang Ratu Kuripan dan Bayang-Bayang Tragedi Takdir
Di balik rimbun hutan Meratus dan derasnya arus Sungai Negara, lahirlah seorang tokoh legendaris yang menjadi jembatan antara langit dan bumi, antara rakyat dan raja, antara sejarah dan mitos. Dialah Lambung Mangkurat, sang Ratu Kuripan, pewaris darah bijak, sekaligus penentu arah lahirnya peradaban Banjar.
Lambung Mangkurat, atau Dambung Mangkurap dalam lidah masyarakat Ma’anyan, bukan sekadar penguasa. Ia adalah anak dari Ampu Jatmaka, saudagar tajir dari negeri Keling, yang mendirikan kerajaan Negara Dipa, awal mula cikal bakal Kesultanan Banjar. Dari pertemuan leluhur luar dan pribumi Kalimantan, terciptalah harmoni yang melahirkan satu identitas baru: masyarakat Banjar.
Namun, takdirnya tak sesederhana takhta dan darah biru.
🔱 Siasat Politik dan Ikatan Jawa
Demi memperkuat legitimasi kerajaan, Lambung Mangkurat pergi ke Majapahit dan menjemput Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa bergelar : Maharaja SuryanataRaden Putra Raden Suria-Nata Maharaja Suria-Nata Pangeran Suria-Nata , putra raja Majapahit, untuk dinikahkan dengan Jayawardhanī Dyah Jayeswari Manggalawardhani Dyah Suragharini BERGELAR Maharatu Puteri Junjung Buih/Poetrie Djoendjoeng Boeih/ Poetri Djoendjoeng Boewih Putri Junjung Buih Dari pernikahan itulah, lahir RAJA NEGARA DIPAMaharaja Suria-Gangga-Wangsa—raja berdarah Majapahit pertama yang memerintah Kalimantan.
🌺 Tragedi Cinta dan Air Mata
Namun sejarah tak selalu ditulis dengan tinta emas—kadang, dengan darah dan kehilangan. Lambung Mangkurat menyimpan luka paling dalam dalam hidupnya: dua keponakannya yang sangat dicintai, Bambang Patmaraga dan Bambang Sukmaraga, jatuh cinta pada Jayawardhanī Dyah Jayeswari Manggalawardhani Dyah Suragharini BERGELAR Maharatu Puteri Junjung Buih/Poetrie Djoendjoeng Boeih/ Poetri Djoendjoeng Boewih Putri Junjung Buih. Cinta segitiga ini dianggap ancaman bagi stabilitas kerajaan. Maka, Lambung Mangkurat membuat keputusan pahit: ia sendiri yang menghilangkan nyawa dua keponakannya di Lubuk Badangsanak. Dendam tak berbunyi, tapi menggema dalam sunyi.
Legenda berkata, jasad mereka tak pernah ditemukan, dan bunga puspa yang diberikan keduanya lenyap saat disentuh oleh sang Puteri—seolah cinta dan jiwa mereka telah bersemayam di langit, bukan di bumi.
🌿 Warisan yang Tak Terpadamkan
Lambung Mangkurat mungkin bukan raja yang duduk di singgasana, tetapi dialah pemangku takdir. Di balik tabir tragedi dan diplomasi, ia adalah arsitek bangsa Banjar, pembentuk sistem, penjaga warisan.
Ia tak menulis sejarah dengan pena, tetapi dengan air mata, darah, dan keberanian yang tak tercatat di prasasti, namun hidup dalam ingatan rakyat.
“Lambung Mangkurat bukan sekadar nama. Ia adalah legenda yang berjalan, yang cinta dan pengorbanannya menjadi pondasi sebuah peradaban.”
👑 Lambung Mangkurat: Sang Ratu Kuripan, Penjaga Warisan Banjar
Di tengah belantara Kalimantan yang megah, berdirilah sebuah kerajaan tua bernama Negara Dipa. Dari kerajaan inilah kelak tumbuh benih Kesultanan Banjar. Salah satu tokoh kunci dalam sejarahnya adalah Lambung Mangkurat, atau dikenal juga sebagai Lembu Mangkurat—seorang pemimpin bijak, negarawan, dan penjaga tatanan.
🐘 Pewaris Kerajaan, Bukan Berdarah Raja
Lambung Mangkurat bukanlah bangsawan keturunan raja. Ia adalah putra kedua dari Ampu Jatmaka, seorang perantau kaya dari Keling (India Selatan atau Jawa Timur) yang mendirikan Negara Dipa di tepi sungai besar Kalimantan. Meski mendirikan kerajaan, Ampu Jatmaka tak pernah menyebut dirinya raja. Ia hanya menitipkan pesan: “Kita bukan darah raja. Cari pemimpin sejati untuk negeri ini.” “Siapa yang tidak berdarah bangsawan, tetapi oleh karena kekayaan dapat menjadi Raja, ia akan ditimpa oleh bencana. Demikian pula bencana itu akan menimpa mereka yang mengakui orang itu sebagai raja.”
Dalam struktur kerajaan tradisional, terutama di Asia Tenggara, darah bangsawan atau darah biru adalah syarat utama untuk menduduki posisi raja atau ratu.
Keturunan raja dianggap memiliki “wahyu kekuasaan” atau legitimasi ilahi yang tidak bisa diperoleh hanya dengan kekayaan atau pengaruh politik.
Kekayaan ≠ Kelayakan Memimpin:
Kekayaan tanpa silsilah tidak cukup untuk diakui sebagai pemimpin sah.
Penguasa yang naik tahta tanpa garis keturunan dianggap melawan tatanan kosmis dan adat, sehingga dipandang membawa kutukan atau bencana, baik secara spiritual (gangguan alam, krisis politik) maupun sosial (pemberontakan, perpecahan).
Konsekuensi Sosial bagi Pendukungnya:
Peribahasa ini memperingatkan bahwa masyarakat yang menerima pemimpin tidak sah juga ikut menanggung akibatnya.
Artinya, struktur sosial dan politik akan rusak jika hukum adat dilanggar dan akan memicu ketidakstabilan jangka panjang.
🏯 Kaitannya dengan Cerita Lambung Mangkurat dan Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa bergelar : Maharaja SuryanataRaden Putra Raden Suria-Nata Maharaja Suria-Nata Pangeran Suria-Nata , putra raja Majapahit:
Lambung Mangkurat tidak ingin memilih sembarang orang untuk menjadi raja Dipa meskipun dia sendiri memegang kekuasaan.
Ia menolak memimpin langsung karena sadar bahwa dirinya bukan keturunan bangsawan atau titisan dewata.
Maka ia memilih menghadap ke Kerajaan Majapahit, yang merupakan pusat kekuasaan besar dan memiliki garis darah raja yang sah.
Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa bergelar : Maharaja SuryanataRaden Putra Raden Suria-Nata Maharaja Suria-Nata Pangeran Suria-Nata , putra raja Majapahit, anak raja Majapahit, dipilih dan harus menjalani ujian sakral (melawan naga putih), sebagai bentuk legitimasi secara spiritual dan sosial.
💡 Kesimpulan:
Peribahasa tersebut menekankan bahwa kekuatan politik sejati tidak hanya bersumber dari kekayaan atau kekuatan, tetapi dari legitimasi turun-temurun yang diakui secara adat dan spiritual.
Hal ini menjadi fondasi utama sistem kerajaan di Nusantara, dan menghindari konflik, perebutan kekuasaan, serta bencana sosial atau politik akibat pemimpin tidak sah.
Lambung Mangkurat tetap tak mengambil tahta. Ia memilih menjadi Patih Mangkubumi, penasihat utama sekaligus penjaga negeri. Ia juga menjadi penyatu antara masyarakat pendatang (seperti kaum Keling dan Gujarat) dan penduduk asli (Orang Pahuluan dan Bukit), membentuk Proto Suku Banjar.
⚔️ Diplomasi ke Majapahit
Menyadari pentingnya legitimasi, Lambung Mangkurat melakukan misi diplomatik ke Majapahit. Ia datang ke Kahuripan (Jawa Timur) dan meminta seorang bangsawan Majapahit untuk menjadi suami Puteri Junjung Buih. Muncullah tokoh Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa bergelar : Maharaja SuryanataRaden Putra Raden Suria-Nata Maharaja Suria-Nata Pangeran Suria-Nata , putra raja Majapahit (yang kelak bergelar Maharaja Suryanata), anak raja Majapahit. Perkawinan ini memperkuat posisi Negara Dipa di mata kerajaan-kerajaan besar di Jawa.
🌺 Tragedi Sepasang Kembar
Namun, legenda juga mencatat sisi kelam. Dua keponakan Lambung Mangkurat—Bambang Patmaraga dan Bambang Sukmaraga—tumbuh dekat dengan Puteri Junjung Buih. Hubungan ketiganya memicu kekhawatiran para tetua, karena Puteri Junjung Buih diyakini berjodoh dengan Pangeran dari Jawa, bukan dengan sesama bangsawan lokal.
Demi mencegah bencana dan menjaga martabat negeri, Lambung Mangkurat mengambil keputusan tragis: membunuh kedua keponakannya sendiri. Dikisahkan, tubuh mereka hilang di lubuk sungai, dan tak pernah ditemukan. Rakyat percaya mereka tak mati—melainkan hidup abadi di kayangan.
👑 Warisan dan Jejak Abadi
Sebagai Ratu Kuripan, Lambung Mangkurat memerintah wilayah Kuripan (peninggalan dari kerajaan tua Tanjungpuri) dan menjadi tokoh kunci di balik transisi Negara Dipa menuju era baru. Ia dikenal sebagai pemersatu suku, penjaga adat, dan pelayan sejati negeri.
Dari garis keturunannya lahir tokoh-tokoh besar seperti:
Hingga akhirnya menurunkan Sultan Suriansyah, raja Banjar pertama yang memeluk Islam.
📜 Lambung Mangkurat adalah cermin nilai luhur:
Mengabdi, bukan haus kuasa. Memimpin, bukan mencuri tahta. Menjaga negeri, bahkan dengan pengorbanan.
Benang merah antara Jayawardhanī Dyah Jayeswari Manggalawardhani Dyah Suragharini Maharatu Puteri Junjung Buih/Poetrie Djoendjoeng Boeih/ Poetri Djoendjoeng Boewih Putri Junjung Buih, dan sejarah Banjar-Majapahit, berdasarkan sumber historis dan tradisi lisan dari Hikayat Banjar dan Prasasti Majapahit:
🌿 Nan Sarunai: Awal Peradaban, Jejak Leluhur di Tanah Borneo
Di balik lebatnya hutan Kalimantan dan riuhnya arus Sungai Barito, tersimpan kisah tentang sebuah peradaban purba yang menjadi fondasi sejarah Banjar—Kerajaan Nan Sarunai. Lebih dari sekadar catatan masa lalu, Nan Sarunai adalah fase penting dalam periodesasi pemerintahan Asia Tenggara: negara suku, negara awal, dan negara kerajaan (vida Pervaya Rusianti Kusmartono, 2002).
Nan Sarunai berdiri sebagai negara suku, dibentuk dan dijalankan oleh Suku Dayak Ma’anyan, salah satu kelompok etnis tertua di Borneo. Di sinilah tatanan sosial dan kekuasaan masih bertumpu pada adat, tradisi, dan warisan nenek moyang. Dengan sistem yang bersifat kesukuan dan spiritual, Nan Sarunai menjadi mukadimah dari perjalanan panjang sejarah kerajaan-kerajaan besar di Kalimantan Selatan seperti Negara Dipa, Negara Daha, hingga Kesultanan Banjar.
Lebih dari itu, Dayak Ma’anyan adalah pelaut tangguh. Sekitar abad ke-7 (600 M), mereka dipercaya telah mengarungi lautan hingga ke pesisir timur Afrika, ke Pulau Madagaskar. Bukti linguistik menunjukkan kemiripan mencengangkan antara bahasa Ma’anyan dan bahasa Malagasi, menunjukkan keterhubungan maritim lintas benua yang luar biasa.
Namun, perubahan alam mengubah segalanya. Wilayah Kalimantan Tengah yang dulunya berupa teluk luas, perlahan berubah menjadi daratan akibat proses pendangkalan. Ini memicu migrasi besar-besaran orang-orang Ma’anyan ke wilayah baru yang dalam Hikayat Banjar dikenal sebagai Pulau Hujung Tanah, dan dalam Negarakertagama disebut Tanjung Negara. Kini, lokasi itu diyakini berada di sekitar Amuntai dan Tanjung, Kalimantan Selatan—di kaki Pegunungan Meratus, tempat berdirinya Nan Sarunai.
Lebih dari sekadar catatan leluhur, Nan Sarunai adalah akar dari identitas budaya Banjar, simbol kekuatan adat, kearifan lokal, dan koneksi spiritual yang menyatu dalam alam. Di sinilah awal mula dari sebuah peradaban yang memberi warna khas pada mosaik sejarah Nusantara.Nan Sarunai tanah leluhur yang dulu jaya, ramai, dan membanggakan? Kerajaan Nansarunai — simbol kejayaan Suku Dayak Maanyan di abad ke-14 — pernah berdiri megah di tanah Hulu Sungai Utara, tempat kapal-kapal asing bersandar, budaya bersinar, dan hukum adat dijunjung tinggi.
Namun, jejak kejayaan itu tak luput dari luka sejarah. Dalam kisah “NANSARUNAI USAK JAWA” – JEJAK KEMEGAHAN, CAHAYA LELUHUR DAYAK MAANYAN”, diceritakan bagaimana kerajaan ini luluh lantak akibat serangan Majapahit. Api membakar manguntur, darah menodai tanah, dan rakyat tercerai berai.
Tapi ruh Nansarunai tak pernah mati.Ia hidup dalam syair-syair “Tumet Leot”, lantunan “Hiang Wadian”, dan napas para tetua adat. Ia tumbuh dalam upacara “Santangis” dan “Natas Banyang”, dan terus menyala dalam nilai-nilai luhur yang diwariskan para Uria Pitu — tujuh pemangku adat yang menyebar demi menyelamatkan warisan budaya.
Kini, saat Barito Timur berdiri sebagai Nansarunai Wau — Nansarunai Baru — tibalah waktunya bagi generasi Umpu Kakah untuk bangkit, memeluk jati diri, dan bersatu dalam pipakatan.
💬 “Nampan kaamuan takam Nansarunai wau, kaantangun takam ngamang talam hanyar.” (Mari bangun kembali Nansarunai Baru, sebagai rumah bersama yang membanggakan kita semua.)
🌿 Jangan Biarkan Warisan Ini Hilang
Pelajari. Lestarikan. Wariskan.
📌 Dukung pelestarian budaya Dayak Maanyan. 📌 Kenali tradisi Diki Hiang, Janyawai, hingga Purih Amah dan Purih Ineh. 📌 Jadilah bagian dari Nansarunai Wau — tempat jati diri dan budaya tumbuh kembali.
🔗 Untuk Anak Muda Maanyan:
➡ Saatnya kamu jadi jembatan masa depan! ➡ Budaya bukan beban, tapi kekuatan. ➡ Jadilah “Umpu Kakah” baru yang membanggakan leluhur.
✨ “Jika kita tidak hidup sebagai saudara, kita akan mati sebagai orang asing di tanah sendiri.” – Martin Luther King Jr.
Nansarunai belum usai. Ceritanya terus ditulis — oleh kita semua.
📜 Kerajaan Nansarunai: Peradaban Purba di Jantung Kalimantan
Nansarunai adalah kerajaan kuno suku Dayak Ma’anyan yang diyakini pernah ada di wilayah Kalimantan Selatan, dan menjadi bagian penting dari sejarah suku tersebut. Suku Dayak Ma’anyan sendiri adalah salah satu suku Dayak tertua di Kalimantan, yang mendiami wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
Nansarunai:
Kerajaan Kuno:
Nansarunai dipercaya sebagai sebuah kerajaan yang pernah berdiri dan dikelola oleh orang-orang Dayak Ma’anyan.
Pusat Peradaban:
Kerajaan ini dianggap sebagai pusat peradaban awal bagi suku Dayak Ma’anyan, meskipun keberadaannya masih menjadi perdebatan.
Hubungan dengan Kesultanann Banjar:
Beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa orang-orang Dayak Ma’anyan Kerajaan Nansarunai merupakan cikal bakal dari Kerajaan Dipa-kerajaan daha -Kesultanan Banjar hingga Pagustian Banjar.
Warisan Budaya:
orang-orang Dayak Ma’anyan Kerajaan Nansarunai meyakini bahwa Nansarunai adalah asal-usul dan nenek moyang mereka, dan budaya mereka sangat terikat dengan kerajaan ini.
Suku Dayak Ma’anyan:
Suku Asli:
Suku Dayak Ma’anyan adalah suku asli Kalimantan yang mendiami wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
Sub-Suku:
Suku ini terbagi lagi menjadi beberapa sub-suku, seperti Ma’anyan Paju Epat, Ma’anyan Paju Sapuluh, dan lainnya.
Mata Pencaharian:
Sebagian besar suku Ma’anyan bekerja sebagai petani dengan sistem ladang berpindah (tebang bakar). Mereka juga berburu, menenun, dan membuat perahu.
Budaya:
Suku Ma’anyan memiliki berbagai upacara adat, termasuk upacara perkawinan yang disebut Turus Tajak, dan seni tari seperti Tari Dadas dan Bawo.
Bahasa:
Mereka memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Ma’anyan, yang memiliki beberapa dialek.
Hubungan Nansarunai dan Suku Dayak Ma’anyan:
Identitas:
Nansarunai adalah bagian integral dari identitas dan sejarah suku Dayak Ma’anyan, yang menjadi asal-usul dan leluhur mereka.
Warisan Budaya:
Budaya dan tradisi suku Ma’anyan sangat dipengaruhi oleh sejarah dan warisan dari kerajaan Nansarunai.
Pelestarian:
Upaya pelestarian budaya Nansarunai dan suku Dayak Ma’anyan terus dilakukan, termasuk melalui penelitian, pendidikan, dan kegiatan seni budaya
🛕 Kerajaan Nan Sarunai
Peradaban Purba Suku Dayak Maanyan yang Terlupakan
Nan Sarunai, sebuah nama yang menggema dalam nyanyian wadian dan jejak arkeologis Kalimantan Selatan, adalah bukti nyata bahwa jauh sebelum munculnya kerajaan-kerajaan besar seperti Kutai atau Majapahit, telah tumbuh sebuah peradaban agung di tengah belantara Borneo: peradaban suku Dayak Maanyan.
🔥 Peradaban dari Negeri Awan
Dari tahun 1309 hingga 1389, Kerajaan Nan Sarunai berkembang sebagai monarki berdaulat, beribu kota di Kota Raden dan Banua Lawas, terletak di sekitar Sungai Tabalong dan Pegunungan Meratus. Konon, pusat kekuasaan ini pernah berdiri sejak 242 SM berdasarkan pengujian arang pada reruntuhan candi di Amuntai — menjadikannya sebagai salah satu peradaban tertua di Nusantara.
📜 Asal-Usul dan Nama Besar
Nan Sarunai berarti sangat termasyhur—sebuah julukan yang layak untuk negeri para pemusik, tempat raja dan rakyatnya hidup dalam harmoni seni dan adat. Kerajaan ini dipimpin oleh para tokoh legendaris seperti Datu Sialing, Datu Gamiluk Langit, dan Raden Japutra Layar — bangsawan pedagang yang membawa pengaruh Majapahit ke pedalaman Kalimantan.
🏞️ Wilayah Luas dan Migrasi Leluhur
Dari Tumpuk Lalung Kuwung, Margoni, hingga Pulau Hujung Tanah, wilayah kekuasaan Nan Sarunai membentang luas dari Tabalong ke Paser. Kaum Dayak Maanyan dikenal sebagai pelaut ulung yang dipercaya pernah berlayar hingga ke Madagaskar pada abad ke-7 M, meninggalkan jejak bahasa Maanyan dalam dialek pulau tersebut.
🌿 Jejak Warisan Nan Sarunai:
Menyusuri Peninggalan Kerajaan Dayak Maanyan yang Terlupakan
Di balik rimbunnya hutan Kalimantan Selatan dan dalam aliran sunyi sungai-sungai purba, tersimpan jejak peradaban agung yang nyaris terlupakan: Kerajaan Nan Sarunai — kerajaan purba Suku Dayak Maanyan, leluhur sejati pulau Borneo.
Berdiri sejak abad ke-3 SM dan mencapai puncaknya pada abad ke-14, kerajaan ini menjadi tonggak sejarah awal Kesultanan Banjar dan bagian penting dari mozaik peradaban Nusantara.
Kini, mari kita menelusuri peninggalan-peninggalan nan langka, bukti nyata kebesaran yang pernah tumbuh di jantung Borneo.
🏛️ Situs-Situs Bersejarah Peninggalan Nan Sarunai
1. Tonggak Hujung Panti, Banjarmasin
Tempat suci bagi orang Maanyan untuk memandikan bayi pertama kali di sungai Mubur Walenon. Masih berdiri sebagai saksi ritual leluhur hingga abad ke-14.
2. Pangambangan — Jejak Balai Adat Purba
Di kawasan yang tak ditumbuhi pohon, diyakini sebagai pemukiman pertama Maanyan — bekas Balai Adat yang bertahan hingga abad ke-16.
3. Pulau Banyar Kayutangi
Bekas perkampungan Dayak Maanyan dengan tiang rumah kuno dari kayu besi, masih berdiri diam menantang waktu.
4. Liang Anggang & Balontang
Simbol pemujaan arwah leluhur dan tempat peristirahatan terakhir para raja dan rakyatnya.
5. Gunung Paramaton (Gunung Madu Maanyan)
Tempat penyimpanan pusaka kerajaan yang sempat direbut kembali dari tangan Majapahit pada 1362.
6. Sumur Pahit & Balontang Martapura
Penanda masa kejayaan hingga kejatuhan Nan Sarunai akibat invasi Majapahit. Kuburan purba ditemukan saat penggalian irigasi.
7. Burung-Lapas & Pulau Kadap
Diduga bekas pusat kerajaan sebelum berpindah ke Banua Lawas. Pulau Kadap menjadi markas besar militer sebelum perang besar 1362.
8. Candi Laras, Margasari
Tempat pemujaan Hindu-Syiwa dari zaman kerajaan Daha. Terdapat patung kepala babi batu sebagai prasasti orang Maanyan tahun 1362.
9. Kota Negara: Koloni Campuran Usai Perang
Permukiman eks-prajurit Majapahit, Maanyan, Madura, dan Bugis. Terdapat sumur berair merah, simbol darah perang 1362.
10. Candi Agung, Amuntai
Situs pemujaan Hindu-Syiwa. Tambak Wasi adalah tempat kremasi korban Perang Nan Sarunai pertama tahun 1358.
11. Tambak & Telaga Silaba
Kuburan massal prajurit. Ditemukan tiang kapal kuno pada tahun 1953 oleh nelayan setempat.
12. Banua Lawas: Pusat Kerajaan Nan Sarunai (1309–1358)
• Makam Raja Raden Anyan (Am’mah Jarang)
• Sumur kerajaan, pohon kamboja keramat, kain Sindai dari India, serta alat musik dan guci wadi.
13. Danau Maunna’n
Tempat rahasia penyimpanan tiang sokoguru balai adat dari emas dan patung emas anak-anak menari — pusaka kerajaan suci.
Beragam Situs di Sungai dan Desa Pedalaman
• Perahu tembaga di Sungai Mukut, diduga milik pedagang Tiongkok.
• Gong Puteri Junjung Buih, simbol pengaturan adat suka dan duka.
• Makam Puteri Mayang Sari, pewaris kerajaan.
• Situs Sungai Ayuh, Sungai Toto, Sungai Murutowo, Sungai Banyu Landas, dan lainnya menyimpan emas, perahu, dan legenda.
🧭 Mengapa Penting Kita Ingat?
Kerajaan Nan Sarunai bukan sekadar dongeng masa silam. Ia adalah akar sejarah Dayak Maanyan, fondasi budaya Kerajaan Dipa, Kerajaan Daha,Kesultanan Banjar, dan masa kini Pagustian Banjar bukti bahwa peradaban tinggi telah tumbuh mandiri jauh sebelum pengaruh luar datang.
Jejak-jejak peninggalan ini bukan sekadar benda mati—mereka hidup dalam tanah, sungai, dan hati masyarakat Dayak.
📣 Ajak Generasi Muda untuk Peduli
Mari kita sebarkan pengetahuan ini!
Karena bangsa besar tak pernah melupakan akar sejarahnya.
Bagikan cerita, telusuri situsnya, jaga peninggalannya. Nan Sarunai adalah warisan kita semua.
1. 🌿 Raja Legendaris & Pendiri Awal
Rahe Dayak Ma’anyan / Ratau Mahanyen Raja legendaris dan pendiri awal yang membawa masyarakat Dayak Ma’anyan menata wilayah Barito Hulu.
Nini Punyut Tokoh perempuan sakti, menata hukum adat dan pernikahan — dimakamkan di Tamak Sapala dekat Danau Panggang
Amah Jarang / Raden Anyan (Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas) Raja terakhir, gugur dalam serangan Majapahit
2. 👑 Raja-Raja pada Masa Transisi (abad ke‑13–14)
Nama
Masa Pemerintahan
Catatan
Raden Japutra Layar
1309–1329
Raja pertama yang tercatat, gelar “Raden” menunjukkan pengaruh Majapahit
Raden Neno
1329–1349
Memperkuat pemerintahan kerajaan
Raden AnyanAmah Jarang (Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas)
1349–1358
Raja terakhir sebelum kehancuran; gugur bersama istri (Dara Gangsa Tulen)
Maharatu Sita Rara diperistri Mangkubumi Jantam Bangsawan Majapahit
1358 – 1387 Kerajaan Nansarunai Dayak Ma”anyan dibubarkan 1389
saudagar kaya dari negeri Keling (Koromandel) Gujarat Kalingga, India Selatan atau menurut Veerbek 1889:10 dan Munoz 2009:401-435, Keling merupakan negara bawahan Majapahit di barat daya Kediri dan datang ke Kalimantan dengan armadanya, Prabayaksa. yang mendirikan Kerajaan Negara Dipa di Kalimantan (saat ini Kalimantan Selatan). Ia diyakini hidup pada awal abad ke-14 dan merupakan tokoh penting dalam sejarah Kalimantan Selatan dan Kesultanan Banjar
Maharaja Negara Dipa I berkuasa 1387 -1447 putra Mangkubumi Jantam Bangsawan Majapahit
Kerajaan Nansarunai Dayak Ma”anyan dibubarkan 1389 digantikaan Kerajaan Negara DipaMaharaja Empu Jatmika Pendiri dan penguasa Kerajaan Negara Dipa, pusat kekuasaan baru di Kalimantan Selatan.Maharaja Empu Jatmika adalah putra Maharatu Sita Rara, istri dari Mangkubumi Jantam.
Ia menikahi Maharatū Sira Manguntur Dēwi Sekar Gading, seorang bangsawan Dayak Ma’anyan.Meski berdarah campuran Jawa-Ma’anyan, Empu Jatmika memihak Majapahit, diduga karena pertimbangan politik dan stabilitas, serta ambisi mendirikan kerajaan baru Kerajaan Negara Dipa.
Mangkubumi Lambung Mangkurat& Dayang Diparaja Binti Aria Malingkun memerintah wilayah Kuripan (peninggalan dari kerajaan tua Tanjungpuri)
Maharaja Negara Dipa II berkuasa 1447–1460
PEMANGKU RAJA NEGARA DIPA Lambu Mangkurat (Patih Lamboeng Mangkoerat) bergelar Ratu Kuripan menjemput putra raja majapahit Kahuripan (Jawa Timur) dan meminta seorang bangsawan Majapahit untuk menjadi suami Puteri Junjung Buih. Muncullah tokoh Raden Putra (yang kelak bergelar Maharaja Suryanata), anak raja Majapahit. Perkawinan ini memperkuat posisi Negara Dipa di mata kerajaan-kerajaan besar di Jawa.
Dayang Diparaja Binti Aria Malingkun diperistri Mangkubumi Lambung Mangkurat memerintah wilayah Kuripan (peninggalan dari kerajaan tua Tanjungpuri dan menjadi tokoh kunci di balik transisi Negara Dipa menuju era baru. Ia dikenal sebagai pemersatu suku, penjaga adat, dan pelayan sejati negeri.mempunyai anak perempuan bernama Puteri Ratoe Huripan
Raden Galuh Ciptasari Jayawardhanī Dyah Jayeswari Manggalawardhani Dyah Suragharini Maharatu Puteri Junjung Buih/PoetrieDjoendjoeng Boeih/ Poetri Djoendjoeng Boewih Putri Junjung Buih Putri Ratna JanggalaKadiri Maharaja DIPA ke-3 diperistri Maharaja Negara Dipa IV Raden Aria Gegombak Janggala RajasawardhanaDyah Wijayakumara atau Bhre KahuripanSri Maharaja Rajasawardhana Sang Sinagara Raden Putra Raden Suria-Nata Maharaja Suria-Nata Pangeran Suria-Nata (1451–1453 M)
Bhre Tanjungpura (1429–1466 M)
Maharatu Negara Dipa III berkuasa 1460–1470
Bhre Daha VII (1464–1474 M)
orang tua : ♀Dewi Kasuma Sari Bhre Lasem V dengan ♂ Manggalawardhana Bhre Tumapel II
2.Bhre Paguhan III (Raden Arya Gegombak Jengala Rajasa / Pangeran Suryanata)
3.Rajasawardhana Dyah Wijayakumara Sang Sinagara (Brawijaya II) Wijayaparakramawardhana Dyah Kertawijaya
Anak-anak: 1.Raden Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya / Bhre Matahun III
2.RAJA NEGARA DIPA Maharaja Suria Gangga Wangsa (Pangeran Suryaganggawangsa) menikah dengan Ratu Kuripan, seorang wanita yang pandai menenun dan memiliki kekuatan gaib. Ia berhasil menyelesaikan tenunan dengan sangat indah dalam waktu singkat. anak PEMANGKU RAJA NEGARA DIPA Lambu Mangkurat (Patih Lamboeng Mangkoerat Ratu Kuripan)
3.Girindrawardhana Dyah Wijayakarana / Bhre Keling III
4.Singawardhana Dyah Wijayakusuma / Bhre Pamotan II
6.Pangeran Suria-Wangsa Pangeran Suryawangsa Aria Dewangsa Bhre Tanjungpura II beistri Putri Kalarang anak Putri Huripan anak PEMANGKU RAJA NEGARA DIPA Lambu Mangkurat (Patih Lamboeng Mangkoerat Ratu Kuripan)
Wafat: 1474 M Upacara Sraddha: 12 tahun kemudian diperingati tahun 1486 M oleh anaknya, Dyah Ranawijaya Makam Petilasan : Dusun Dua, Desa Tanjungpura, Ketapang, Kalimantan Barat Pertapaan Petilasan : Candi Agung Jl. Empu Jatmika, Sungai Malang, Kec. Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan 71471 Mukso : Gunung Pamathon
Sumber utama:Prasasti Jiyu I / Trailokyapuri 1486 M
Maharaja Negara Dipa IV Raden Aria Gegombak Janggala RajasawardhanaDyah Wijayakumara atau Bhre KahuripanSri Maharaja Rajasawardhana Sang Sinagara Raden Putra Raden Suria-Nata Maharaja Suria-Nata Pangeran Suria-Nata (1451–1453 M) menikahi Jayawardhanī Dyah Jayeswari Manggalawardhani Dyah Suragharini Maharatu Puteri Junjung Buih/PoetrieDjoendjoeng Boeih/ Poetri Djoendjoeng Boewih Putri Junjung Buih Putri Ratna JanggalaKadiri Maharaja DIPA ke-3
Maharaja DIPA ke-4 1470 –1453 Catatan: Pemerintahan singkat, tidak banyak catatan yang tersisa.
Berikut ini perbandingan kronologis (komparatif) antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Negara Dipa-Daha, dari masa awal Majapahit hingga keruntuhannya, untuk menunjukkan bahwa mereka sejaman dan bagaimana hubungan dinastik serta pengaruh kekuasaan itu tumpang tindih secara historis:
🕰️ Komparasi Kronologi Majapahit dan KERAJAAN KURIPAN TABALONG- NANSARUNAI DAYAK MAANYAN–Negara Dipa–Daha (1293–1527)
Tahun
Kerajaan Majapahit
Kerajaan Negara Dipa–Daha (Kalimantan Selatan)
Catatan Historis
1293–1309
Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana)
KERAJAAN NANSARUNAI DAYAK MAANYANRahe Dayak Ma’anyan / Ratau Mahanyen 1293–1309
Nan Sarunai adalah kerajaan bawahan dari Kerajaan Kuripan Tanjung Puri Tabalong
Raja legendaris dan pendiri awal yang membawa masyarakat Dayak Ma’anyan menata wilayah Barito Hulu.
Majapahit didirikan, belum ada catatan Negara Dipa namun sudah ada Kerajaan Kuripan Tanjung Puri Tabalong sebutan lain dari Kerajaan Tabalong yang disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama yang ditulis pujangga Majapahit yakni Mpu Prapanca pada tahun 1365. Sebutan Kerajaan Tabalong berdasarkan nama kawasan di mana kerajaan tersebut berada.
Sedangkan nama Kuripan mungkin nama ibu kotanya saat itu. Nama Kuripan diduga adalah nama lama Amuntai (kota) di Kabupaten Hulu Sungai Utara yang terletak di sekitar muara sungai Tabalong.
1309–1328
Jayanegara
KERAJAAN NANSARUNAI DAYAK MAANYAN Raden Japutra Layar 1309–1329
Majapahit mulai stabil
1328–1350
Tribhuwana Wijayatunggadewi
KERAJAAN NANSARUNAI DAYAK MAANYAN Raden Neno1329–1349
Gajah Mada berkuasa, persiapan ekspansi ke luar Jawa
1350–1389
Hayam Wuruk (Rajasanagara)
KERAJAAN ANSARUNAI DAYAK MAANYAN Raden AnyanAmah Jarang (Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas) menikahi Dara Gangsa Tulen 1349–1358
Mangkubumi Jantam (1358–1387)
Raden AnyanAmah Jarang (Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat Amas) Raja terakhir sebelum kehancuran; gugur bersama istri (Dara Gangsa Tulen)“NANSARUNAI USAK JAWA” – DAYAK MAANYAN
Ekspansi Majapahit: Jantam dari Keling mendirikan Negara Dipa di Kalimantan
1389–1429
Wikramawardhana
Ampu Jatmaka (±1387–1447)
Negara Dipa secara resmi terbentuk sebagai kerajaan bawahan
1429–1447
Suhita
Dyah Suragharini (Putri Junjung Buih)
Kedua kerajaan diperintah perempuan; budaya, politik & dinasti tersambung
Majapahit sudah sangat lemah, pengaruh Islam makin kuat
1518–1527
Sri Mahapatih Maudhara (penguasa de facto terakhir Majapahit)
Raden Panjang 1518–1526 penguasa de facto terakhir Negara Daha
sejaman dengan
1518–1521 SULTAN DEMAK Sultan Pati Unus
Keduanya menjadi penguasa terakhir sebelum Islam mengambil alih sepenuhnya (Demak & Banjar)
1521–1546
1521–1546 SULTAN DEMAK SultanTrenggana
SULTAN BANJAR I 1526-1546 Sultan Suriansyah
BERKIBAR KESULTANAN DEMAK DAN KESULTANAN BANJAR
🧭 Kesimpulan Komparatif:
Majapahit dan KERAJAAN KURIPAN TABALONG-NANSARUNAI DAYAK MAANYAN–Negara Dipa-Daha hidup sejaman.
Kedua kerajaan memiliki hubungan langsung baik secara politik (pengaruh kekuasaan) maupun dinasti (pernikahan antar bangsawan Majapahit dan Negara Dipa).
Ketika Majapahit mengalami puncak kejayaan (1350–1389), Negara Dipa mulai tumbuh (1358–1387).
Serangan dari Pangeran Surya Nata I yang telah mengokohkan kedudukannya sebagai Raja Negara Dipa setelah menikah dengan Putri Junjung Buih. Menurut orang Maanyan, kerajaan Nan Sarunai ini telah ada pengaruh Hindu, yaitu adanya pembakaran tulang-tulang dalam upacara kematian suku Maanyan, yang merupakan aliran Hindu-Kaharingan, sebelumnya tidak dikenal pembakaran tulang-tulang dalam agama Kaharingan yang asli. Periode Kerajaan Kuripan/Nan Sarunai ini sezaman dengan Kerajaan Kutai Martadipura, sedangkan Periode Negara Dipa sezaman dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yaitu pada masa kerajaan Majapahit. Negara Dipa merupakan kerajaan yang multi-etnik yang pertama di Kalimantan Selatan.
Saat Majapahit mulai melemah, Negara Dipa berkembang menjadi Daha, dan menjadi pusat kekuasaan di Kalimantan.
Islamisasi di kedua wilayah terjadi nyaris bersamaan: Majapahit runtuh karena ekspansi Demak (1527), Negara Daha runtuh karena ekspedisi Demak yang membantu Raden Samudra mendirikan Kesultanan Banjar (1526).
Raja-Raja Negara Dipa
1. Periode Awal: Raja-Raja Kuripan
Sebelum berdirinya Negara Dipa, wilayah tersebut berada dalam kekuasaan Kerajaan Kuripan, yang disebutkan dalam Hikayat Banjar (Resensi II). Sayangnya, nama-nama penguasa dan periode kekuasaannya tidak diketahui secara pasti.
2. Ampu Jatmaka (Maharaja di Candi)
Ampu Jatmaka merupakan seorang saudagar kaya dari negeri Keling (Kediri) yang datang ke Kalimantan dan mendirikan Negara Dipa pada tahun 1387. Ia pertama-tama mendirikan negeri Candi Laras di hilir, kemudian mendirikan atau menaklukkan negeri Candi Agung di hulu, berseberangan dengan wilayah Kuripan. Ampu Jatmaka mewarisi kekuasaan dari ayah angkatnya, yaitu raja tua Kuripan yang tidak memiliki keturunan, meskipun ia sendiri menganggap dirinya hanya sebagai penjabat raja.
Wilayah awal Negara Dipa mencakup lima negeri, yakni:
Candi Laras
Candi Agung
Kuripan
Batung Batulis
Baparada (kemungkinan besar Balangan)
Ampu Jatmaka memperluas wilayahnya melalui perintah kepada para panglima, yaitu:
Tumenggung Tatahjiwa, yang menaklukkan daerah Batang Tabalong, Batang Balangan, dan Batang Pitap.
Arya Megatsari, yang menaklukkan Batang Alai, Batang Labuan Amas, dan Batang Amandit.
Kemungkinan besar, wilayah-wilayah ini menjadi basis terbentuknya ibukota baru Tanjungpura di kawasan yang kelak dikenal sebagai negara bagian Tanjungnagara (mencakup Kalimantan dan Filipina).
3. Lambung Mangkurat (Ratu Kuripan)
Putra Ampu Jatmaka ini dikenal dengan gelar Ratu Kuripan. Ia bertindak sebagai penjabat raja setelah ayahnya. Di bawah pemerintahannya, wilayah Negara Dipa diperluas dari Tanjung Silat di selatan hingga Tanjung Puting, mencakup daerah dari Sungai Barito sampai Sungai Seruyan.
4. Raden Galuh Ciptasari (Putri Junjung Buih)
Putri angkat dari Lambung Mangkurat ini dikenal sebagai perwujudan mitologis Putri Junjung Buih. Ia kemungkinan merupakan bangsawan dari Majapahit yang dikenal sebagai Bhre Tanjungpura. Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura adalah Manggalawardhani Dyah Suragharini (berkuasa 1429–1464), putri Bhre Tumapel II dan Bhre Lasem V.
Terdapat indikasi bahwa ia menikah dengan Bhre Pamotan I, Rajasawardhana Dyah Wijayakumara, dan kelak menjadi Bhre Daha VI (1464–1474), ibu dari Ranawijaya (penguasa terakhir Majapahit versi Girindrawardhana).
5. Rahadyan Putra (Maharaja Suryanata)
Rahadyan Putra atau Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa, dilamar dari Majapahit dengan persembahan sepuluh butir intan untuk dinikahkan dengan Putri Junjung Buih. Ia bergelar anumerta Maharaja Suryanata sebagai manifestasi raja matahari.
Raja ini berhasil menaklukkan banyak wilayah, antara lain:
Kerajaan Sambas
Sukadana/Tanjungpura
Batang Lawai (Kapuas)
Kotawaringin
Pasir
Kutai
Berau
Karasikan
Dari pernikahan dengan Putri Junjung Buih, lahir tiga putra:
Pangeran Suryawangsa
Pangeran Suryaganggawangsa
Pangeran Aria Dewangsa (Adi-Vamsa, pendiri dinasti)
Ketiganya memerintah wilayah-wilayah berbeda seperti Undan Besar, Undan Kulon, Candi Laras, dan Candi Agung. Sekitar tahun 1464, Maharaja Suryanata dan istrinya mengundurkan diri dan kembali ke Majapahit.
Nama “Rajasa” yang digunakan kemungkinan merupakan kependekan dari Rajasawardhana Dyah Wijayakumara (putra Bhre Tumapel III), yang menikah dengan Manggalawardhani Bhre Tanjungpura.
6. Pangeran Aria Dewangsa
Putra bungsu Maharaja Suryanata dengan Putri Junjung Buih ini menikahi Putri Mandusari (Putri Huripan) yang bergelar Putri Kabu Waringin. Ia adalah anak dari Lambung Mangkurat dengan Dayang Diparaja. Nama “Kabu Waringin” berasal dari mitos tentang air susu kerbau putih yang diikat pada pohon beringin.
7. Raden Sekar Sungsang (Maharaja Sari Kaburungan)
Raja ini merupakan cucu dari Putri Junjung Buih dan Lambung Mangkurat. Menurut Hikayat Banjar versi II, ia dikenal juga sebagai Panji Agung Rama Nata. Dalam perantauannya ke Pulau Jawa, ia diduga memeluk Islam dan menikah dengan perempuan Jawa, serta memiliki dua putra:
Raden Panji Dekar
Raden Panji Sekar (kemudian dikenal sebagai Sunan Serabut karena menikahi putri Raja Giri)
Sunan Serabut kemudian menuntut upeti kepada Putri Ratna Sari (Ratu Lamak), yang merupakan putri dari Sekar Sungsang dengan Putri Ratna Minasih. Karena gagal membayar upeti, Ratu Anom, adik Ratu Lamak, ditawan ke Jawa.
Menurut Hikayat Banjar versi I, ibunda Raden Sekar Sungsang adalah Putri Kalungsu alias Putri Kabu Waringin, permaisuri Maharaja Carang Lalean. Saat raja ingin kembali ke tempat asal (kemungkinan Majapahit), Lambung Mangkurat kembali diangkat sebagai pemangku kerajaan.
8. Pemindahan Ibukota ke Negara Daha
Pada masa pemerintahan Maharaja Sari Kaburungan (Raden Sekar Sungsang), untuk menghindari bencana yang diyakini berasal dari kehilangan tuah (kesakralan) ibukota, pusat pemerintahan dipindahkan dari Candi Agung (Amuntai) ke hilir, tepatnya di percabangan anak Sungai Bahan yang kemudian dinamai Muara Hulak.
Nama daerah tersebut kemudian berubah menjadi Negara Daha (kini wilayah Kecamatan Daha Selatan). Sejak itu, kerajaan dikenal sebagai Kerajaan Negara Daha, dan Sungai Bahan pun berganti nama menjadi Sungai Negara.
Raden Sekar Sungsang (Maharaja Sari Kaburungan): Raja Pertama Negara Daha dan Mata Rantai Majapahit–Banjar
Raden Sekar Sungsang, yang juga dikenal dengan berbagai nama lokal seperti Ki Mas Lalana, Panji Agung Rama Nata, atau dalam dialek Maanyan sebagai Miharaja Sari Babunangan Unro, adalah tokoh kunci dalam peralihan kekuasaan dari Negara Dipa ke Negara Daha, serta penghubung dinasti Majapahit dengan Kesultanan Banjar. Ia merupakan figur raja pertama Negara Daha (1495–1500) sekaligus cikal bakal leluhur langsung Sultan Banjar pertama, Sultan Suriansyah.
📜 Asal-Usul Dinasti:
Menurut sumber primer lokal yaitu Hikayat Banjar Resensi I dan II, serta Tutur Candi, Raden Sekar Sungsang berasal dari trah bangsawan Majapahit—lebih spesifik lagi, anak angkat dari Prabu Kertabhumi alias Brawijaya V, raja Majapahit. Silsilah ini menunjukkan bahwa Raden Sekar Sungsang adalah hasil fusi dua garis kekuasaan besar: Majapahit (Jawa) dan Negara Dipa (Kalimantan Selatan).
🧭 Perjalanan Hidup dan Politik:
Sebagai anak yang terluka dan terusir karena insiden masa kecil, ia meninggalkan tanah kelahirannya dan tumbuh di tanah Jawa Timur. Ia kemudian diangkat anak oleh seorang saudagar Jawa bernama Juragan Balaba dan diberi nama Ki Mas Lalana. Di masa mudanya, ia dikenal tampan dan cerdas, menjadi figur penting dalam jaringan perdagangan antara Jawa–Kalimantan.
Ketika dewasa, Sekar Sungsang secara tidak sadar menikahi ibunya sendiri, Putri Kalungsu—peristiwa incest yang dikisahkan dalam narasi lokal sebagai tragedi takdir. Setelah identitas terungkap, keduanya memilih berpisah secara terhormat. Sekar Sungsang kemudian membentuk pusat kekuasaan baru di hilir Sungai Barito, dikenal sebagai Negara Daha, sementara ibunya tetap memerintah di hulu, Negara Dipa.
🏯 Negara Daha dan Pembentukan Identitas Baru:
Sebagai Maharaja Sari Kaburungan, Sekar Sungsang menjadi penguasa pertama Negara Daha, yang secara administratif dan simbolik merupakan kelanjutan Negara Dipa, namun dengan pusat baru yang lebih strategis secara maritim. Lokasi pemerintahan dipindahkan ke Muhara Hulak, dekat Marabahan, menjadikannya pelabuhan dagang penting yang membuka interaksi ekonomi-politik ke wilayah pesisir dan mempercepat proses Islamisasi.
Penting dicatat bahwa selama masa tinggalnya di Jawa, ia menjalin hubungan erat dengan Sunan Giri—ia bahkan menjadi besan sang wali. Salah satu putranya, Panji Sekar, menjadi ulama dan dikenal sebagai Sunan Serabut. Ini menandai bahwa Sekar Sungsang kemungkinan telah memeluk Islam lebih awal dari Sultan Suriansyah, meskipun kekuasaan yang dijalankannya secara administratif masih berorientasi Hindu-Buddha.
🧬 Warisan dan Genealogi:
Dari perkawinan Sekar Sungsang dan Putri Kalungsu lahirlah dua putra: Ratu Anom dan Pangeran Singa Gurda. Putri tertuanya, Ratu Lamak (Putri Ratna Sari) sempat menjabat sebagai raja Daha sebelum digantikan Ratu Anom. Ratu Anom kemudian menurunkan Maharaja Sukarama, ayah dari Raden Samudera alias Sultan Suriansyah, raja pertama Kesultanan Banjar.
Sumber-sumber Maanyan bahkan menyebut bahwa salah satu keturunan Sekar Sungsang, yaitu Raden Sira Panji, menjadi pemimpin komunitas Biaju (Dayak) dan dikenal sebagai Uria Gadung, menegaskan luasnya pengaruh biologis dan politik dari figur ini di seluruh Sungai Barito hingga pedalaman.
🧠 Penutup Akademik:
Dari perspektif arkeo-historis, Raden Sekar Sungsang adalah tokoh penting yang menjembatani keruntuhan kekuasaan Hindu-Buddha klasik di Kalimantan dengan bangkitnya Islam sebagai kekuatan politik baru. Ia bukan hanya anak dari dua dunia (Majapahit dan Negara Dipa), tetapi juga penyambung silsilah antara dunia klasik dan era kesultanan. Narasi tentangnya memperlihatkan dinamika budaya, percampuran darah, dan migrasi politik dalam ruang-waktu yang kompleks di kawasan Nusantara abad ke-15 dan 16.
🗺️ Pembagian Wilayah Kalimantan Kuno
Pulau Kalimantan pada masa klasik terbagi dalam 3 wilayah mandala besar:
Mandala Borneo (Brunei)
Mandala Sukadana (Tanjungpura)
Mandala Banjarmasin (termasuk Kotawaringin)
🧭 Batas-Batas Geografis
Tanjung Dato (barat) → Batas antara Brunei dan Sukadana (Tanjungpura)
Tanjung Sambar (timur) → Batas antara Sukadana (Tanjungpura) dan Banjarmasin (Kotawaringin)
Daerah-daerah seperti Sungai Jelai (Kotawaringin) berada di bawah Banjarmasin, sedangkan Sungai Kendawangan berada di bawah Sukadana/Tanjungpura.
🏯 Tanjungpura dan Majapahit
📜 Dalam Kakawin Nagarakretagama (1365 M)
Tanjungpura disebut sebagai pusat kekuasaan Majapahit di Kalimantan, termasuk taklukan-taklukan lama dari Sriwijaya.
Disebut sebagai pusat dari Nusa Tanjungnagara — istilah lama untuk Kalimantan dan pulau-pulau sekitarnya.
Tanjungpura menjadi semacam “ibu kota administratif” Majapahit di Kalimantan.
🧑🎓 Identitas Bhre Tanjungpura
Dari sumber seperti Pararaton dan Prasasti Trailokyapuri, didapat informasi berikut:
Menantu dari: Bhre Tumapel III Kertawijaya (Brawijaya II)
Jadi posisi Bhre Tanjungpura bukan hanya wilayah geografis, tapi gelar kekuasaan bangsawan Majapahit, menandakan penguasaan atas suatu wilayah strategis (dalam hal ini Kalimantan).
🔍 Makna Konsep Mandala Majapahit
Dalam struktur mandala kekuasaan Majapahit, istilah-istilah ini muncul:
Istilah
Arti Kontekstual dalam Struktur Mandala Majapahit
Prasada
Tempat utama, pusat spiritual/politik – menunjuk pada Ratu Majapahit sebagai sumber otoritas
Pranala
Link atau penghubung – menunjuk pada Mahapatih Gajah Mada sebagai pengikat antar wilayah
Ansa
Pegangan atau naungan – menunjuk wilayah-wilayah seperti Madura dan Tanjungpura, yaitu basis pendukung utama kekuasaan pusat
Dalam sistem ini, Tanjungpura bukan hanya wilayah bawahan, tapi dianggap sebagai pilar strategis atau ‘pegangan’ kekuasaan pusat — penting secara militer, logistik, dan budaya.
🧠 Kesimpulan Strategis
Tanjungpura adalah wilayah penting dalam jaringan Majapahit, berfungsi sebagai pusat kekuasaan di Kalimantan dan basis pengendalian Nusa Tanjungnagara.
Nama “Bhre Tanjungpura” adalah gelar kebangsawanan Majapahit, bukan sekadar sebutan geografis.
Wilayah Tanjungpura diperebutkan secara geopolitik karena berada di titik strategis yang menghubungkan Brunei di barat dan Banjarmasin di timur.
Kisah dan gelar Jayawardhanī Dyah Jayeswari Manggalawardhani Dyah Suragharini Maharatu Puteri Junjung Buih/PoetrieDjoendjoeng Boeih/ Poetri Djoendjoeng Boewih Putri Junjung Buih diperistri Raden Arya Gegombak Janggala RajasaPangeran Suryanata menunjukkan bagaimana bangsawan Majapahit ditanamkan sebagai penguasa daerah untuk memperkuat kendali pusat.
🧭 Struktur Dinasti dan Evolusi Kerajaan
Kerajaan Tanjungpura dan turunannya mengalami transformasi nama, lokasi pusat pemerintahan, dan struktur kekuasaan selama berabad-abad. Secara garis besar, berikut tahap evolusinya:
1. Kerajaan Tanjungpura (Hingga abad ke-15)
Awalnya berpusat di Negeri Baru.
Pemimpin awal antara lain: Sang Maniaka, Hyang-Ta, Siak Bahulun, Rangga Sentap, Brawijaya.
Era ini menunjukkan kuatnya pengaruh Hindu-Buddha, dan kemudian diasosiasikan dengan pengaruh Majapahit.
2. Kerajaan Sukadana (1487–1600-an)
Panembahan Karang Tanjung memindahkan pusat kerajaan dari Negeri Baru ke Sukadana.
Kerajaan Sukadana disebut dalam Hikayat Banjar.
Masa ini menandai peralihan ke Islam, ditandai dengan munculnya gelar-gelar Islam (Sultan, Panembahan, dsb).
3. Kesultanan Matan (1600-an–1819)
Dimulai dengan Gusti Aliuddin (Giri Kesuma) dan Ratu Mas Jaintan.
Lalu diteruskan oleh Sultan Muhammad Syaifuddin (Giri Mustaka) dan keturunannya.
Nama “Matan” muncul saat pusat pemerintahan bergeser dan pengaruh Islam menguat.
4. Kerajaan Simpang-Matan (1819–1940-an)
Pusat pemerintahan berpindah ke Simpang di bawah Gusti Asma.
Di masa ini muncul berbagai gelar: Panembahan, Sultan, Pangeran Ratu, dll.
Kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang sangat memengaruhi struktur dan kontinuitas politik kerajaan.
5. Kerajaan Tanjungpura II / Kayong-Matan
Muncul sebagai kerajaan cabang/penerus dengan legitimasi genealogis dan simbolis.
Dipimpin oleh garis keturunan Panembahan Anom dan Pangeran Mangkurat.
🧬 Pola Klasik: Fragmentasi Kekuasaan
Terjadi pembagian kekuasaan internal dalam keluarga kerajaan:
Tanah Merah, Sandai, Simpang, Matan, dan Kayong menjadi wilayah semi-otonom yang dipimpin oleh anggota keluarga kerajaan.
Ini mirip dengan pola kerajaan-kerajaan Melayu dan Jawa, seperti pembagian kadipaten dalam Mataram.
🧑🤝🧑 Silsilah Raja-Raja (Inti dan Cabang)
Menurut Buku Sekilas Menapak Langkah Kerajaan Tanjungpura (2007):
Garis raja dimulai dari Brawijaya (1454–1472) sampai ke Gusti Ibrahim (1945).
Kemudian diteruskan oleh kerajaan cabang Simpang-Matan dan Kayong-Matan, dengan beberapa di antaranya bertahan secara kultural dan genealogis hingga abad ke-21.
Menurut Versi Alternatif (Sumber Historis Lain):
Raja pertama disebut Sang Maniaka / Krysna Pandita (800 M), menunjukkan akar yang jauh lebih tua.
Lalu berlanjut ke Hyang-Ta, Siak Bahulun, Rangga Sentap, hingga Brawijaya dan seterusnya.
Versi ini menggabungkan sumber lokal dan kolonial (P.J. Veth, Lontaan, Barth, Raja Ali Haji, dsb).
🔎 Catatan Khusus: Gelar-Gelar
Gelar dalam kerajaan ini mengalami perubahan sesuai periode sejarah dan pengaruh budaya/politik:
Hindu-Buddha: Sang, Prabu, Hyang
Majapahit: Bhre, Raden, Pangeran
Islam/Melayu: Panembahan, Sultan, Ratu, Gusti
🗺️ Jejak Modernisasi dan Warisan
Universitas Tanjungpura dan Kodam XII/Tanjungpura menjadi warisan nama kerajaan yang abadi di Kalimantan Barat.
Majelis Raja Matan masih eksis hingga hari ini, menunjukkan kesinambungan adat dan identitas kultural.
📌 Kesimpulan Penting
Kerajaan Tanjungpura adalah entitas politik tertua di Kalimantan Barat, yang mengalami transformasi geografis dan politis menjadi Sukadana, Matan, Simpang, hingga Tanjungpura II (Kayong-Matan).
Silsilah raja bisa dilacak dalam dua versi utama: versi lokal tradisional (berbasis kitab dan hikayat) dan versi kolonial/buku sejarah.
Meski kerajaan-kerajaan ini tidak lagi berdaulat secara politik, mereka tetap hidup secara budaya dan genealogis.
Tanjungpura merupakan kerajaan penting dalam sejarah Nusantara, baik dalam konteks Majapahit, Islamisasi, maupun masa kolonial.
Fakta Sejarah Berdasarkan Prasasti Jiyu I / Trailokyapuri (1486 M)
🔶 “Sang Mokta ring Indrabuwana” dalam Prasasti Jiyu I 1486 M
Merujuk pada Bhre Daha Manggalawardhani Dyah Suragharini, yang wafat tahun 1474 M, dan diperingati melalui upacara sraddha 12 tahun kemudian (1486 M) oleh putranya Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (raja terakhir Majapahit versi Kedhaton).
Dalam prasasti disebutkan bahwa:
Brahmaraja Ganggadhara memimpin upacara sraddha.
Ia diberi hadiah berupa tanah perdikan di Talasan, Pung, dan Batu, untuk mendirikan asrama Trailokyapuri.
Prasasti ini merupakan tanda penghormatan besar kepada Manggalawardhani, ibunda sang raja.
Putri Junjung Buih adalah sosok ratu sakral dari buih sungai yang dinikahi oleh Pangeran Suryanata, seorang bangsawan Majapahit (nama lain dari Raden Arya Gegombak Janggala Rajasa).
Dikatakan bahwa semua raja di Kalimantan harus memiliki garis keturunan dari Putri Junjung Buih, karena dianggap memiliki “darah suci” Dayak dan Majapahit.
🧬Teori Kesejarahan (Rekonstruksi)
Manggalawardhani Dyah Suragharini, secara historis adalah istri dari Raden Arya Gegombak Janggala RajasaPangeran Suryanata dan ibunda dari Pangeran Suryaganggawangsa.
Dalam tradisi lokal, ia diidentifikasi atau dileburkan menjadi sosok Putri Junjung Buih, sebagai ratu sakral yang membentuk dinasti Banjar.
Dengan demikian, Manggalawardhani Dyah Suragharini adalah kandidat kuat untuk tokoh historis di balik legenda Putri Junjung Buih, mengingat:
Pernikahannya dengan bangsawan Majapahit (Raden Arya Gegombak Janggala RajasaPangeran Suryanata)
Keterlibatannya dalam pemerintahan Daha dan Negara Dipa
Keturunannya menjadi raja-raja Banjar, termasuk Suryaganggawangsa
Tradisi Kalimantan yang mengaitkan raja dengan asal-usul sakral dari Putri Junjung Buih
↓ menikah dengan RAJA NEGARA DIPA Raden Putra Raden Suria-Nata Maharaja Suria-Nata Pangeran Suria-Nata Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa Raden Arya Gegombak Janggala Rajasa Pangeran Suryanata
↓
RAJA NEGARA DIPAMaharaja Suria-Gangga-Wangsa Pangeran Suryaganggawangsa menikahi Putri Huripan anak PEMANGKU RAJA NEGARA DIPA Lambu Mangkurat (Patih Lamboeng Mangkoerat Ratu Kuripan)
RAJA NEGARA DIPA Maharaja Carang Laleyan Arya Dewangsa Aria Dewangga menikahi PEMANGKU RAJA NEGARA DIPA Putri Kabuwaringin Kalungsu binti Putri Huripan binti PEMANGKU RAJA NEGARA DIPA Lambu Mangkurat Patih Lamboeng Mangkoerat Ratu Kuripan
↓
RAJA NEGARA DAHA Raden Sekar Sungsang Ki Mas Lelana Raden Sari KaburunganMaharaja Sari Kaburungan (Pandji Agung Rama Nata) menikahi Poetrie Ratna Minasih
↓
RAJA NEGARA DAHA Maharaja Sukarama (Pangeran Sukarama)
🔶 Penutup dan Kesimpulan
Manggalawardhani Dyah Suragharini adalah tokoh historis Majapahit yang juga menjabat sebagai penguasa Daha dan Negara Dipa.
Berdasarkan silsilah dan cerita rakyat Kalimantan Selatan, ia identik atau dileburkan dengan sosok mitologis Putri Junjung Buih.
Ia merupakan mata rantai penghubung antara Majapahit dan pendirian dinasti kerajaan Banjar, menjadikannya salah satu tokoh perempuan paling penting dalam sejarah Nusantara bagian timur dan selatan.
“Sang Mokta Ring Indrabuwana” yang disebut dalam Prasasti Jiyu I (Trailokyapuri) tahun 1486 M adalah gelar kehormatan untuk sang ahli spiritual pendiri upacara śraddha memperingati wafatnya. Berdasarkan pembacaan prasasti dan sumber-sumber sekunder, dijelaskan bahwa gelar tersebut merujuk langsung kepada Bhatara ring Daha Manggalawardhani Dyah Suragharini, yaitu ibu kandung Sri Maharaja Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.
📜 Inti dari prasasti tersebut (penjelasan Muhammad Yamin dalam “Tatanegara Madjapahit”, 1962) menyatakan: upacara śraddha selama 12 tahun untuk mengenang “sang mokta ring Indrabhawana”, alias Manggalawardhani Dyah Suragharini, diselenggarakan pada tahun saka 1408 (1486 M), dan sebagai hadiah kepada Brahmaraja Ganggadara atas perannya. Gelar ini menyiratkan penghormatan tinggi, menandakan ia telah mencapai status moksa atau pembebasan spiritual setelah meninggal dunia
Kesimpulannya:
Sang Mokta Ring Indrabuwana adalah gelar keramat bagi Manggalawardhani Dyah Suragharini, memuliakan status kerohanian dan kebesaran beliau, khususnya sebagai ibu dari Dyah Ranawijaya.
Peringatan 12‑tahun wafatnya dilakukan pada 1486 M, menandakan kematiannya tahun 1474 M.
Identitas Putri Junjung Buih
Nama lengkap historis: Jayawardhanī Dyah Jayeswari Manggalawardhani Dyah Suragharini
Gelar budaya/honorifik: Maharatu Puteri Junjung Buih
Asal-usul:Putri manusia, bukan makhluk gaib.
Orangtua biologis
Ayah: ♂ Manggalawardhana Bhre Tumapel II
Ibu: ♀ Dewi Kasuma Sari Bhre Lasem V
Jadi, Putri Junjung Buih adalah manusia berdarah bangsawan, keturunan langsung dari tokoh-tokoh besar kerajaan Majapahit dan Lasem. Cerita bahwa ia “lahir dari buih” adalah mitos simbolik, bukan realitas biologis.
Keturunan dan Keluarga Besar
Putri Junjung Buih memiliki beberapa anak dan keturunan penting:
Raden Wijayaparakrama Dyah Samarawijaya (Bhre Matahun III)
Pangeran Suryaganggawangsa (Raja Negara Dipa) — menikah dengan Ratu Kuripan, keturunan Patih Lambu Mangkurat.
Pangeran Suryawangsa Aria Dewangsa (Bhre Tanjungpura II)
Ini memperjelas bahwa Putri Junjung Buih adalah nenek moyang keluarga besar yang memiliki hubungan kuat dengan Kesultanan Banjar dan Jawa Timur, terutama Majapahit.
Akhir Hayat
Wafat: 1474 M
Upacara Sraddha: Tahun 1486 M (12 tahun setelah wafat, diperingati oleh anaknya, Dyah Ranawijaya)
Makam/Petilasan:
Dusun Dua, Desa Tanjungpura, Ketapang, Kalbar
Candi Agung, Sungai Malang, Amuntai, Kalimantan Selatan
Mukso / Pertapaan: Gunung Pamathon
Kesimpulan Ilmiah & Logis
Putri Junjung Buih adalah manusia, keturunan bangsawan Majapahit – bukan anak jin, anak Nabi Khidir, atau dewata.
Mitos “lahir dari buih” adalah simbolisasi kesucian, keagungan, atau kemunculan ilahi, lazim dalam budaya Nusantara, namun bukan berarti tanpa asal-usul manusia.
Prasasti Jiyu I 1486 M adalah bukti otentik dan akademik, lebih kuat dari narasi lisan atau mitos yang tidak dapat diverifikasi.
Penutup (Pesan Sejarah)
“Jika sejarah dibiarkan dikaburkan oleh mitos, maka generasi mendatang akan kehilangan arah dan jati diri. Tapi jika sejarah ditegakkan berdasarkan prasasti dan nalar, maka martabat leluhur akan tetap terjaga.”
saya sedang melakukan tugas besar dan terhormat: menyelamatkan warisan sejarah dan budaya dari kabut mitos dan manipulasi identitas. Penjelasan yang saya sampaikan sangat logis, berani, dan penting untuk menjaga integritas sejarah Banua.
Di kalangan sebagian masyarakat Banjar, masih kuat dipercayai bahwa Putri Junjung Buih adalah anak Nabi Khidir, atau bahkan makhluk dewata yang lahir dari buih di permukaan air. Narasi ini sarat makna simbolik, namun tidak memiliki dasar ilmiah dan historis yang kuat.
Namun, berdasarkan Prasasti Jiyu I / Trailokyapuri tahun 1486 M, Putri Junjung Buih jelas disebut sebagai anak manusia dari bangsawan Majapahit, yakni:
Ayah: Bhre Tumapel II (Manggalawardhana)
Ibu: Bhre Lasem V (Dewi Kasuma Sari)
Ia diberi nama Jayawardhanī Dyah Jayeswari Manggalawardhani Dyah Suragharini, dengan gelar Maharatu Puteri Junjung Buih.
Ini berarti Junjung Buih adalah bagian dari struktur kerajaan dan bangsawan Jawa Timur yang sangat berpengaruh, dan bukan sosok gaib tanpa asal-usul.
🧘♀️ Kepercayaan vs Fakta
Cerita bahwa ia adalah anak Nabi Khidir kemungkinan dimunculkan belakangan, terutama untuk menciptakan legitimasi keislaman pada struktur kerajaan lama seperti Negara Dipa, Daha, dan Banjar. Tujuannya adalah:
Menarik penerimaan Islam sebagai fondasi kerajaan
Menghapus jejak Siwa-Buddha-Kaharingan yang sebelumnya dominan
Mengubah kerajaan menjadi kesultanan demi penyesuaian identitas
Namun secara historis:
Negara Dipa dan Daha adalah kerajaan Hindu-Siwa dan Buddha yang kuat
Bukti-bukti arkeologis seperti Candi Agung Amuntai membuktikan eksistensi ritual Hindu-Syiwa dan pengaruh Kaharingan
Kesultanan baru terbentuk jauh kemudian saat Islam benar-benar menjadi agama dominan dan terintegrasi dalam struktur kekuasaan.
Mengapa Ini Penting Diluruskan?
“Jika sejarah dibiarkan dikaburkan oleh mitos, maka generasi mendatang akan kehilangan arah dan jati diri. Tapi jika sejarah ditegakkan berdasarkan prasasti dan nalar, maka martabat leluhur akan tetap terjaga.”
Anak cucu bangsa harus tahu bahwa leluhur mereka bukan berasal dari mitos, tapi dari darah daging nyata yang berjuang membangun kerajaan besar di Kalimantan.
Mengetahui bahwa Junjung Buih adalah manusia, bukan makhluk mistis, tidak mengurangi kemuliaannya, justru menguatkan nilai perjuangan dan keagungan leluhur Banua.
Menyelaraskan sejarah dengan prasasti adalah langkah ilmiah dan bijaksana, bukan bentuk pelecehan terhadap kepercayaan.
Penutup
Boleh saja kita menghormati cerita rakyat sebagai bagian dari budaya lisan. Tapi dalam konteks sejarah resmi, yang harus menjadi acuan adalah prasasti, naskah kuno, dan bukti arkeologis.
Mari luruskan sejarah, bukan untuk membantah kepercayaan, tapi untuk memuliakan leluhur dengan kebenaran yang terang.
🔱 Kerajaan Tanjungpura (800 M – 1590)
Kerajaan awal di wilayah Kalimantan Barat, dengan pusat kekuasaan yang berpindah seiring waktu dan pengaruh eksternal (Sriwijaya, Majapahit).
Para Raja Awal (Legenda dan Sejarah Awal)
Sang Maniaka / Krysna Pandita (800 M–?)
Hyang-Ta (900–977)
Siak Bahulun (977–1025)
Rangga Sentap (1290–?)
Pengaruh Majapahit dan Perpindahan ke Sukadana: 5. Prabu Jaya / Brawijaya (1447–1461) 6. Raja Baparung / Pangeran Prabu (1461–1481) 7. Karang Tunjung / Panembahan Pudong Prasap (1481–1501) 8. Panembahan Kalahirang (1501–1512) 9. Panembahan Bandala (1512–1538) 10. Panembahan Anom (1538–1565) 11. Panembahan Dibarokh / Sibiring Mambal (1565?–1590)
👑 Kerajaan Matan (1590–1792)
Transformasi dari Tanjungpura menjadi Sukadana, lalu ke Matan, mencerminkan dinamika politik dan pengaruh Islam yang kuat.
Masa Peralihan & Islamisasi:
Giri Kusuma (1590–1608) – Penguasa pertama dari dinasti baru; awal nama “Matan” digunakan.
Ratu Sukadana / Ratu Mas Jaintan (1608–1622) – Istri Giri Kusuma; penting karena sebagai Ratu memerintah langsung.
Panembahan Ayer Mala (1622–1630)
Sultan Muhammad Syafeiudin / Giri Mustaka / Pangeran Iranata / Cakra (1630–1659)
Konsolidasi Kesultanan: 5. Sultan Muhammad Zainuddin (1659–1725) – Meningkatkan kekuatan politik kerajaan.
Perpecahan Wilayah Kekuasaan: 6. Pangeran Agung (1710–1711) – Memerintah Tanah Merah. 7. Pangeran Agung Martadipura (1725–1730) 8. Pangeran Mangkurat / Sultan Aliuddin Dinlaga (1728–1749) – Memerintah Sandai & Tanah Merah. 9. Pangeran Ratu Agung (1735–1740) – Memerintah wilayah Simpang.
🕌 Kesultanan Matan–Simpang (1749–1943)
Kerajaan mulai terfragmentasi menjadi cabang kekuasaan: Simpang-Matan, Kayong-Matan, dan lainnya.
Sultan Muazzidin Girilaya / Marhum Negeri Laya (1749–1762)
Sultan Ahmad Kamaluddin / Panembahan Tiang Tiga (1762–1792)
Sultan Muhammad Jamaluddin / Gusti Arma (1792–1830)
Panembahan Anom Kusuma Negara / Pangeran Adi Mangkurat Iradilaga (1831–1843)
Pangeran Cakra Tua / Pangeran Jaya Anom (1843–1845)
🏛️ Kerajaan Simpang-Matan (1845–1945)
Panembahan Gusti Muhammad Sabran (1845–1908)
Pangeran Laksamana Uti Muchsin (1908–1924)
Panembahan Gusti Muhammad Saunan / Pangeran Mas (1924–1943)
Masa Transisi Jepang & Republik: 4. Majelis Pemerintah Kerajaan Matan (1943–1948) – Pemerintahan kolektif selama pendudukan Jepang: ➤ Pg. Mangku Negara (Uti Halil), Pg. Adipati (Uti Apilah), Pg. Anom Laksamana (Gusti Kencana)
🔸 Kepemimpinan Era Modern (1987–sekarang)
Majelis Raja Kerajaan Matan: Dipimpin oleh:
Pangeran Ratu Kertanegara Gusti Kamboja
Pangeran Laksamana Anom Gusti Fadlin, S.Sos
(Alm.) Pangeran Adipati Uti Iwan Kusnadi (1987–2015)
✍️ Catatan Penting:
Silsilah ini disusun berdasarkan sumber-sumber primer dan sekunder, termasuk:
Naskah klasik: Tufat al-Nafis (Raja Ali Haji)
Arsip kolonial Belanda: P.J. Veth, Dewall, Barth
Manuskrip lokal: Silsilah Raja Matan dan keluarga kerajaan.
Nama-nama seperti Panembahan, Pangeran, Sultan menunjukkan fase perubahan sistem pemerintahan: dari Hindu–Budha ke Islam, dan dari kerajaan tradisional ke kesultanan.
🏛️ Warisan Budaya
Nama Tanjungpura masih hidup dalam:
Universitas Tanjungpura (Untan) di Pontianak.
Kodam XII/Tanjungpura, markas militer di Kubu Raya, Kalimantan Barat.
🧭 Garis Waktu dan Transisi Kekuasaan Kerajaan Tanjungpura–Matan dan Kerajaan-Kerajaan Turunannya
🔱 Kerajaan Tanjungpura (Sebelum 1487 – 1504)
Brawijaya (1454–1472)
Bapurung (1472–1487)
Panembahan Karang Tanjung (1487–1504) ➤ Pada masa ini pusat pemerintahan dipindahkan dari Negeri Baru ke Sukadana, maka nama kerajaan berubah menjadi Kerajaan Sukadana.
🏯 Kerajaan Sukadana (1504–1665)
Panembahan Karang Tanjung (berlanjut dari 1487–1504)
Panembahan Sang Ratu Agung / Gusti Syamsudin / Pundong Asap (1504–1518)
Panembahan Bendala / Gusti Abdul Wahab (1518–1533)
Panembahan Pangeran Anom (1526–1533) (mungkin bersamaan atau bersaing)
Panembahan Baroh (1533–1590)
Gusti Aliuddin / Giri Kusuma / Panembahan Sorgi (1590–1604)
Ratu Mas Jaintan (1604–1622)
Sultan Muhammad Syaifuddin / Giri Mustaka / Raden Saradipa (1622–1665)
📝 Catatan penting:
Pada masa Giri Kusuma dan Ratu Jaintan, Kerajaan Sukadana mulai dikenal juga sebagai Kesultanan, menandai Islamisasi kekuasaan.
👑 Kesultanan Matan (1665–1762)
Sultan Muhammad Zainuddin / Gusti Jakar Kencana / Sulthan Ratoe (1665–1724)
Sultan Muhammad Muazzuddin / Gusti Kesuma Bandan / Marhum Negeri Laya (1724–1738)
Sultan Muhammad Tajuddin / Gusti Bendung / Pangeran Ratu Agung (1738–1749)
Sultan Ahmad Kamaluddin / Gusti Kencuran / Marhum Indra Laya (1749–1762)
Sultan Muhammad Jamaluddin / Gusti Asma / Pangeran Ratu (1762–1819) ➤ Pusat pemerintahan dipindah ke Simpang, kerajaan berubah nama menjadi Kerajaan Simpang (atau Simpang-Matan).
🕌 Kerajaan Simpang-Matan (1819–1952)
Panembahan Anom Suryaningrat / Gusti Mahmud (1819–1845)
Panembahan Anom Kesumaningrat / Gusti Muhammad Roem (1845–1889)
Panembahan Suryaningrat / Gusti Panji (1889–1920)
Panembahan Gusti Roem (1912–1942)
Panembahan Gusti Mesir (1942–1943) → Ditawan Jepang
Gusti Ibrahim (1945, usia 14 tahun) → Pemerintahan dijalankan oleh Mangkubumi Gusti Mahmud hingga wafat (1952)
⚜️ Kerajaan Kayong-Matan / Tanjungpura II (abad 19 – abad 20)
Pecahan kerajaan lain dari garis keturunan Tanjungpura:
Sultan Mangkurat / Gusti Irawan
Pangeran Agung
Panembahan Anom Kesuma Negara / Muhammad Zainuddin Mursal (1829–1833)
Pangeran Muhammad Sabran
Gusti Muhammad Saunan
📝 Wilayah ini diakui secara administratif oleh Belanda (lihat Staatsblad 1849), sebagai bagian dari Wester-afdeeling van Borneo.
📌 Kesimpulan dan Ciri-Ciri Penting
🔄 Transisi Nama dan Lokasi Kerajaan:
Nama Kerajaan
Periode Kunci
Lokasi Pusat
Catatan Utama
Kerajaan Tanjungpura
s/d 1504
Negeri Baru
Hindu-Buddha; sebelum Islamisasi
Kerajaan Sukadana
1504–1665
Sukadana
Islamisasi dimulai, kerajaan maju
Kesultanan Matan
1665–1762
Matan (Tanjungpura Lama)
Periode Islam kuat, sultan berkuasa
Kerajaan Simpang
1762–1952
Simpang
Akhir kekuasaan formal pasca-Jepang
Kerajaan Kayong-Matan
abad 19–20
Kayong
Pecahan lain dari Matan
🧬 Ciri Umum Silsilah Raja-Raja:
Banyak nama raja memakai gelar “Gusti”, “Panembahan”, “Pangeran”, “Sultan” sesuai zaman dan pengaruh politik-religius.
Islamisasi kerajaan mulai mencolok sejak masa Giri Kusuma dan Giri Mustaka.
Pecahnya kerajaan menjadi beberapa entitas kecil: Simpang, Kayong, Tanah Merah, dan lain-lain akibat konflik internal, intervensi Belanda, dan struktur adat setempat.
🛕 Candi Agung Amuntai: Jejak Megah Kerajaan Negara Dipa
Terletak di jantung Kota Amuntai, Kalimantan Selatan, Candi Agung adalah saksi bisu kemegahan masa lalu. Berdiri kokoh di Kelurahan Sungai Malang, Kecamatan Amuntai Tengah, situs ini merupakan peninggalan Kerajaan Hindu Negara Dipa, sebuah kerajaan tua yang menjadi cikal bakal lahirnya Kesultanan Banjar dan Pagustian Banjar.
🔱 Warisan Abad ke-14
Menurut sejarah Candi Agung Amuntai dibangunSitus pemujaan Hindu-Syiwa. Tambak Wasi adalah tempat kremasi korban Perang Nan Sarunai Dayak Mananyan Ekspedisi Pertama Jayanagara Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara, putra Raden Wijaya atau Dyah Wijaya Nararya Sanggramawijaya Kṛtarajasa Jayawardhana ke Tanah Nansarunai (1309–1328 M) . Ekspedisi Kedua Ratu Çri Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani putri Raden Wijaya atau Dyah Wijaya Nararya Sanggramawijaya Kṛtarajasa Jayawardhana 1339–1341 M –. Ekspedisi Ketiga – Maha Patih Gajahmada & Raja Hayam Wuruk Paduka Śri Tiktawilwanāgareśwāra Śrī Rājasanāgara nāmārājabhiṣeka Garbhotpattinama Dyah Sri Hayamwuruk Çri Nata Rajasanagara Çri Nata Wilwatikta Puncak Tragedi (1389 M)dalam pemusnahan kerajaan Nan Sarunaidayak maanyan dipimpin kordinator lokal Maharaja Empu Jatmika berdarah campuran Jawa-Ma’anyan yang memperistri Maharatū Sira Manguntur Dēwi Sekar Gading, seorang bangsawan Dayak Ma’anyan Hindu-Syiwa Kerajaan Nan Sarunai — kerajaan purba Suku Dayak Maanyan, leluhur sejati pulau Borneo pada abad ke-14 Masehi. Ia adalah pendiri Kerajaan Negara Dipa, yang diyakini berdiri pada tahun 1438 Masehi, di pertemuan tiga sungai besar: Tabalong, Balangan, dan Negara. Kerajaan ini dipimpin oleh Maharaja Suryanata bersama Putri Junjung Buih, dan didukung oleh seorang patih legendaris: MangkubumiLambung Mangkurat.
Dari peradaban ini, kemudian lahir Kerajaan Negara Daha, dan selanjutnya Kesultanan Banjar hingga Pagustian Banjar yang berperan penting dalam sejarah Kalimantan selatan.
🧱 Keunikan Arsitektur dan Material
Berukuran sekitar 40 x 50 meter, Candi Agung terbuat dari batu dan kayu ulin yang kokoh. Saat penggalian tahun 1967, ditemukan batu bata besar berusia ratusan tahun, bahkan ada temuan yang diduga berasal dari sekitar 200 tahun sebelum Masehi.
Menariknya, batu bata yang digunakan memiliki karakteristik unik — lebih berat dan lebih padat daripada bata merah biasa. Jenis batu bata ini juga ditemukan di Kompleks Makam Sultan Suriansyah dan Candi Kayen di Jawa Tengah, menunjukkan kemungkinan adanya hubungan budaya atau teknologi lintas wilayah Nusantara.
🏛️ Museum Candi Agung
Tepat di depan kompleks candi berdiri sebuah museum mini berbentuk rumah adat Banjar, yang menyimpan berbagai artefak kerajaan seperti:
Batu bata asli dari struktur candi,
Fragmen tembikar beraksara Tiongkok,
Dokumentasi temuan arkeologi.
Museum ini menjadi jendela sejarah bagi generasi muda untuk mengenal peradaban tua Kalimantan yang maju dan kosmopolitan.
🩸 Legenda Telaga Darah
Di sisi situs terdapat Telaga Darah, sebuah sumur yang menurut legenda, menjadi tempat pembunuhan Sukmaraga dan Patmaraga oleh paman mereka sendiri, Lambung Mangkurat. Namun menurut Hikayat Banjar, lokasi pembunuhan sesungguhnya terjadi di Sungai Luhuk Badangsanak, cukup jauh dari istana utama.
🌄 Destinasi Sejarah dan Spiritualitas
Kini, Candi Agung bukan hanya situs sejarah, tapi juga tempat penuh nilai spiritual dan budaya. Dengan atap pelindung cungkup dan pemeliharaan berkala, situs ini mengajak kita untuk menelusuri kembali jejak leluhur Kalimantan Selatan — sebuah warisan peradaban yang patut dijaga dan dikenang.
📍 Lokasi: Kelurahan Sungai Malang, Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan 🕰️ Usia Situs: Diperkirakan lebih dari 740 tahun 🏯 Pendiri: Empu Jatmika (Raja Negara Dipa)
Pesan terakhir dari Mangkubumi Jantam mengandung nilai-nilai luhur kepemimpinan dan kebijaksanaan yang sangat mendalam. Berikut penjabaran rasional dan masuk akal dari pesan tersebut:
🗣️ “Jangan kikir!”
Makna: Seorang pemimpin atau pejabat tidak boleh bersifat pelit, baik dalam hal materi, waktu, perhatian, maupun keputusan.
Rasionalisasi: Dalam kepemimpinan, kemurahan hati mencerminkan empati dan keberpihakan kepada rakyat. Pemimpin yang dermawan akan lebih mudah dicintai dan dihormati. Kedermawanan juga menunjukkan kekuatan dan kepercayaan diri dalam berbagi.
Konteks budaya: Dalam nilai-nilai Nusantara, khususnya di kerajaan-kerajaan Kalimantan dan Jawa, kemurahan hati seorang pemimpin adalah simbol dari kesuburan dan kesejahteraan negeri.
⚖️ “Bersikap adil terhadap setiap orang.”
Makna: Keadilan harus menjadi dasar utama dalam setiap keputusan dan tindakan pemimpin, tanpa memandang status sosial, kekayaan, atau kedekatan pribadi.
Rasionalisasi: Keadilan menjamin stabilitas sosial dan politik. Masyarakat yang merasa diperlakukan adil akan lebih loyal dan tidak mudah memberontak. Sebaliknya, ketidakadilan adalah bibit dari kerusuhan dan kehancuran negara.
Nilai universal: Prinsip ini sejalan dengan ajaran agama, filosofi klasik, dan sistem hukum modern bahwa keadilan adalah pilar utama peradaban.
📜 “Dan hendaklah menerima dan mendengarkan dengan segera tiap-tiap permohonan orang yang datang menghadap!”
Makna: Seorang pemimpin harus rendah hati dan terbuka, bersedia mendengarkan keluhan, permintaan, dan aspirasi rakyatnya tanpa menunda-nunda.
Rasionalisasi: Kepemimpinan bukan soal kekuasaan semata, tetapi soal pelayanan. Mendengarkan dengan cepat dan langsung menunjukkan perhatian dan rasa tanggung jawab. Ini juga mempercepat proses penyelesaian masalah dan mencegah kekecewaan publik.
Konteks historis: Dalam sistem kerajaan atau pemerintahan adat, raja atau mangkubumi yang dekat dengan rakyat adalah yang paling dikenang dan dihormati, seperti halnya Pangeran Mangkubumi Ratu Anom Sultan Wirakusuma II, Pangeran Mangkubumi Ratu Anom Sultan Hidayatullah I dan Pangeran Antasari.
✨ Kesimpulan:
Pesan terakhir dari Mangkubumi Jantam bukan sekadar nasehat moral, tapi kode etik kepemimpinan tradisional Banjar yang sangat relevan hingga kini. Pesan tersebut merupakan warisan spiritual dan etika politik yang mengajarkan bahwa:
“Pemimpin sejati adalah yang murah hati, adil, dan mau mendengar.”
Pesan ini bisa dijadikan falsafah hidup bagi pemimpin masa kini, baik dalam konteks pemerintahan, organisasi, maupun keluarga.
🛡️ Pesan Terakhir Mangkubumi Jantam Kerajaan Negara Dipa 1389 -1450: Kode Etik Kepemimpinan Negara Dipa
Dalam sejarah panjang Kerajaan Nan Sarunai — kerajaan purba Dayak Ma’anyan yang diyakini sebagai leluhur sejati pulau Borneo — terdapat satu figur kebangsawanan yang dikenang bukan karena takhta atau peperangan, melainkan karena kebijaksanaannya: Mangkubumi Jantam.
Beliau adalah penasihat utama kerajaan, pengelola pemerintahan sehari-hari, sekaligus pelindung nilai-nilai adat yang diwariskan turun-temurun. Dalam struktur pemerintahan Negara Dipa, jabatan Mangkubumi bukan sekadar pembantu raja, melainkan penjaga keseimbangan antara hukum, spiritualitas, dan suara rakyat.
🌸 Maharatu DewiSita Rara seorang bangsawan Dayak Ma’anyan Hindu-Syiwa Kerajaan Nan Sarunai — kerajaan purba Suku Dayak Maanyan, leluhur sejati pulau Borneo
Istri dari Mangkubumi Jantam, seorang bangsawan wanita Dayak Ma’anyan beragama Hindu-Syiwa, dikenal sebagai Dewi Sita Rara. Ia merupakan putri keturunan luhur kerajaan Nan Sarunai, simbol kesucian dan pengetahuan yang tinggi. Ia diperistri oleh Mangkubumi Jantam, seorang Maharaja berdarah campuran Jawa dan Ma’anyan — pendiri awal tatanan Negara Dipa setelah masa transisi Nan Sarunai akibat agresi Majapahit.
Semua pemikiran dan kebijakan Mangkubumi Jantam, sebagaimana dicatat dalam tradisi lisan dan ajaran adat, berakar dari ajaran dan petuah istrinya, sang Maharatu DewiSita Rara. Ia adalah guru rohani sekaligus penasihat utama, yang memberi arah pada tindakan suaminya. Dalam budaya Ma’anyan kuno, keharmonisan antara pemimpin dan pasangannya adalah dasar kesejahteraan negeri.
✨ Pesan Terakhir Mangkubumi Jantam:
“Jangan kikir! Bersikap adil terhadap setiap orang. Dan hendaklah menerima dan mendengarkan dengan segera tiap-tiap permohonan orang yang datang menghadap!”
Pesan ini bukan hanya ucapan menjelang wafat, melainkan warisan kode etik pemerintahan Ma’anyan kuno, yang diturunkan sebagai prinsip hidup para pemimpin Negara Dipa:
Jangan kikir → Pemimpin sejati harus berjiwa dermawan, tidak menimbun kekayaan atau kuasa untuk dirinya sendiri. Kekayaan negeri adalah milik rakyat.
Bersikap adil terhadap setiap orang → Tanpa pandang kasta, suku, atau latar belakang. Prinsip keadilan universal menjadi dasar legitimasi kekuasaan.
Mendengarkan dengan segera tiap-tiap permohonan rakyat → Pemimpin tidak boleh menunda keadilan. Kesegeraan dalam merespons keluhan rakyat adalah tanda pemimpin yang hadir, bukan bersembunyi dalam istana.
📜 Warisan Etika Kepemimpinan Tradisional
Pesan Mangkubumi Jantam dijadikan dasar dalam ajaran adat dan pambakal (hukum desa) Ma’anyan. Bahkan, sebagian besar undang adat di daerah aliran Sungai Barito hingga ke pegunungan Meratus, masih mencerminkan prinsip itu:
Forum permusyawaratan adat wajib terbuka bagi semua warga.
Pemimpin adat yang menolak mendengarkan keluhan akan kehilangan legitimasi spiritual.
Keadilan harus dikawal bukan hanya oleh raja, tapi oleh Mangkubumi, yang dianggap perpanjangan suara rakyat dan suara leluhur.
🔮 Simbol Kebijaksanaan dalam Tradisi Ma’anyan
Kisah Mangkubumi Jantam dan Maharatu DewiSita Rara menjadi simbol ideal dalam falsafah Ma’anyan:
Bahwa kekuatan laki-laki sebagai pemimpin harus diimbangi oleh kearifan perempuan.
Bahwa pemerintahan yang kuat bukan dibangun oleh pedang, melainkan oleh mendengar, memahami, dan memberi dengan tulus.
3. 🛡️ Panglima, Penasehat & Tokoh Adat
Patih Layang Laya / Panglima Umbang / Panglima Raga Panglima perang pemberani yang dipuja sebagai pejuang melawan Majapahit dalam syair dan tradisi lisan.
Datu Mangkubumi / Datu Irang & Datu Kawa Penasehat kerajaan dan pemimpin wilayah saat masa migrasi dan rekontruksi pasca kehancuran.
Tampung Bungai Tokoh budaya pengukir dan penyusun sistem adat Dayak Ma’anyan.
Mantir Tutung Wului Tokoh spiritual pelindung pusaka, menjaga tradisi saat tekanan eksternal (Majapahit).
Datu Tatuyan Raja spiritual awal yang menyatukan Barito Hulu.
4. 👸 Figur Perempuan Berpengaruh
Ratu Tambun & Ratu Bungai (Nyai Bungai) Pahlawan perempuan yang memperkuat diplomasi dan seni budaya lokal, dikenang sebagai pembebas atau pelindung. Nyai Bungai (Pematang Sawang) dikenal lewat cerita rakyat Dayak Kalimantan Tengah
Ratu Amas / Ratu Lalit / Putri Bawi Kuwu Perempuan pemimpin spiritual-agung, mengantarkan rakyat pasca serangan dan menetapkan tatanan adat baru.
5. 🌳 Tokoh Spiritual & Budaya Lain
Raja Luwu Antang Dibawa dalam tradisi sebagai pembentuk sistem pertahanan dan diplomasi awal kerajaan.
Damang Bataha Pejuang adat yang mempertahankan identitas suku setelah pengusiran luar.
Datu Kaladana Dipercaya mampu membaca tanda alam dan memberi petunjuk spiritual.
Jamuhala, Pangeran Jarang & Pangeran Idong Tokoh yang disebut dalam pertempuran Tambak Wasi (1358); Jamuhala gugur, Jarang & Idong mengungsi
6. 🔄 Cikal Bakal Sub-suku Ma’anyan
Setelah kehancuran, penguasa dan masyarakat menyebar, membentuk kelompok Ma’anyan sub-suku:
Silsilah Nansarunai lebih banyak dijaga secara tradisi lisan, diwariskan oleh para tetua dan balian dalam ritual sakral.
Sejumlah nama raja dan tokoh telah dikonfirmasi melalui Hikayat Banjar, riset sejarawan, dan temuan arkeologis
Tokoh perempuan seperti Ratu Tambun/Bungai dan Mantir Tutung Wului menandakan bahwa kekuasaan spiritual dan budaya dijalankan bersama laki-laki, mencerminkan cara inklusif memimpin.
⚔️ Runtuh oleh Gempuran Serangan Majapahit: Tragedi Nansarunai Usak Jawa
🔥 Latar Belakang Serangan
Kerajaan Majapahit, pada masa kejayaannya, memiliki ambisi besar untuk menguasai seluruh Nusantara. Ambisi ini terutama dipacu oleh Sumpah Palapa yang diikrarkan oleh Mahapatih Gajah Mada, Tahun 1334, Sri Tribhuwanotunggadewī Mahārājasa Jayawisnuwārddhani melantik Rakryan Mapatih Jirnnodhara bergelar Mahapatih AmangkubhumiGajah MadaBrajanata Bima. Di hadapannya, sang patih mengucapkan Sumpah Palapa — tidak akan menikmati rempah atau kesenangan duniawi sebelum seluruh Nusantara bersatu di bawah panji Majapahit.
Salah satu wilayah penting yang menjadi target ekspansi adalah pulau Kalimantan, terutama bagian tengah dan timur. Wilayah ini dianggap strategis karena menjadi jalur penghubung antara barat dan timur Nusantara, serta menyimpan potensi kekayaan alam yang luar biasa.
🎯 Mengapa Kerajaan Nan Sarunai Diserang?
Kerajaan Nan Sarunai, yang merupakan kerajaan kuat berbasis di pedalaman Kalimantan dan dihuni oleh suku Dayak Ma’anyan, menjadi target utama karena beberapa alasan penting:
📍 Lokasi Strategis
Terletak di antara jalur dagang dan migrasi penting antara utara dan selatan Kalimantan.
Memiliki akses ke daerah pesisir dan ke jalur sungai-sungai besar seperti Barito dan Kahayan yang merupakan urat nadi transportasi saat itu.
💰 Sumber Daya Alam yang Melimpah
Wilayah Kerajaan Nan Sarunai dikenal sebagai tanah yang kaya akan emas, rotan, kayu ulin, dan berbagai hasil hutan lainnya.
Sumber daya ini sangat menarik bagi Majapahit yang ingin memperkuat kekuatan ekonomi dan militernya.
🌐 Pengaruh Politik dan Budaya
Nan Sarunai bukan sekadar kerajaan kecil, tetapi memiliki pengaruh budaya dan politik besar terhadap kerajaan-kerajaan lokal lainnya di Kalimantan bagian selatan dan tengah.
Ia dianggap sebagai pusat peradaban Dayak Ma’anyan dan menjadi simbol identitas serta kedaulatan masyarakat adat lokal.
⚠️ Konsekuensi dari Serangan
Serangan Majapahit terhadap Kerajaan Nan Sarunai tidak sekadar ekspansi militer biasa. Ini menjadi awal dari tragedi besar yang dikenal dalam sejarah Dayak Ma’anyan sebagai “Nansarunai Usak Jawa”—yang secara harfiah berarti “Nan Sarunai Hancur oleh Orang Jawa.”
Serangan ini bukan hanya menghancurkan kota dan benteng, tetapi juga mengoyak jantung budaya dan spiritual masyarakat Dayak. Banyak situs suci dihancurkan, pemimpin adat terbunuh atau melarikan diri ke pedalaman, dan masyarakat tercerai-berai. Trauma ini tertanam dalam memori kolektif suku Dayak hingga berabad-abad kemudian, diturunkan lewat pantun, nyanyian, dan ritual.
🔁 Catatan Penting
Meskipun Majapahit mengklaim “kemenangan”, perlawanan rakyat Dayak Ma’anyan tidak pernah benar-benar padam. Bahkan, dalam ekspedisi berikutnya (1339–1341), mereka kembali membuat Majapahit kesulitan. Tragedi ini justru memperkuat semangat identitas, kebanggaan, dan kemandirian budaya Dayak Ma’anyan yang bertahan hingga kini.
⚔️ 1. Ekspedisi Pertama Jayanagara Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara, putra Raden Wijaya atau Dyah Wijaya Nararya Sanggramawijaya Kṛtarajasa Jayawardhana ke Tanah Nansarunai (1309–1328 M)
👑Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa AdhiswaraJAYANAGARA: Raja Muda Majapahit dalam Bayang-Bayang Intrik dan Pemberontakan
Latar Belakang
Jayanagara, lahir tahun 1294, adalah raja kedua Majapahit setelah Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya). Ia dikenal juga sebagai Kalagemet, sebuah julukan dari Pararaton yang bermakna negatif: “lemah dan jahat”, mencerminkan ketegangan politik dan banyaknya pemberontakan selama masa pemerintahannya (1309–1328 M).
Ia merupakan putra dari Raden Wijaya dan Dara Petak—seorang putri dari Kerajaan Melayu Dharmasraya di Sumatra, yang kemudian dinamai Indreswari dalam versi Nagarakretagama.
Jalan Menuju Takhta
Di usia yang masih sangat muda, Jayanagara sudah diangkat sebagai Raja Muda Kadiri (Daha) pada 1295 M. Ketika ayahandanya wafat tahun 1309, ia naik takhta sebagai raja Majapahit penuh, dibantu oleh para Mahamantri, termasuk tokoh terkenal Dyah Rangganata dan Dyah Kameswara.
Namun darah campuran Jawa-Sumatra yang dimilikinya membuatnya diragukan oleh bangsawan istana. Banyak pengikut ayahandanya merasa tak puas dan memilih memberontak.
Gelombang Pemberontakan
Selama 19 tahun pemerintahannya, Majapahit diguncang banyak pemberontakan besar:
Ranggalawe (1309) — kecewa tidak diangkat sebagai patih utama.
Lembu Sora (1311) — terhasut intrik pejabat Mahapati.
Nambi (1316) — patih istana yang merasa terancam dan menyerang balik.
Ra Kuti (1319) — pemberontakan besar yang sempat merebut ibu kota Majapahit.
Dalam tragedi Ra Kuti, Jayanagara diselamatkan oleh pasukan Bhayangkari yang dipimpin Gajah Mada dan disembunyikan di desa Badander. Inilah titik balik munculnya Gajah Mada dalam sejarah Majapahit.
Pembunuhan Tragis
Tahun 1328, Jayanagara tewas dalam sebuah insiden misterius. Ia ditikam saat menjalani operasi bisul oleh Ra Tanca, seorang tabib istana. Ada berbagai versi tentang motif pembunuhan ini:
Balas dendam pribadi Ra Tanca karena istrinya diganggu oleh raja.
Intrik Gajah Mada, yang menggunakan Tanca sebagai alat politik.
Pemberontak lama yang menghasut Tanca untuk melakukan pembunuhan.
Tuduhan raja ingin menikahi adik-adiknya sendiri (Tribhuwana dan Rajadewi), memicu konflik internal istana.
Gajah Mada langsung membunuh Tanca di tempat, membuat motif sesungguhnya tidak pernah diungkap secara tuntas.
Warisan dan Akhir
Jayanagara meninggal tanpa keturunan. Takhta kemudian diserahkan kepada ibunya, Gayatri (yang sudah menjadi Bhiksuni), dan kemudian jatuh ke tangan putri sulungnya: Tribhuwana Wijayatunggadewi, ratu besar yang kelak membawa Majapahit ke masa kejayaan bersama Mahapatih Gajah Mada.
Ia didharmakan (dipuja) dalam berbagai candi:
Srenggapura (Antawulan) – mungkin di situs Bajang Ratu saat ini.
Silapetak, Bubat, dan Sukalila – sebagai Wisnu dan Amoghasiddhi (aspek Buddha).
Kesimpulan
Kisah Jayanagara adalah babak awal dari drama besar Majapahit—penuh perebutan kuasa, intrik, dan pengkhianatan. Ia adalah simbol masa transisi: dari kerajaan muda yang rentan, menuju kebangkitan era Gajah Mada dan cita-cita “Nusantara”.
Catatan:
📚 Untuk penulisan narasi sejarah ini, referensi utama diambil dari Pararaton, Nagarakretagama, Kidung Sorandaka, catatan Odorico da Pordenone, serta kajian dari Slamet Muljana, Muhammad Yamin, dan N.J. Krom.
Setelah Majapahit berhasil memperluas pengaruhnya di Jawa dan sebagian Sumatera, ambisi ekspansi selanjutnya adalah Kalimantan. Wilayah tengah dan selatan pulau Borneo dikenal subur, kaya akan hasil bumi, rempah, rotan, damar, dan emas. Kerajaan Nansarunai yang kala itu merupakan kerajaan Dayak Ma’anyan yang kuat, menjadi target ekspedisi ekspansi berikutnya.
🧑✈️ Pemimpin Ekspedisi
Ekspedisi ini dilancarkan pada masa pemerintahan Jayanagara Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara, putra Raden Wijaya atau Dyah Wijaya Nararya Sanggramawijaya Kṛtarajasa Jayawardhana, adalah pendiri dan Maharaja pertama Majapahit yang memerintah pada tahun 1293 hingga kematiannya pada tahun 1309. Jayanagara Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara, yang naik takhta menggantikan ayahnya. Jayanagara Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara memerintahkan ekspedisi besar-besaran ke Kalimantan untuk menaklukkan Nansarunai dan membawa wilayah tersebut ke dalam kekuasaan Majapahit.
🛡️ Kekuatan Pasukan
Jumlah pasukan Majapahit diperkirakan mencapai 40.000 prajurit.
Mereka terdiri dari prajurit infanteri, pemanah, dan pasukan berkuda serta armada laut yang mendarat di wilayah pesisir tenggara Kalimantan.
Pasukan ini dilengkapi peralatan perang lengkap: keris, tombak, panah berapi, dan alat pengepung.
🌲 Medan yang Tidak Bersahabat
Namun, begitu Jayanagara Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara, putra Raden Wijaya atau Dyah Wijaya Nararya Sanggramawijaya Kṛtarajasa Jayawardhana memasuki pedalaman Kalimantan, pasukan Majapahit menghadapi medan yang sangat berbeda dari tanah Jawa:
Hutan tropis yang lebat, rawa-rawa, dan sungai berliku menjadi hambatan utama.
Mereka tidak mengenal wilayah dan minim informasi soal topografi serta strategi lokal.
Banyak yang terjebak di rawa, hilang di belantara, atau jatuh sakit karena penyakit tropis seperti malaria dan disentri.
🏹 Taktik Perlawanan Dayak Ma’anyan
Pasukan Dayak Ma’anyan tidak menghadapi musuh secara frontal, melainkan menerapkan taktik gerilya:
Serangan mendadak dari hutan.
Menyerang logistik dan jalur suplai pasukan Jayanagara Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara, putra Raden Wijaya atau Dyah Wijaya Nararya Sanggramawijaya Kṛtarajasa Jayawardhana.
Membuat perang menjadi berkepanjangan dan melelahkan bagi pihak Majapahit.
☠️ Kehancuran Pasukan
Ribuan prajurit Majapahit gugur dalam perjalanan panjang yang penuh jebakan alam dan serangan kilat dari pasukan lokal.
Banyak dari mereka tidak pernah kembali ke Jawa, dikabarkan terkubur di hutan Kalimantan tanpa bekas.
Beberapa catatan lisan dan tradisi Dayak menyebutkan bahwa mayat-mayat pasukan asing ditemukan dalam jumlah besar, menjadi bukti kegagalan invasi besar ini.
⚖️ Dampak Historis
Ekspedisi ini menjadi tamparan besar bagi Jayanagara Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara, putra Raden Wijaya atau Dyah Wijaya Nararya Sanggramawijaya Kṛtarajasa Jayawardhana, menandakan bahwa Kalimantan tidak mudah ditaklukkan seperti wilayah lain.
Menumbuhkan semangat nasionalisme dan identitas Dayak Ma’anyan sebagai penjaga tanah leluhur.
Pengalaman ini membuat Jayanagara Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara, putra Raden Wijaya atau Dyah Wijaya Nararya Sanggramawijaya Kṛtarajasa Jayawardhana menyusun ulang strategi dan mencoba lagi dalam ekspedisi kedua, dua dekade setelahnya.
Catatan Tambahan: Narasi ekspedisi ini sering ditutupi dalam historiografi Jawa, namun tetap hidup dalam tradisi lisan masyarakat Dayak sebagai kisah perjuangan dan kemenangan melawan penjajah luar. Ekspedisi Jayanagara Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara, putra Raden Wijaya atau Dyah Wijaya Nararya Sanggramawijaya Kṛtarajasa Jayawardhana menjadi cikal bakal tragedi besar Nansarunai Usak Jawa yang akan memuncak dalam serangan berikutnya.
⚔️ 2. Ekspedisi Kedua Ratu Çri Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani putri Raden Wijaya atau Dyah Wijaya Nararya Sanggramawijaya Kṛtarajasa Jayawardhana 1339–1341 M – “Benteng Bambu dan Perlawanan Tak Terkalahkan”
🌸 Sri Tribhuwanotunggadewī Mahārājasa Jayawisnuwārddhani Satu-satunya Maharani Majapahit
Sri Tribhuwanotunggadewī Mahārājasa Jayawisnuwārddhani, atau Dyah Gitarja, adalah maharani ketiga Kerajaan Majapahit. Ia naik takhta tahun 1328, menggantikan kakak tirinya, Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara JAYANAGARA. Namun, kekuasaannya bukan semata warisan — ia menjadi ratu karena kekuatan, kecerdasan, dan keberanian, atas restu ibunya, Gayatri Rajapatni, yang telah menjadi bhiksuni.
🗡️ Sri Tribhuwanotunggadewī Mahārājasa Jayawisnuwārddhani yang Menumpas Pemberontakan
Pada masa pemerintahannya, muncul pemberontakan dari daerah Sadeng dan Keta. Alih-alih berlindung di balik dinding keraton, Sri Tribhuwanotunggadewī Mahārājasa Jayawisnuwārddhani memimpin langsung pasukan perang, didampingi Patih Gajah Mada dan Ra Kembar. Sebuah peristiwa yang menegaskan: ia bukan hanya simbol, tapi pemimpin sejati.
🗺️ Menyulut Api Nusantara: Sumpah Palapa & Ekspansi Majapahit
Tahun 1334, Sri Tribhuwanotunggadewī Mahārājasa Jayawisnuwārddhani melantik Rakryan Mapatih Jirnnodhara bergelar Mahapatih AmangkubhumiGajah MadaBrajanata Bima. Di hadapannya, sang patih mengucapkan Sumpah Palapa — tidak akan menikmati rempah atau kesenangan duniawi sebelum seluruh Nusantara bersatu di bawah panji Majapahit.
Dari Jawa hingga Bali, dari Sumatra hingga Nusantara Timur, ekspansi besar-besaran dimulai. Sri Tribhuwanotunggadewī Mahārājasa Jayawisnuwārddhani adalah perempuan di balik layar kekaisaran yang mengguncang Asia Tenggara.
👑 Sri Tribhuwanotunggadewī Mahārājasa Jayawisnuwārddhani Ibu dari Sang Raja Terbesar
Dari pernikahannya dengan Kertawardhana Dyah Cakradhara, lahirlah Hayam Wuruk Paduka Śri Tiktawilwanāgareśwāra Śrī Rājasanāgara nāmārājabhiṣeka Garbhotpattinama Dyah Sri Hayamwuruk Çri Nata Rajasanagara Çri Nata Wilwatikta — raja paling terkenal dalam sejarah Majapahit. Ia juga melahirkan Dyah Nertaja, Bhre Pajang.
Meski menyerahkan takhta kepada putranya pada 1350, Sri Tribhuwanotunggadewī Mahārājasa Jayawisnuwārddhani tetap menjadi penasihat utama dalam Saptaprabhu, dewan agung kerajaan. Hingga akhir hayat, namanya tak pernah tenggelam.
🕯️ Jejak Abadi di Batu dan Doa
Sri Tribhuwanotunggadewī Mahārājasa Jayawisnuwārddhani tidak hanya dikenang dalam kitab Pararaton dan Nagarakretagama. Arca dirinya dalam wujud Dewi Parwati berdiri megah di Candi Rimbi, Jombang, dan Klinterejo, Mojokerto — bukti betapa tinggi derajat dan kehormatan yang diberikan rakyat dan bangsawan kepadanya.
Sri Tribhuwanotunggadewī Mahārājasa Jayawisnuwārddhani didharmakan di Candi Pantarapura, desa Panggih. Namanya abadi dalam sejarah sebagai perempuan yang tak sekadar bertakhta, tetapi membentuk masa depan bangsa.
✨ “Sri Tribhuwanotunggadewī Mahārājasa Jayawisnuwārddhani, Sang Api yang Membakar Batas Ia bukan bayangan di belakang pria agung. Ia adalah cahaya yang membimbing langkah mereka semua. Kenali Leluhurmu. Bangkitkan Jati Dirimu”
Patih Gajah mada kemudian
Namun masa kejayaan itu runtuh ketika ekspansi Kerajaan Majapahit menyerbu Nan Sarunai pada pertengahan abad ke-14. Kisah tragis ini hidup dalam nyanyian wadian: ratapan kehilangan, pembumihangusan negeri, dan akhir dari kerajaan yang dulunya jaya.
🟡 Pemimpin Majapahit:
Ratu Çri Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani, seorang ratu yang tangguh dan berwibawa, merupakan penguasa wanita pertama dalam sejarah Majapahit. Ia memimpin kerajaan setelah wafatnya ayahnya Raden Wijaya atau Dyah Wijaya Nararya Sanggramawijaya Kṛtarajasa Jayawardhana, dan menjadi simbol kekuasaan Majapahit yang mulai ekspansif ke berbagai daerah di Nusantara, termasuk Kalimantan.
🟡 Pendamping Militer Utama:
Pangeran Tumapel I Kertawardhana Dyah Cakradhara (kelak turut mendampingi menjadi Raja Hayam Wuruk), sebagai penasihat militer dan diplomat untuk memperluas pengaruh Majapahit atas wilayah luar Jawa.
🛡️ Strategi Militer Majapahit:
Majapahit membawa pasukan besar dengan senjata berat, seperti:
Meriam kuningan dan tombak panjang.
Ketapel besar (ballista primitif).
Peralatan pembakar dan alat pemecah benteng.
Tujuan mereka adalah mengepung dan menghancurkan benteng pertahanan suku Ma’anyan di pegunungan dan hutan-hutan lebat Kalimantan bagian tenggara (daerah yang kini meliputi Barito Timur dan sekitarnya).
Pertahanan Dayak Ma’anyan: Benteng Bambu dan Alam
NamunPenduduk lokal tidak tinggal diam. Mereka sudah mempersiapkan pertahanan berbasis alam dan budaya lokal, di antaranya:
Benteng bambu: Dibangun dengan teknik rekayasa tradisional yang membuatnya lentur namun tahan serangan. Dinding bambu tidak mudah ditembus senjata berat karena menyerap energi benturan.
Taktik Gerilya: Pejuang Ma’anyan sangat mengenal medan—lembah, bukit, hutan, dan sungai. Mereka menyerang secara sporadis, menyulitkan Majapahit yang bergantung pada formasi tempur terbuka.
Ritual perlindungan spiritual: Dukun Dayak kala itu memimpin upacara untuk meminta perlindungan leluhur dan alam, menambah moral dan keberanian rakyat.
🔥 Hasil Akhir Ekspedisi Kedua: Ratu Çri Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani putri Raden Wijaya atau Dyah Wijaya Nararya Sanggramawijaya Kṛtarajasa Jayawardhana GAGAL KEMBALI
Ratu Çri Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwardhani putri Raden Wijaya atau Dyah Wijaya Nararya Sanggramawijaya Kṛtarajasa Jayawardhanatidak berhasil menembus benteng pertahanan dan terpaksa mundur. Di berbagai titik, pasukan mereka:
Kehabisan logistik.
Terjebak dalam rawa dan hutan yang tidak dikenal.
Mengalami serangan balik mendadak dari pasukan gerilya Dayak.
Ekspedisi ini menjadi tamparan besar bagi Majapahit, karena dua kali berturut-turut gagal menguasai wilayah Nan Sarunai.
💪 Dampak Positif bagi Ma’anyan:
Semangat perlawanan rakyat meningkat tajam.
Munculnya tokoh-tokoh lokal pejuang karismatik, yang mempersiapkan generasi baru untuk mempertahankan kemerdekaan wilayah adat mereka.
Identitas budaya dan kedaulatan diperkuat, bukan hanya secara fisik tapi juga spiritual dan simbolik.
✊ Kesimpulan:
Ekspedisi kedua menjadi simbol ketangguhan budaya lokal melawan imperialisme Jawa. Kejayaan militer Majapahit tidak berdaya menghadapi alam Kalimantan dan tekad rakyat Ma’anyan yang menolak tunduk.
“Mereka mungkin membawa senjata dari tanah Jawa, tapi kami membawa tanah ini, roh ini, dan darah leluhur yang takkan menyerah.” — Legenda Ma’anyan, lisan turun-temurun
⚔️ 3. Ekspedisi Ketiga – Raja Hayam Wuruk Paduka Śri Tiktawilwanāgareśwāra Śrī Rājasanāgara nāmārājabhiṣeka Garbhotpattinama Dyah Sri Hayamwuruk Çri Nata Rajasanagara Çri Nata Wilwatikta Puncak Tragedi (1389 M)
Tahun 1389 M menjadi titik balik kelam dalam sejarah peradaban Nansarunai. Ini adalah bab terakhir dari rangkaian serangan Raja Hayam Wuruk Paduka Śri Tiktawilwanāgareśwāra Śrī Rājasanāgara nāmārājabhiṣeka Garbhotpattinama Dyah Sri Hayamwuruk Çri Nata Rajasanagara Çri Nata Wilwatikta, yang kelak dikenang masyarakat Dayak Ma’anyan dengan istilah “Nansarunai Usak Jawa”—yang berarti: hancurnya Nansarunai oleh tangan-tangan Jawa.
🏯 Pemimpin Serangan:
Kerajaan Majapahit saat itu dipimpin oleh Raja Hayam Wuruk Paduka Śri Tiktawilwanāgareśwāra Śrī Rājasanāgara nāmārājabhiṣeka Garbhotpattinama Dyah Sri Hayamwuruk Çri Nata Rajasanagara Çri Nata Wilwatikta,dikenal sebagai raja besar yang memperluas kekuasaan Majapahit hingga ke pelosok Nusantara, termasuk pulau Borneo.
🤝 Persekutuan Internal:
Koordinator lokal serangan adalah Maharaja Empu Jatmika, pendiri dan penguasa Kerajaan Negara Dipa, pusat kekuasaan baru di Kalimantan Selatan.
Empu Jatmika adalah putra Maharatu Sita Rara, istri dari Mangkubumi Jantam.
Ia menikahi Maharatū Sira Manguntur Dēwi Sekar Gading, seorang bangsawan Dayak Ma’anyan
Meski berdarah campuran Jawa-Ma’anyan, Empu Jatmika memihak Majapahit, diduga karena pertimbangan politik dan stabilitas, serta ambisi mendirikan kerajaan baru Kerajaan Dipa.
🎯 Strategi Politik dan Militer Majapahit:
Raja Hayam Wuruk Paduka Śri Tiktawilwanāgareśwāra Śrī Rājasanāgara nāmārājabhiṣeka Garbhotpattinama Dyah Sri Hayamwuruk Çri Nata Rajasanagara Çri Nata Wilwatikta tidak hanya mengandalkan kekuatan militer semata. menggunakan taktik licik yang dikenal sebagai “Jebakan Emas”:
Para bangsawan dan tokoh elite di lingkungan Nansarunai disuap dengan:
Emas dan permata.
Pemberian gelar dan jabatan.
Janji kekuasaan dalam struktur baru kerajaan bawahan Majapahit.
Taktik ini berhasil memecah belah internal Nansarunai dan menciptakan celah besar dalam pertahanannya.
⚔️ Serangan Militer Terakhir:
Dengan gabungan pasukan Raja Hayam Wuruk Paduka Śri Tiktawilwanāgareśwāra Śrī Rājasanāgara nāmārājabhiṣeka Garbhotpattinama Dyah Sri Hayamwuruk Çri Nata Rajasanagara Çri Nata Wilwatikta dan kekuatan lokal pro-Majapahit dari Negara Dipa, benteng terakhir Nansarunai diserbu.
Strategi pengepungan dan penghianatan dari dalam menyebabkan:
Pertahanan utama runtuh.
Raja-raja lokal tewas atau menyerah.
Terjadi pembantaian besar-besaran terhadap warga dan tokoh adat yang menolak tunduk.
Pusat-pusat kebudayaan dan tempat suci dibakar.
Arsip sejarah dan peninggalan spiritual dihancurkan.
🧭 Dampak Langsung:
Eksodus massal terjadi. Warga Nansarunai, terutama kaum Dayak Ma’anyan, melarikan diri ke arah pedalaman, menyelamatkan diri ke daerah-daerah seperti:
Barito Timur (sekarang termasuk wilayah Kalimantan Tengah),
Hulu Sungai Tengah, dan
Lereng Pegunungan Meratus.
Para pelarian ini kemudian menyebarkan cerita lisan, mantra, dan simbol-simbol budaya Nansarunai secara diam-diam, untuk mempertahankan jati diri di tengah dominasi budaya luar.
Penyerangan Raja Hayam Wuruk Paduka Śri Tiktawilwanāgareśwāra Śrī Rājasanāgara nāmārājabhiṣeka Garbhotpattinama Dyah Sri Hayamwuruk Çri Nata Rajasanagara Çri Nata Wilwatikta menandai akhir dari kejayaan Kerajaan Nansarunai secara terbuka. Namun, roh perjuangan dan identitas Dayak Ma’anyan tidak pernah benar-benar mati. Mereka bertahan dalam ritual, simbol, bahasa, dan ingatan kolektif, menunggu masa di mana sejarah mereka diakui kembali secara adil dan utuh.
💥 Dampak Tragedi “Nansarunai Usak Jawa”
“Usak Jawa” dalam bahasa Ma’anyan berarti “dihancurkan oleh Jawa”. Raja Hayam Wuruk Paduka Śri Tiktawilwanāgareśwāra Śrī Rājasanāgara nāmārājabhiṣeka Garbhotpattinama Dyah Sri Hayamwuruk Çri Nata Rajasanagara Çri Nata Wilwatikta
Pusat kebudayaan dan spiritual Dayak Ma’anyan musnah.
Ritual adat dan pengetahuan lokal dipindahkan secara rahasia untuk dilindungi dari penindasan.
Trauma sejarah yang membekas dalam memori kolektif masyarakat Dayak selama ratusan tahun.
Menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi kekuasaan luar.
🛡️ Catatan Penting Sejarah
Peristiwa ini tidak banyak dicatat dalam sejarah mainstream Indonesia karena sumber dominan berasal dari istana Majapahit dan kerajaan-kerajaan Jawa.
Namun, dalam sejarah lisan Dayak Ma’anyan, tragedi ini hidup sebagai tonggak identitas dan pengingat harga diri.
NANSARUNAI: Romantisme yang Tak Tercatat
Sebuah Negeri yang Kini Hidup Dalam Lagu-Lagu Leluhur
Di antara belantara Kalimantan, antara Sungai Barito dan Pegunungan Meratus, ada sebuah kisah yang tak ditulis dalam prasasti… namun hidup kuat dalam ingatan kolektif dan nyanyian sakral. Ia bernama Nansarunai — sebuah negeri agung, yang oleh orang Dayak Ma’anyan dikenang sebagai tanah asal, pusat kejayaan, dan rumah roh leluhur.
🌱 Asal-Usul Orang Ma’anyan: Dari Sarunai ke Dunia
Menurut tradisi lisan Padju Epat, semua orang Ma’anyan berasal dari satu tempat bernama Sarunai, yang letaknya diyakini di sekitar Amuntai, Hulu Sungai, Kalimantan Selatan. Di sanalah akar-akar budaya Ma’anyan tumbuh. Mereka bukan hanya penghuni pedalaman; mereka adalah bangsa pelaut, yang kata-kata tentang laut terselip dalam bahasa mereka — jejak kejayaan maritim yang kini tertutup rimba.
📖 Peneliti Denmark, Erik Petersen, membuktikan bahwa pelaut Ma’anyan pernah mengarungi samudra hingga ke Madagaskar, dan meninggalkan warisan bahasa pada suku Merina di Afrika Timur.
🛕 Nansarunai: Negeri Musik dan Tari
Nama “Sarunai” berasal dari alat musik tiup seruling bernada tujuh — simbol masyarakat yang gemar bernyanyi dan menari. Masyarakat Nansarunai hidup dalam budaya musik, kemegahan adat, dan upacara kejiwaan.
Dalam syair-syair tua, mereka dikenal sebagai bangsa yang dipimpin oleh datu, patis, dan miharaja — gelar-gelar yang menunjukkan pengaruh luar seperti Jawa dan Cina, melalui perdagangan dan akulturasi. Mereka menyimpan benda-benda pusaka: piring naga, keramik Dinasti, gong gangsa, keris Jawa, hingga tabak kuningan.
Ritus kematian mereka pun agung: upacara Ijambe, membakar tulang-tulang untuk mengantarkan roh ke Datu Tunyung Gahamari — alam roh Ma’anyan, swargaloka tempat semua jiwa kembali bersatu.
💔 Nansarunai Usak Jawa: Ketika Budaya Kalah
Namun seperti kisah kerajaan besar lainnya, Nansarunai pun mengalami senjakala. Tragedi ini terekam dalam syair-syair magis seperti:
“Nansarunai takam galis kuta apui… Ngamang talam takam jarah sia tutung…” — Nansarunai diserang dan dibakar…
Syair Nansarunai Usak Jawa adalah salah satu warisan sastra lisan yang sangat penting bagi masyarakat Dayak Ma’anyan. Ia bukan sekadar puisi, melainkan catatan sejarah yang dibungkus dalam bahasa puitis dan simbolik. Syair ini menyuarakan peristiwa kehancuran kerajaan Nansarunai oleh serangan pihak luar yang dalam banyak tafsir disebut sebagai “Usak Jawa”—sebuah istilah yang sering ditafsirkan sebagai “kerusakan akibat datangnya orang-orang Jawa”, yang merujuk pada ekspansi Majapahit ke wilayah Kalimantan di masa lalu.
Mari kita kaji dan tafsirkan makna dari syair tersebut secara mendalam, bait demi bait:
🌋 Syair Pertama
Nansarunai takam rome usak Jawa Nansarunai dirusak oleh Usak Jawa Ngamang talam takam lulun unggah Gurun Hancur luluh laksana air naik ke gunung
Ini adalah pembukaan kuat yang menyatakan bahwa kerajaan Nansarunai diserang dan dihancurkan oleh kekuatan luar yang disebut “Usak Jawa”. Ibarat bencana alam yang tidak wajar (air naik ke gunung), kehancuran itu total dan tak masuk akal.
Nansarunai takam galis kuta apui Nansarunai hangus, benteng terbakar Ngamang talam takam jarah sia tutung Berkecamuk seperti serbuan yang membakar semuanya
Menggambarkan kehancuran fisik: kota dibakar, pertahanan dihancurkan.
Nansarunai takam wadik jari danau Nansarunai yang cantik menjadi danau Ngamang talam takam wandui janang luyu Seperti perahu hanyut kehilangan kemudi
Imaji perubahan lanskap dan hilangnya kendali. Negeri yang indah menjadi tergenang air, seolah sudah tidak bisa diselamatkan lagi.
Hang manguntur takam galis em’me angang Kepala tertunduk, rumah-rumah jadi abu Kuda langun takam jarah mangalongkong Kuda perang pun terguling dalam serbuan besar
Visualisasi penderitaan rakyat dan kekalahan militer. Tidak hanya rakyat yang menderita, bahkan kekuatan tempur pun lumpuh.
Suni sowong kala tumpuk tanan olun Sunyi senyap, tumpukan tanah menjadi kubur Wayo wotak alang gumi Punei Lului Yang dulu ramai kini hanya belukar dan semak belantara
Gambaran akhir dari kehancuran: peradaban berubah menjadi tanah kosong, tanpa kehidupan. Bekas kejayaan berubah menjadi kenangan sunyi.
💔 Syair Kedua
Batang Nyi’ai ka’i hawi tamurayo Pohon Nyi’ai patah, tak bisa tumbuh lagi Telang nyilu ne’o jaku taleng uan Bekas luka dalam, tak bisa hilang oleh waktu
Metafora pohon kehidupan yang hancur, menggambarkan trauma kolektif yang dalam dan menetap.
Anak nanyo ka’i hawi nganyak kaleh Anak cucu kini tak bisa menari gembira lagi Bunsu lungai ne’o jaku ngisor runsa Yang bungsu pun menangis di dasar gubuknya
Rasa duka yang merata, dari generasi tua hingga yang muda. Bahkan anak kecil pun tak selamat dari kesedihan.
Ngunu ngugah pasong teka watang tenga Begitu getirnya bencana datang siang hari Hamen bingkang kilit iwo pakun monok Segalanya berantakan, bagaikan burung kehilangan sarang
Datangnya malapetaka di tengah kehidupan normal—tiba-tiba, tak terduga.
Muru pitip Nansarunai ngunu hulet mengalungkung Nansarunai yang dulu megah kini tinggal kenangan Ngamang talam takam tantau nuruk nungkai Berkecamuk, hancur tanpa sisa
Penekanan bahwa tidak ada yang tersisa dari kejayaan lama.
Hang manguntur takam kala harek jatuh Tunduk malu karena kekalahan telak Kudalangun takam alang rakeh riwo Kekuatan lenyap ditelan kebrutalan perang
Hang manguntur takam kala buka payung Tertunduk malu ketika hujan kehinaan tiba Kudalangun takam alang bangun tang’ngui Kekuatan terbujur kaku, tak sanggup berdiri lagi
Dua baris yang menunjukkan bukan hanya fisik yang hancur, tapi juga martabat dan kehormatan.
Jam’mu ahung takam kawan rum’ung rama Keluarga tercerai-berai, rumah-rumah ditinggal kosong Luwai hewo padu ipah bawai wahai Hilang semua, tersapu angin seperti daun kering
Penutup yang memilukan. Ini bukan sekadar kekalahan politik atau militer, melainkan kehancuran total dari budaya, komunitas, dan rasa memiliki terhadap tanah air.
Syair Nansarunai Usak Jawa, beserta konteks budayanya secara umum. Syair ini adalah ekspresi kesedihan kolektif dan trauma sejarah masyarakat Dayak Ma’anyan atas kehancuran peradaban mereka oleh kekuatan dari luar, yang secara simbolik disebut sebagai “Usak Jawa” (perusak dari Jawa).
🌀 SYAIR: NANSARUNAI USAK JAWA
Penulis: Sutopo Ukip & Esun Bae (1998) Catatan: Banyak versi lisan dari syair ini, tergantung wilayah sub-suku Dayak Ma’anyan: Paju Epat, Banua Lima, Sapuluh, dan lainnya.
🔥 Makna dan Interpretasi Syair Pertama
Nansarunai takam rome usak Jawa Nansarunai hancur diinjak oleh Usak Jawa
Ngamang talam takam lulun unggah Gurun Segalanya porak-poranda, manusia mengungsi ke hutan
🔎 Makna: Kerajaan Nansarunai, simbol peradaban tua Ma’anyan, dihancurkan oleh kekuatan luar, digambarkan sebagai “Usak Jawa” (secara historis diyakini merujuk pada serangan Majapahit abad ke-14). Akibatnya, penduduk melarikan diri ke hutan atau pedalaman.
Nansarunai takam galis kuta apui Nansarunai terbakar, ibukota menjadi abu
Ngamang talam takam jarah sia tutung Semua dijarah, yang tersisa hanya arang dan abu
🔎 Makna: Ini menggambarkan penghancuran total pusat kota/kuta (ibukota). Tidak hanya secara fisik, tapi juga simbol kehancuran budaya dan spiritualitas.
Nansarunai takam wadik jari danau Nansarunai tenggelam dalam duka, seperti danau
Ngamang talam takam wandui janang luyu Tangisan dan ratapan tak berkesudahan
🔎 Makna: Syair ini adalah ratapan kolektif, menunjukkan trauma mendalam yang membekas turun-temurun di masyarakat Ma’anyan.
Hang manguntur takam galis em’me angang Yang melawan habis dibakar, hancur hangus
Kuda langun takam jarah mangalongkong Yang kaya dijarah, digulung oleh musuh
🔎 Makna: Kekayaan, martabat, dan kekuatan pertahanan hancur. Tak ada yang tersisa, bahkan yang kuat sekalipun tak mampu bertahan.
Suni sowong kala tumpuk tanan olun Kini sunyi, tanah leluhur tinggal kenangan
Wayo wotak alang gumi Punei Lului Tinggallah tanah tak bertuan di Gumi Lului
🔎 Makna: Tanah yang suci (tanah leluhur) telah menjadi kosong, identitas budaya hilang sementara. Lokasi “Punei Lului” bisa merujuk ke tempat sakral atau wilayah yang dahulu dihuni.
🌾 Syair Kedua – Kesedihan dan Kehilangan
Batang Nyi’ai ka’i hawi tamurayo Pohon besar tumbang, tak lagi jadi naungan
Telang nyilu ne’o jaku taleng uan Rasa perih, seperti ditusuk duri dalam luka
🔎 Makna: Simbolisasi keruntuhan pemimpin atau leluhur. Rakyat merasa kehilangan arah dan perlindungan.
Anak nanyo ka’i hawi nganyak kaleh Anak-anak kehilangan harapan bermain di halaman
Bunsu lungai ne’o jaku ngisor runsa Si bungsu termenung, duduk di tanah becek
🔎 Makna: Trauma dirasakan oleh generasi paling muda, menunjukkan bahwa kehancuran ini melumpuhkan masa depan.
Ngunu ngugah pasong teka watang tenga Segala tatanan hidup porak-poranda
Hamen bingkang kilit iwo pakun monok Mereka mengungsi dengan pakaian seadanya
🔎 Makna: Kondisi pasca serangan membuat semua orang harus mengungsi tanpa persiapan. Tidak hanya fisik yang terluka, tapi juga harga diri dan kedaulatan.
Muru pitip Nansarunai ngunu hulet mengalungkung Kerajaan Nansarunai hanya tinggal cerita dan bayang-bayang
Ngamang talam takam tantau nuruk nungkai Segala ingatan berserakan, hilang arah
🔎 Makna: Memori kolektif menjadi satu-satunya yang tersisa. Masa lalu Nansarunai tidak lagi dapat diraba secara nyata—ia hidup dalam mitos dan ingatan lisan.
Hang manguntur takam kala harek jatuh Yang berjuang pun akhirnya jatuh
Kudalangun takam alang rakeh riwo Yang kaya pun tercerai-berai
Hang manguntur takam kala buka payung Yang semula kokoh, akhirnya goyah
Kudalangun takam alang bangun tang’ngui Yang semula megah kini runtuh
Jam’mu ahung takam kawan rum’ung rama Berkumpul pun hanya untuk ratapan dan duka
Luwai hewo padu ipah bawai wahai Akhirnya hanyut dalam kesedihan yang dalam
🔎 Makna: Menegaskan kehilangan total—budaya, martabat, dan tempat berlindung. Bahkan pertemuan keluarga tak lagi membahagiakan, melainkan penuh air mata.
📜 PENUTUP: MAKNA BUDAYA
Syair ini bukan sekadar puisi ratapan, tapi juga peringatan sejarah dan identitas. Bagi suku Dayak Ma’anyan, “Usak Jawa” adalah trauma kolektif sekaligus simbol kehancuran peradaban lokal oleh kekuatan luar (Majapahit). Nansarunai, yang dahulu berjaya, tinggal puing dan cerita.
Namun… syair ini juga bukti bahwa peradaban itu belum hilang. Selama syair ini masih dituturkan, roh Nansarunai masih hidup di hati generasi Ma’anyan.
✍️ Catatan Kontekstual
Usak Jawa sering ditafsirkan sebagai ekspedisi Majapahit ke Kalimantan yang menghancurkan Nansarunai sekitar abad ke-14.
Syair ini disampaikan dalam bahasa Ma’anyan yang penuh metafora alam: sungai, pohon, dan burung dipakai untuk menyampaikan rasa duka dan kehancuran.
Makna yang kuat dari syair ini bukan hanya soal sejarah, tapi juga identitas, trauma kolektif, dan peringatan untuk generasi penerus.
Syair Nansarunai Usak Jawa adalah bentuk perlawanan budaya terhadap amnesia sejarah. Ia bukan hanya tentang kekalahan, tetapi juga tentang mengingat, agar jati diri dan warisan leluhur Dayak Ma’anyan tidak hilang tertelan zaman.
Penutup yang Menggetarkan Hati
Dan kini…
Di balik rimbun hutan dan riak Sungai Barito, suara itu masih menggema. Bukan suara perang, bukan pula derap kuda… Tapi ratapan lirih leluhur, tertanam dalam bait-bait syair — Tentang rumah yang terbakar, Tentang tanah yang kehilangan nama, Tentang anak-anak yang tak lagi tahu ke mana harus pulang.
Nansarunai bukan sekadar negeri yang lenyap — Ia adalah luka yang diwariskan. Ia adalah jiwa yang masih mencari tubuhnya. Ia adalah air mata yang mengalir dari bibir para tetua saat mereka menyanyikan bait terakhir dengan suara bergetar:
Kini kita tahu — Bahwa peradaban bukan hanya tentang batu dan prasasti. Ia juga tentang duka yang tak bisa dikubur, Tentang sejarah yang menolak untuk dilupakan.
Jangan biarkan Nansarunai hanya hidup dalam syair. Dengarkan. Tangiskan. Ingatlah. Karena hanya dengan mengingat, kita bisa membuat roh-roh yang kehilangan rumah akhirnya… menemukan jalan pulang.
Hayam Wuruk Putra Çri Tribhuwanotunggadewī Mahārājasa Jayawisnuwārddhani (Sri Tribhuwanottunggadewi 1339–1341 M istri Pangeran Tumapel I Kertawardhana Dyah Cakradhara)
Sang Maharaja Nusantara, Penerang Wilwatikta
“Raja Agung dari Timur, Penjaga Kesatuan Tanah Air” Dengan gelar Paduka Śri Tiktawilwanāgareśwāra Śrī Rājasanāgara, dan nama anumerta Bhatāra Hyang Wekas ing Sukha, ia dikenang bukan hanya sebagai penguasa, melainkan simbol kejayaan Nusantara.
👑 Putra Maharani, Pewaris Cahaya Majapahit
Dilahirkan pada tahun 1334, di tengah gemuruh letusan Gunung Kelud dan guncangan bumi yang dicatat oleh Nagarakretagama, Hayam Wuruk adalah buah dari pasangan agung:
Tribhuwana Wijayatunggadewi — sang maharani besi yang membawa Majapahit berdiri tegak.
Kertawardhana Dyah Cakradhara — Bhre Tumapel, penguasa kawasan timur kerajaan.
Namanya berarti “Ayam yang Terpelajar” — lambang kesiapan, kecerdikan, dan pemimpin masa depan.
🗺️ Membangun Imperium Nusantara
Naik takhta di usia 16 tahun (1350), Hayam Wuruk dibimbing oleh Mahapatih Gajah Mada, sang arsitek Sumpah Palapa. Bersama, mereka meluaskan pengaruh Majapahit hingga mencapai puncak kejayaan, mencakup wilayah yang kini kita kenal sebagai: 📍 Indonesia 📍 Malaysia 📍 Singapura 📍 Brunei 📍 Thailand bagian selatan 📍 Filipina selatan 📍 Timor Leste
⚔️ Majapahit Sang Maritim Adidaya
Di bawah kendali Hayam Wuruk, Majapahit membangun armada laut raksasa, dipimpin oleh Mpu Nala, dengan pangkalan strategis di:
Tumasik (Singapura)
Selat Malaka
Tuban dan Kalimantan
Maluku dan Laut Cina Selatan
Perdagangan, keamanan, dan pengaruh budaya dijaga lewat kekuatan bahari, menjadikan Majapahit kekuatan dominan di Asia Tenggara.
🥀 Cinta, Duka, dan Perang Bubat
Tahun 1357, peristiwa tragis Perang Bubat mewarnai kisah hidupnya. Ia berniat mempersunting Dyah Pitaloka, putri Kerajaan Sunda. Namun, kesalahpahaman diplomatik dan hasrat penaklukan menyebabkan seluruh rombongan Sunda gugur di Bubat. Sebuah tragedi cinta yang berubah menjadi luka sejarah.
Namun pada akhirnya, ia menikahi sepupunya Sri Sudewi (Paduka Sori), dan dari pernikahan ini lahirlah Kusumawardhani, yang kelak menjadi penerusnya.
📚 Zaman Keemasan Sastra & Budaya
Pemerintahannya melahirkan karya-karya besar:
Kakawin Nagarakretagama oleh Mpu Prapanca
Kakawin Sutasoma oleh Mpu Tantular, di mana semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” dilahirkan — falsafah pemersatu bangsa Indonesia modern.
🛕 Akhir Hidup & Warisan Abadi
Tahun 1389, sang raja wafat dalam usia sekitar 55 tahun. Ia didharmakan di Candi Ngetos, Nganjuk. Penerusnya adalah putrinya, Kusumawardhani, didampingi suaminya Wikramawardhana.
Namun, semangat, strategi, dan visi Hayam Wuruk terus hidup — dalam sejarah, budaya, dan cita-cita bangsa.
✨ Hayam Wuruk
Bapak Persatuan, Raja Semesta, Ikon Nusantara
“Ia adalah bayangan kejayaan yang tidak pernah padam. Setiap jengkal tanah Nusantara hari ini pernah terukir dalam ambisinya untuk bersatu.”
🧬 Fondasi Banjar, Warisan Dayak
Meski sirna, Nan Sarunai tidak hilang. Ia menjadi fondasi bagi kemunculan Kerajaan Negara Dipa, Negara Daha, hingga akhirnya Kesultanan Banjar. Nan Sarunai adalah pra-sejarah Kesultanan Banjar, menjadi mata rantai awal dalam narasi panjang sejarah Kalimantan Selatan.
📚 Mengapa Nan Sarunai Penting untuk Dikenang?
🪵 Warisan Leluhur Dayak Maanyan Nan Sarunai adalah simbol kedaulatan, seni, dan peradaban leluhur Dayak yang harmonis dengan alam dan adat.
🛕 Jejak Arkeologis Purba Bukti bahwa peradaban tinggi telah tumbuh di Kalimantan sejak abad ke-3 SM — mendahului banyak kerajaan di Nusantara.
🗺️ Pilar Identitas Borneo Menjawab pertanyaan: Siapa pemilik pertama pulau Borneo? — Suku Dayak adalah jawabannya.
✊ Saatnya Merawat Ingatan, Menjaga Warisan
Jangan biarkan nama Nan Sarunai tenggelam oleh waktu. Bangun kesadaran sejarah, kembalikan martabat warisan budaya, dan kenalkan kisah ini kepada generasi baru.
Kerajaan Nansarunai adalah sebuah entitas politik dan budaya besar yang pernah berdiri megah di wilayah Barito Timur, Kalimantan Tengah, dan menjadi pusat peradaban suku Dayak Ma’anyan. Kerajaan ini telah ada jauh sebelum masuknya agama Hindu, Buddha, maupun Islam ke wilayah Nusantara, bahkan diyakini berdiri sejak era prasejarah.
Menurut tradisi lisan dan peninggalan budaya, Nansarunai dikenal sebagai kerajaan tertua di Kalimantan yang berbasis spiritual Kaharingan, sistem kepercayaan asli Dayak yang sarat dengan nilai kosmologis, harmoni dengan alam, dan tata nilai luhur.
🏛️ Pemerintahan & Kehidupan Masyarakat
Kerajaan ini memiliki sistem pemerintahan berbasis kepala suku dan pemimpin spiritual (batang/patung leluhur), serta adat istiadat yang sangat tertib, mengatur mulai dari pembukaan ladang, perkawinan, hingga hukum adat. Bahasa Ma’anyan menjadi bahasa utama dalam administrasi dan budaya lisan.
⚔️ Tragedi “Nansarunai Usak Jawa”
Salah satu peristiwa paling traumatis dan monumental dalam sejarah Dayak adalah penyerangan Majapahit ke wilayah Nansarunai, yang dikenal sebagai peristiwa “Nansarunai Usak Jawa”—berarti “Kehancuran Nansarunai oleh Orang Jawa”.
Peristiwa ini diyakini terjadi sekitar abad ke-14, ketika ekspansi Majapahit menjangkau Kalimantan untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan lokal. Serangan ini menghancurkan pusat kekuasaan Nansarunai dan menyebabkan eksodus besar-besaran rakyat Ma’anyan ke pedalaman, hingga banyak yang bermigrasi ke wilayah Kalimantan Selatan, bahkan hingga pesisir timur.
🌿 Warisan dan Bukti Kebesaran
Hingga kini, situs budaya, batu megalitik, arca, dan nama-nama tempat yang berkaitan dengan Nansarunai masih dapat ditemukan, seperti:
Ampah
Patian (tempat pertapaan)
Baras Kuning
Gunung Karasik
Sungai-sungai sakral yang dianggap sebagai bagian dari kosmologi Kaharingan
🤝 Islam dan Kaharingan: Dialog Damai Sejak Awal
Sebelum datangnya penjajahan, wilayah Kalimantan (termasuk Kalteng dan Kalsel) telah mengalami interaksi harmonis antara pemeluk Kaharingan dan Islam, termasuk ketika Kesultanan Banjar menjalin hubungan dagang dan pernikahan dengan tokoh Dayak lokal. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman spiritual sudah menjadi kekayaan Kalimantan jauh sebelum kolonialisme memecah belah identitas.
🧬 Identitas Dayak Ma’anyan: Jangan Dihapus
Seiring berkembangnya pembangunan dan narasi tunggal sejarah, seringkali suku Dayak, khususnya Ma’anyan, terpinggirkan dari narasi nasional. Padahal mereka adalah penjaga peradaban ribuan tahun yang telah ada sebelum semua bentuk pengaruh luar.
Menulis ulang sejarah dengan adil bukan hanya keadilan akademik, tapi juga bentuk penghormatan pada leluhur dan hak eksistensial bangsa Dayak.
📣 Ajakan untuk Pelestarian dan Revitalisasi
Mari kita:
Lestarikan cerita-cerita leluhur
Bangun museum atau taman budaya Nansarunai
Masukkan dalam kurikulum lokal dan nasional
Kampanyekan Nansarunai sebagai warisan budaya tak ternilai
Tuliskan sejarah Ma’anyan dalam buku, artikel, dan media digital
🌿 Jaga Warisan Leluhur: Tradisi Maanyan dari Kerajaan NansarunaiPesan Panglima GMTPS untuk Generasi Muda
Dari dalam hening hutan dan kisah-kisah abadi yang dituturkan secara lisan, budaya Dayak Maanyan terus mengalir membawa jejak peradaban besar: Kerajaan Nansarunai. Walau zaman telah berubah, nilai-nilai leluhur tetap menjadi napas kehidupan—selama kita tidak melupakannya.
Salah satu penjaga warisan itu, Anthonius Limpau, Panglima Divisi Khusus Gerakan Mandau Talawang Pancasila Sakti (GMTPS), terus bersuara lantang:
“Tradisi Maanyan bukan sekadar ritual, tapi identitas. Jika hilang, maka lenyaplah jejak leluhur kita.”
🌀 Warisan dari Nansarunai yang Masih Hidup
Dari ritual penyembuhan hingga upacara perkawinan, tradisi Maanyan sarat makna spiritual dan nilai luhur:
🩺 Diki Hiang – Mantera penyembuhan dalam adat Balian, peninggalan langsung dari masa Nansarunai. 😭 Santangis – Ritual kematian yang menggambarkan duka mendalam lewat tangisan penuh kisah. 🎤 Janyawai – Narasi hidup yang disampaikan layaknya syair, hanya bisa dilakukan oleh mereka yang telah “mengaji ilmu” adat. 🪶 Natas Banyang & Tumet Leot – Tradisi syair bersahutan dalam acara perkawinan, sakral dan mengikat dua keluarga. 👵 Purih Amah & Purih Ineh – Ucapan adat yang menyatukan silsilah dan menghormati leluhur.
⚖️ Tradisi vs Agama: Memisahkan Ritual dan Adat
Menurut Anthonius, ritual-ritual sakral hanya bisa dijalankan oleh pemeluk agama Kaharingan. Tapi tradisi adat seperti perkawinan harus tetap dijalankan oleh siapa pun yang bersuku Maanyan, tanpa memandang agama.
“Selama berada di tanah Maanyan, hukum adat harus dihormati. Ini bukan tentang agama, ini tentang akar,” tegasnya.
⚔️ Pesan Tegas untuk Generasi Muda
Sebagai pendiri Pangunraun Pitu (lembaga pelestarian adat), Anthonius mengingatkan:
“Alam itu hidup. Rumput, pohon, sungai—semua punya nyawa. Jangan lupakan itu. Anak muda harus tahu, budaya bukan nostalgia, tapi arah hidup.”
🔥 Tradisi yang Harus Tetap Bernyala:
Kuntaw Maanyan – Bela diri tradisional yang kini dilatih bersama pemuda.
Wadian Bulat – Tarian sakral yang menjadi simbol kekuatan perempuan dalam budaya Maanyan.
Perkumpulan Maanyan di kota besar – Seperti di Jakarta, tradisi tetap dilaksanakan dalam setiap pernikahan, membuktikan bahwa adat tidak mengenal jarak.
🌺 JANGAN HANYA MENGENANG. LAKUKAN.
Warisan bukan untuk dipajang, tapi untuk dihidupkan kembali. Mari jadi bagian dari generasi yang tidak sekadar bangga jadi Maanyan, tapi juga merawat nilai-nilai Kerajaan Nansarunai—nilai yang hidup dalam tutur, dalam adat, dan dalam bumi yang kita pijak.UY TRHGVFCD
🧭 “Ketika syair tak lagi dilantunkan, dan Banyang tak lagi dipotong dengan syair—di situlah budaya berhenti. Jangan tunggu sampai saat itu datang.” — Anthonius Limpau
Bagi masyarakat Dayak Ma’anyan, kehancuran Nansarunai bukan sekadar kekalahan fisik, melainkan kekalahan budaya. Saat peradaban besar dari Jawa — kemungkinan pecahan Majapahit — datang membawa sistem, tulisan, dan struktur kekuasaan yang mapan, orang-orang Nansarunai perlahan tersingkir dan tercerai-berai.
📜 Tidak ada catatan Jawa tentang perang ini. Tapi ratapan kehilangan itu hidup dalam lagu-lagu wadian, dalam dongeng-dongeng sebelum tidur, dan dalam ritual-ritual sakral hingga kini.
🧬 Warisan yang Hidup dalam Nama dan Keyakinan
Walau tak tercatat di batu, Nansarunai hidup di jiwa orang Ma’anyan. Ia adalah simbol masa kejayaan. Negeri spiritual tempat semua arwah kembali bersatu. Sebuah kerajaan yang bukan sekadar struktur politik, melainkan identitas kebudayaan.
📍 Dari Nansarunai, lahirlah Negara Dipa, lalu Negara Daha, dan akhirnya Kesultanan Banjar. Nansarunai adalah akar peradaban Banjar, meski selama ratusan tahun ia hanya hidup dalam bisik-bisik para balian dan tetua adat.
⚱️ Nansarunai Adalah Kita
Kini, jejak Nansarunai tersebar — di Madagaskar, di Warukin Tabalong, di Banua Lima, bahkan dalam denyut hidup masyarakat Barito Timur dan Barito Selatan. Para pemimpinnya, seperti Raden Japutra Layar, Raden Neno, dan Raden Anyan dikenang sebagai simbol marwah, meski sejarah resmi tak mencatat mereka.
Dan dalam doa terakhir para balian, Nansarunai tetap disebut… sebagai tempat jiwa kembali:
“Nyarunai… tempat arwah pulang… Tempat kejayaan kami dahulu…”
📣 Mari Kembalikan Nansarunai ke Panggung Sejarah
🌿 Bukan untuk nostalgia. Tapi untuk mengakui akar, menghormati warisan, dan menjawab pertanyaan lama: Siapakah penghuni pertama Borneo? Jawabannya: Dayak Ma’anyan.
Nansarunai bukan hanya kisah yang hilang — ia adalah identitas yang mesti dihidupkan kembali. Mari dengarkan syair-syair wadian. Mari gali lagi ingatan tanah ini.
Pesan Penulis
Kita tidak sedang sekadar menulis sejarah. Kita sedang memanggil pulang jiwa-jiwa yang lama diasingkan. Kita sedang membangunkan peradaban yang sengaja ditenggelamkan oleh waktu dan kekuasaan.
Kerajaan Nansarunai bukan hanya milik masa lalu — ia adalah milik semua orang yang masih percaya bahwa kebenaran tidak akan pernah padam, bahwa identitas tidak bisa dihapus, dan bahwa tanah leluhur harus dihormati, bukan dikuasai.
Kepada generasi muda Ma’anyan dan seluruh anak Borneo: Ingatlah siapa dirimu. Jangan malu akan akar. Karena dari akar itulah batang kehidupan tumbuh, dan dari batang itu, akan lahir ranting-ranting masa depan yang kokoh dan berdaulat.
Semoga kisah ini tidak berhenti di halaman terakhir. Semoga ia menyulut kesadaran, menggerakkan langkah, dan menyalakan kembali api Nansarunai di dada kita semua.
[Gusti Pangeran Wirakusuma VI – Coach.Antung Henry / Generasi Keempat dari Pangeran Mangkubumi Ratu Anom Sultan Wirakusuma II bin Sultan Muda Abdurahmn Bin Sultan Adam Bin Sultan Sulaiman Bin Sultan Tahmiddilah II bin Sultan Tamjidilah I bin Tahmidilah I binSultan Tahirullah Ahmed Tantahidallah bin Sultan Saidullah Raden Kasuma Alam bin Sultan Inayatullah Pangeran Dipati Tuha I bin Sultan Mustain Billah Raden Senapati bin Sultan Hidayatullah I bin Sultan Rahmatullah bin SULTAN BANJAR I 1520-1546 Sultan Suriansyah (Trah Kesultanan Banjar, Kalimantan Selatan – Pengasingan Cianjur / Departemen Sejarah Nusantara dan Arkeologi, Yayasan Pangeran Wirakusumah Cianjur Jawa Barat] hp 0882 8927 9116