Jejak Terlupakan: Raja Sultan Wirakusuma II dan Sultan Tamjidillah II dalam Sejarah Banjar yang Tersembunyi
1. Latar Belakang Historiografi Kesultanan Banjar
“Mengungkap Konflik Legitimasi, Penghapusan Sejarah, dan Peran Tersembunyi Para Pangeran Banjar di Tengah Penjajahan Belanda”. Sultan Wirakusuma II & Tamjidillah II jarang disebut dalam sejarah Banjar resmi. Padahal, arsip kolonial menunjukkan peran besar mereka. Simak kisah lengkapnya.
Dalam penulisan sejarah Banjar yang berkembang di masa kini, narasi utama sering kali terfokus pada tokoh-tokoh yang dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme Belanda—seperti Pangeran Antasari ayah mertua Pangeran Ratu Anom Mangkubumi Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman Bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah dan Pangeran Hidayatullah II. Ini dapat dimaklumi karena historiografi pascakemerdekaan Indonesia banyak digerakkan oleh semangat nasionalisme dan resistensi terhadap penjajahan.
Namun pendekatan ini cenderung mengabaikan tokoh-tokoh penting lain dalam dinasti Banjar yang tidak berada pada jalur perlawanan bersenjata, melainkan berperan dalam jalur diplomasi, administrasi, dan transisi kekuasaan, yang sering kali terekam lebih jelas dalam dokumen kolonial daripada dalam naskah lokal atau tradisi lisan masyarakat Banjar.
Masa Pemerintahan:
- Sebagai Patih Amangkubhumi Kesultanan Banjar (Perdana Menteri) 1857-1859 Pangeran Mangkubumi Wali Raja (Sultan) : (di bawah Maharaja Sri Sultan Tamjidilah II )
- Sebagai Penguasa De Facto Kesultanan Banjar: 1859- 11 Juni 1860
- Di asingkan oleh Belanda ke Cianjur Jawa Barat Oleh Kolonial Belanda tanggal 3 maret 1862
• Pegangan Hidup:
“Setia kepada Warisan Leluhur, Meski Dunia Berubah”
• Teladan:
Pemimpin terakhir yang mempertahankan sisa-sisa kekuasaan Kesultanan Banjar dari kemajuan kekuatan Kolonial Belanda di Tanah Borneo. Meskipun secara resmi Raja (Sultan) De Facto Pangeran Ratu Anom Mangkubumi Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman Bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah menjalankan pemerintahan secara penuh 1859- 11 Juni 1860 di bawah otoritas simbolik Kesultahan Banjar Sultan Tamjidiah II, dan kemudian menjadi penguasa tertinggi 11 Juni 1860 – 3 Maret 1862 yang menentang Koloial Belanda hingga Di asingkan oleh Belanda ke Cianjur Jawa Barat Oleh Kolonial Belanda tanggal 3 maret 1862
IDENTITAS DIRI
- Nama Lengkap: Pangeran Ratu Anom Mangkubumi Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman Bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah
- Asal: Keraton Banjar, kesultanan banjar
- Status Jabatan:
- Patih Amangkubhumi Kesultanan Banjar (Perdana Menteri) 1857-1859 Pangeran Mangkubumi Wali Raja (Sultan) : (di bawah Maharaja Sri Sultan Tamjidilah II )
- Pemegang kekuasaan tertinggi (de facto raja) Kesultanan Banjar setelah tahun 1859- 11 Juni 1860 di bawah otoritas simbolik Kesultahan Banjar Sultan Tamjidiah II, dan kemudian menjadi penguasa tertinggi 11 Juni 1860 – 3 Maret 1862 yang menentang Koloial Belanda hingga Di asingkan oleh Belanda ke Cianjur Jawa Barat Oleh Kolonial Belanda tanggal 3 maret 1862
- Ibukota Pemerintahan: Banjarmasin (sekarang Kalimantan Selatan)
GARIS KETURUNAN & KELUARGA
- Ayah: Sultan Muda Abdurrahman Bin Sultan Adam
→ Sultan Muda di awal pemerintahan Sultan Adam, digantikan oleh Sultan Muda Tamjidilah II pada tahun 1852. - Pasangan:
- Permaisuri Ratu Wirakusuma Putri Hasiah anak Pangeran Antasari Pahlawan Nasional – keturunan Tutus Tuha Sultan Kuning
→ Perkawinan ini memperkuat posisi politik Pangeran Ratu Anom Mangkubumi Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman Bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah di kawasan Martapura dan Banjarmasin. - Ratu Wirakusuma Ratu Ratna binti Pangeran Muhamad Nafis Raja Kusan IV Raja Pulau Laut Batulicin
- Permaisuri Ratu Wirakusuma Putri Hasiah anak Pangeran Antasari Pahlawan Nasional – keturunan Tutus Tuha Sultan Kuning
- Anak-anak:
1. Ratu Hatidjah (Ratoe Sjerief Aboe Bakar) Wirakusuma III
– Ibu: Ratu Hasiah binti Pangeran Antasari dengan Ratu Idjah Binti Sultan Adam
– Lahir: 1840 Diasingkan ke Cianjur oleh Belanda pada 3 Maret 1862
2. Pangeran Muhammadilah / Pangeran Muhammad Illah / Mohammadilah / Mohamad Illah / Wirakusuma III
– Ibu: Ratu Ratna binti Pangeran Muhamad Nafis Raja Kusan Pulau Laut Batulicin
– Lahir:1853
– Pengasingan: Diasingkan ke Cianjur oleh Belanda pada 3 Maret 1862 saat berusia 9 tahun
3. Goesti Ainoen Djariah Diasingkan ke Cianjur oleh Belanda pada 3 Maret 1862 saat berusia 9 tahun
– Ibu: Nyai Hadidjah
4. Ratu Hapsah / Ratu Haspa Diasingkan ke Cianjur oleh Belanda pada 3 Maret 1862 saat berusia 9 tahun
– Ibu: Ratu Ratna binti Pangeran Muhamad Nafis Raja Kusan Pulau Laut Batulicin
5. Ratu Hasiah / Ratu Asiah Diasingkan ke Cianjur oleh Belanda pada 3 Maret 1862 saat berusia 9 tahun
– Ibu: Ratu Ratna binti Pangeran Muhamad Nafis Raja Kusan Pulau Laut Batulicin
6. Goesti Hatidja gugur dalam perang banjar
– Ibu: Nyai Hadidjah
PERJUANGAN TERAKHIR
- Setelah di asingkan ke empang Bogor Jawa Barat Sri Sultan Tamjidilah II pada 1859, Patih Amangkubhumi Kesultanan Banjar (Perdana Menteri) Pangeran Mangkubumi Wali Raja (Sultan) Pangeran Ratu Anom Mangkubumi Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman Bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah mengambil alih pemerintahan penuh atas kesultanan Banjar sisa di Banjarmasin.
- Menghadapi tekanan kuat dari Kolonial belanda, khususnya dari penguasa Residen Hindia Belanda seperti:
- Jenderal Augustus Johannes Andresen
- Mayor Jenderal Gustave Marie Verspijck
- Pada masa ini, hanya Banjarmasin yang masih setia pada kesultanan baanjar, sementara kota-kota di Martapura seperti Amuntai bersikap ambivalen.
- Tahun 11 Juni 1860, ibu kota banjarmasin di kesultanan Banjar di bubarkan di hapuskan dalam daftar kerajaan kerajaan Nusantara oleh kolonial Hindia Belanda menjadi Regent Bupati dengan Gubernur nya dari Hindia Belanda.
→ Menandai keruntuhan final Kerajaan Kesultanan Banjar secara de facto.
AKHIR HIDUP DAN WARISAN
“MAHIRUP DI ATAS ABU BANUA” (Makna: Hidup di atas abu tanah leluhur – refleksi atas kehancuran dan kelahiran kembali)
- Wafat: Sekitar tahun 1901, setelah di asingkan ke cianjur jawa barat
- Warisan:
- Sebagai pemimpin terakhir yang mempertahankan identitas dan pemerintahan Kesultanan Banjar.
- Mewariskan perjuangan dan sisa keturunan ke wilayah Cianjur Jawa Barat dan Samarinda kaltim.
- Dicatat dalam berbagai sumber Belanda sebagai figur penting dalam konflik antara Kesultanan banjar dan hindia belanda.
“PAPATUKAN TAHTA BANJAR” (Makna: Robohnya singgasana Banjar – simbol kejatuhan kekuasaan formal)
Setelah keruntuhan Perang Banjar 1859-1905,sisa-sisa Kesultanan Banjar menyebar ke wilayah Cianjur ,Bandung,Sukabumi,Bogor, sumatra selatan,lampung,jambi,samarinda kaltim,Batavia,serawak malaysia dan wilayah-wilayah timur yang kelak mempertahankan agama dan budaya Kesultanan banjar. Keturunan bangsawan kesultanan banjar juga diyakini menjadi bagian dari pendiri Pagustian Banjar di Martapura dan Amuntai.
Masa Pemerintahan: 1859-11 Juni 1860 (de facto di Banjarmasin, Kesultanan Banjar)
Pegangan Hidup: Bertahan dalam Kabut Kejatuhan
Teladan: Pangeran Ratu Anom Mangkubumi Sultan Wirakusuma II anak dari Sultan Muda Abdurrahman Bin Sultan Adam, menjadi penguasa terakhir sisa-sisa Kesultanan banjar. Diangkat sebagai pemimpin tertinggi setelah kekuasaan Sri Sultan Tamjidilah II di asingkan belanda ke empang bogor jawa barat. Dicatat oleh Van Res sebagai “Raja (Sultan) merelakan mengundurkan diri dari jabatan Sultan” terakhir 1859. Ia mempertahankan pusat Keraton Banjar di banjarmasin Kesultanan Banjar hingga di bubarkan di hapuskan dalam daftar kerajaan kerajaan Nusantara oleh kolonial Hindia Belanda menjadi Regent Bupati dengan Gubernur nya dari Hindia Belanda.Menandai keruntuhan final Kerajaan Kesultanan Banjar secara de facto.
“RUNTUHNYA SINGGASANA, HIDUPNYA RAJA DI HATI RAKYAT” Menekankan bahwa raja tidak harus duduk di tahta untuk hidup—selama nilai-nilainya tetap dijunjung tinggi oleh rakyat dan keturunannya.
Dikenal pula dalam naskah-naskah tradisional sebagai tokoh legendaris dalam akhir Kesultanan banjar. Menikah dengan putri Pangeran Antasari Pahlawan Nasional bergelar Permaisuri Ratu Wirakusuma Putri Hasiah – keturunan Tutus Tuha Sultan Kuning Perkawinan ini memperkuat posisi politik Wirakusuma II di kawasan Martapura dan Banjarmasin dan ratu ke 2 yaitu Ratu Wirakusuma Ratu Ratna binti Pangeran Muhamad Nafis Raja Kusan IV Raja Pulau Laut Batulicin, memperkuat posisi lewat jaringan politik kesultanan Banjar terakhir. Keturunannya seperti Ratu Hatidjah (Ratoe Sjerief Aboe Bakar) Wirakusuma III dan Suaminya Pangeran Syarif abubakar ikut berperang dan diasingkan kecianjur jawa barat dikenal Goesti Hatidja gugur dalam perang banjar.
✦ PENUTUP – “TITIS NYAWA RING KURUN BANJAR”
(Makna: Jejak dan ruh Kesultanan Banjar yang tetap hidup meski kekuasaannya telah sirna)
Bahwa meskipun Kesultanan Banjar secara politik runtuh, namun titisannya—baik budaya, darah keturunan, maupun spiritualitas—masih mengalir dalam kehidupan masyarakat Banjar.
“BANUA YANG TAK PERNAH PADAM” (Makna: Banua/Kerajaan Banjar secara spiritual dan budaya tetap menyala dalam ingatan dan keturunan) sarat simbolisme, semangat pelestarian sejarah dan silsilah trah Sultan Banjar.
“LUNTUNGNYA MAHKOTA, BUKAN LUNGKANGNYA KEBESARAN” (Makna: Hilangnya mahkota bukan berarti lenyapnya kebesaran dan kehormatan keturunan Banjar)
Tahun 11 Juni 1860 menandai jatuhnya pusat terakhir Kesultanan banjar di Banjarmasin oleh pasukan Kolonial Hindia Belanda di bawah pimpinan Jenderal Augustus Johannes Andresen dan Mayor Jenderal Gustave Marie Verspijck
Dengan itu, berakhirlah kesultan banjar secara politik, meskipun roh dan budayanya hidup dalam bentuk trah raja-raja Sultan Banjar di Cianjur jawa barat, Martapura, dan Amuntai.
• Dalam memori kolektif, Pangeran Ratu Anom Mangkubumi Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman Bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah adalah raja sultan terakhir kesultanan banjar, baik secara historis maupun mitologis.
✦ PASCA KESULTANAN BANJAR – WARISAN DAN TRAH
• Pusat kekuasaan pindah ke Amuntai sungai negara
• Kemunculan Pagustian Banjar sebagai pelanjut politik dan spiritual baru di kalimantan
• Trah kesultanan banjar menyebar ke wilayah Cianjur ,Bandung,Sukabumi,Bogor, sumatra selatan,lampung,jambi,samarinda kaltim,Batavia,serawak malaysia dan wilayah-wilayah timur
• Pangeran Hidayatulah Gusti Andarun, cucu Sultan Adam, tampil sebagai simbol konflik akhir Kesultanan banjar-Kolonial Hindia belanda
✦ Kesultanan banjar Bukan Hanya Kesultanan, Tapi Peradaban.
Dari Sultan Suriansyah ke Sultan Rahmatulah, dari Keraton Bumi kencana Martapura ke Keraton Banjar, Kesultanan banjar hidup dalam ingatan, puisi, dan prinsip pemersatu bangsa: Bhinneka Tunggal Ika.


2. Pangeran Ratu Anom Mangkubumi Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman Bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah
Identitas dan Garis Keturunan:
- Nama lengkap lokal: Pangeran Ratu Anom Mangkubumi Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman Bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah
- Beliau adalah cucu langsung dari Sultan Adam Al-Watsiq Billah, sultan besar yang memerintah Banjar pada masa awal intervensi Belanda di Kalimantan Selatan.
- Ayahnya adalah Sultan Muda Abdurrahman, putra Sultan Adam.
Peran dalam Istana dan Administrasi Kolonial:
- Dalam arsip kolonial Hindia Belanda, seperti laporan Van Rees dan catatan Binnenlands Bestuur, nama Pangeran Ratu Anom Mangkubumi Sultan Wirakusuma II bin Sultan Muda Abdurrahman Bin Sultan Adam tercatat secara eksplisit.
- Beliau diangkat menjadi Pangeran Mangkubumi, yaitu jabatan tinggi sebagai penguasa administratif dan penghubung antara sultan dan rakyat. Jabatan ini sering kali memiliki kekuasaan de facto, bahkan lebih besar dari sultan simbolik.
- Meski pengaruhnya besar dalam struktur kekuasaan, nama beliau nyaris hilang dari historiografi lokal, tidak disebut dalam naskah-naskah resmi maupun dalam kurikulum sejarah daerah.
Dugaan Penghapusan Historiografis:
- Nama beliau dihapus atau dilupakan karena berada dalam posisi “abu-abu” dalam konflik antara pihak kesultanan yang mendukung Belanda dan yang melawan.
- Beliau juga adalah bagian dari adik tiri dari Sri Sultan Tamjidillah II, yang dianggap sebagai sultan boneka oleh sebagian kalangan Banjar, namun sah secara administratif menurut Belanda.

3. Sultan Tamjidillah II
Identitas:
- Sultan Tamjidillah II adalah cucu Sultan Adam dari istri selir (bukan permaisuri).
- Menjadi Sultan Banjar tahun 1857–1859 atas restu dan pengesahan resmi dari pemerintah Hindia Belanda, melalui Staatsblad (Lembaran Negara) yang sah.
Konflik Legitimasi:
- Pihak kerajaan dan masyarakat adat Banjar menolak penobatannya karena dianggap tidak sah menurut tradisi (karena bukan dari garis permaisuri).
- Muncullah rivalitas dengan Pangeran Hidayatullah II, yang lebih diterima secara adat, namun tidak diakui secara resmi oleh pemerintah kolonial.
Akhir Kekuasaan:
- Situasi ini memicu Perang Banjar (1859–1905).
- Sri Sultan Tamjidillah II kemudian diberhentikan oleh Belanda sendiri pada 1859, dan kekuasaan Banjar praktis dikendalikan oleh pemerintah kolonial.
4. Dualisme Legitimasi: Tradisi vs Kolonial
Kasus Sultan Hidayatulah II , Sultan Wirakusuma II dan Sultan Tamjidillah II menggambarkan konflik klasik antara dua bentuk legitimasi:
- Legitimasi tradisional (berdasarkan hukum adat, garis darah permaisuri, dan pengakuan rakyat).
- Legitimasi kolonial (berdasarkan pengakuan administratif dari pemerintah Hindia Belanda).
Ketiganya menunjukkan bahwa sejarah tidak selalu hitam-putih, dan bahwa tokoh yang “bekerja sama” dengan Belanda tidak otomatis pengkhianat, melainkan bisa jadi bagian dari strategi bertahan hidup atau taktik diplomasi internal istana.
5. Mengapa Mereka Terlupakan?
- Narasi perlawanan cenderung lebih disukai dalam penulisan sejarah pascakemerdekaan.
- Tokoh-tokoh seperti Tamjidilah II,Wirakusuma II dianggap terlalu dekat dengan Belanda, atau berada di posisi yang tidak mudah dikategorikan, sehingga sejarah resmi lebih memilih diam.
- Sebagai akibatnya, jejak administratif dan peran strategis mereka diabaikan, padahal mereka adalah bagian penting dari kesinambungan kekuasaan Banjar.

6. Rekonstruksi Sejarah: Perlunya Historiografi Kritis
- Diperlukan pendekatan historiografi kritis dan multidimensional untuk menyusun kembali sejarah yang selama ini “disunting” atau dibentuk oleh kepentingan politik zaman.
- Hal ini mencakup:
- Mengkaji ulang arsip-arsip kolonial Belanda (seperti Koloniaal Verslag, Staatsblad, dan laporan Residen).
- Mengangkat sumber lisan dan manuskrip lokal keluarga bangsawan Banjar.
- Mengakui bahwa sejarah Banjar tidak tunggal, tetapi terdiri dari berbagai lapisan pengalaman dan narasi yang saling bertumpuk.
7. Kesimpulan
- Sultan Wirakusuma II dan Sultan Tamjidillah II bukanlah tokoh minor dalam sejarah Banjar. Mereka adalah bagian dari sistem kekuasaan yang sah secara historis, meskipun tidak populer dalam narasi dominan.
- Mengabaikan mereka berarti memotong sebagian penting dari sejarah Banjar, khususnya dalam memahami dinamika politik internal dan relasi dengan kekuasaan kolonial.
- Sejarah Banjar yang adil hanya dapat dicapai jika semua suara, termasuk yang dianggap kontroversial atau ambigu, diangkat dan diakui.