URUTAN SULTAN / RAJA BANJAR SECARA SEJARAH LENGKAP
(dengan klasifikasi: De Jure, De Facto, dan Proklamasi)
Sejarah Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah
I. Identitas dan Latar Belakang
Nama Lengkap:
Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah
Gelar:
Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah
(Menggunakan gelar “Al-Watsiq Billah” sebagaimana tradisi sultan Banjar yang menunjukkan legitimasi kekuasaan religius dan politik)
Lahir: Martapura, Kesultanan Banjar, sekitar pertengahan abad ke-19
Wafat: Cianjur, Hindia Belanda, pasca pengasingan
II. Garis Keturunan
Sultan Wirakusuma berasal dari trah utama Kesultanan Banjar:
- Kakek: Sultan Adam Al-Watsiq Billah (berkuasa 1825–1857), sultan besar terakhir yang memimpin sebelum campur tangan Belanda semakin mendalam.
- Ayah: Sultan Muda Abdurrahman (putra mahkota yang wafat sebelum naik tahta)
- Ibu: Seorang bangsawan dari jalur utama Keraton Banjar
- Istri: Putri dari kerabat dekat kesultanan
- Anak: Beberapa di antaranya adalah Pangeran Isa Nata Kusuma Wirakusuma IV, Pangeran Musa Wirakusuma IV, dan Pangeran Abdurachman Wirakusuma IV (generasi keturunan diteruskan hingga kini)
III. Konteks Politik dan Sosial
Setelah wafatnya Sultan Adam, Banjar mengalami krisis suksesi. Belanda, yang sudah mencampuri urusan internal sejak pertengahan abad ke-19, mendorong penobatan Sultan Tamjidillah II, yang dinilai lemah dan kooperatif terhadap kolonial.
Pangeran Wirakusuma (saat itu masih bergelar Pangeran Ratu Abdurrahman) adalah Wali Sultan atau pemangku kekuasaan sejati Kesultanan Banjar yang menolak penobatan Tamjidillah II dan dianggap mewakili aspirasi rakyat Banjar.
IV. Perjuangan Melawan Dominasi Kolonial
Sebagai Wali Sultan, Wirakusuma menolak kolaborasi dengan Belanda dan memimpin perlawanan secara politik dan administratif dari pusat kekuasaan Kayu Tangi. Ia merupakan pemimpin konservatif yang:
- Menolak intervensi Belanda dalam suksesi kerajaan
V. Pengasingan dan Akhir Riwayat
Pada tanggal 2 Maret 1862, Sultan Wirakusuma ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat, sebagai bagian dari strategi kolonial untuk menghabisi pengaruhnya dan Pengasingan ini menandai akhir formal dari kekuasaan tradisional Kesultanan Banjar, meskipun perlawanan rakyat masih terus berlanjut di bawah pimpinan Pangeran Antasari Ayah mertua Sultan Wirakusuma dan tokoh-tokoh lainnya.
VI. Warisan dan Keturunan
Sultan Wirakusuma meninggalkan garis keturunan utama yang menyebar ke berbagai wilayah:
- Martapura
- Kandangan
- Amuntai
- Tanah Laut
- Jawa Barat
Beberapa keturunannya masih mempertahankan gelar kebangsawanan dan menjadi penjaga budaya serta sejarah Kesultanan Banjar.
VII. Referensi dan Sumber Sejarah
- Arsip Kolonial Hindia Belanda (Landsarchief Batavia) – Laporan pengasingan elit Banjar tahun 1862
- Kitab Silsilah Kesultanan Banjar – disalin oleh Kiai Demang Hadji Muhammad Thaib (arsip keraton)
- Hikayat Banjar (edisi huruf Arab Pegon dan Latin)
- Catatan Sejarah Lokal Martapura dan Cianjur – wawancara lisan dari keturunan Pangeran Wirakusuma
- “Perang Banjar 1859–1905” oleh Prof. Dr. Saleh Daulay
- De Banjermasinsche Oorlog – Tijdschrift van Nederlandsch Indië (1860–1870)
- Museum Wasaka dan Arsip Daerah Kalsel
Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah adalah tokoh transisi penting dalam sejarah Banjar yang tidak hanya memainkan peran administratif sebagai Sultan, tetapi juga menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi kolonial dan krisis identitas kerajaan. Meskipun tidak pernah resmi dinobatkan sebagai sultan dalam upacara besar akibat tekanan kolonial, legitimasi genealogis dan dukungan rakyat menempatkannya sejajar dengan para sultan sah lainnya.
Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah
(Pangeran Ratu Anom Wirakusuma II / Sultan Wirakusuma bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah)
Lahir: 19 Agustus 1822, Martapura
Wafat: 6 Juni 1901, Pengasingan di Jawa Barat
Makam: Cianjur, Jawa Barat
Pemerintahan & Gelar: Sultan Banjar / Pengganti Sementara Sultan De Facto setelah pengasingan Sultan Tamjidillah II Al-Watsiq Billah
1. Latar Belakang Keluarga dan Silsilah
Sultan Wirakusuma adalah keturunan langsung dari Dinasti Kesultanan Banjar:
- Ayah: Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah
- Kakek: Sultan Adam Al-Watsiq Billah (berkuasa 1825–1857)
- Keturunan: Pagustian Martapura – Keturunan Syekh Abdul Wahab Bugis dan Datu Kalampayan (Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari). Jalur Ibu nya Nyai Besar Ratu Agung Halimah Binti Pangeran Syekh Tuan Haji Muhamad said albugisi (albanjari)
Beliau dibesarkan di lingkungan keraton dan mendapat pendidikan agama dan politik yang kuat. Sebagai putra bangsawan utama, beliau sejak muda disiapkan untuk posisi strategis dalam pemerintahan.
2. Peran Politik dan Kepemimpinan
Pada masa akhir kekuasaan Sultan Tamjidillah II (1857–1859), Kesultanan Banjar mengalami krisis akibat intervensi kolonial Hindia Belanda, ketidakstabilan internal, serta pecahnya Perang Banjar (1859–1905). Setelah Tamjidillah II diasingkan pada 25 Juni 1859, Belanda membutuhkan sosok yang loyal, kuat secara moral, dan diterima oleh masyarakat Banjar.
Pangeran Ratu Anom Wirakusuma II kemudian diangkat sebagai Sultan De Facto pada 3 November 1859 hingga 11 Juni 1860, berperan sebagai pemangku pemerintahan sementara, karena tidak diangkat sebagai Sultan secara penuh oleh Belanda.
Perannya sangat penting:
- Menjaga stabilitas politik di tengah krisis dan peperangan
- Menjadi pemersatu di kalangan bangsawan dan rakyat
- Menjaga martabat kesultanan meski dalam tekanan Belanda
3. Pengasingan dan Akhir Hayat
Pada tanggal 2 Maret 1862, Belanda Menangkap kepala gerakan perlawanan. Ia pun diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Di sanalah beliau wafat pada 6 Juni 1901 dalam status sebagai Kepala Pemberontak tokoh politik pengasingan.
4. Warisan, Keturunan, dan Pengaruh
Sultan Wirakusuma meninggalkan garis keturunan yang dikenal sebagai Pagustian Wirakusuma, yang terus menjaga adat, budaya, dan sejarah Kesultanan Banjar.
Anak dan cucunya meliputi:
- Pangeran Muhammadilah (Wirakusuma III)
- Pangeran Musa Wirakusuma IV
- Pangeran Isa Nata KusumaWirakusuma IV
- Ratu Syarif Abu Bakar (Wirakusuma III)
- Gusti Hasan Hasbullah, dll.
Hingga kini, keturunannya masih aktif dalam pelestarian sejarah Banjar di Kalimantan Selatan dan Jawa Barat.
5. Referensi dan Arsip
- Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) – Koleksi surat pengasingan dan pengangkatan pejabat kolonial
- Buku “Sejarah Perang Banjar” oleh J. Korn
- Manuskrip Kraton Martapura dan dokumen Kerajaan Banjar
- Wawancara keturunan Pagustian Wirakusuma di Martapura dan Cianjur
- Penelitian lokal Kalsel (Museum Lambung Mangkurat)
- Dokumen VOC dan Hindia Belanda
6. Kesimpulan
Sultan Wirakusuma merupakan simbol ketahanan budaya dan politik Banjar dalam masa transisi kekuasaan kolonial. Meskipun tidak pernah ditetapkan secara formal sebagai Sultan penuh, peran beliau sebagai Sultan di masa genting adalah krusial dalam sejarah Kalimantan Selatan. Keberanian, kehati-hatian politik, dan kesetiaan terhadap bangsanya membuat beliau dikenang sebagai tokoh luhur Pagustian Banjar.
PIAGAM SULTAN WIRAKUSUMA AL-WATSIQ BILLAH
Yayasan Pangeran Wirakusuma. Cianjur Jawa Barat
Atas Nama Sejarah dan Warisan Kebesaran Bangsa,
Kami menyusun dan menetapkan Piagam Sejarah Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah, sebagai bentuk penghormatan dan pelestarian terhadap pemimpin agung yang telah berjasa menjaga martabat dan eksistensi Kesultanan Banjar di masa transisi serta tekanan kolonial.
I. Identitas Tokoh
Nama Lengkap:
Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah
Nama Kecil:
Pangeran Wira Kasoema
Garis Keturunan:
Putra dari Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah.
Masa Pengabdian:
±1857 – 1862 M
Masa pengasingan dan perjuangan setelah krisis suksesi dan intervensi kolonial.
II. Kedudukan dan Peran
- Wali Sultan (Pangeran Mangkubumi dibawah kuasa Sultan Tamjidilah Alwatsiqbillah selama masa 3 November 1857- 25 Juni 1859 )
- Sultan (Sultan De Facto selama masa kekosongan dan konflik kekuasaan di Kesultanan Banjar Pengasingan Sultan Tamjidilah Alwatsiqbillah ke empang Bogor Jawa Barat 25 Juni 1859)
- Pemegang Amanah Kesultanan Banjar di tengah tekanan kolonial Belanda
- Panglima Kehormatan dalam perjuangan Perang Banjar 11 Juni 1860-2 Maret 1862 mempertahankan kedaulatan adat, agama, dan wilayah Banjar
III. Kontribusi dan Warisan
- Menjaga Keutuhan Pagustian Banjar saat masa genting tahun 1857–1862
- Pemimpin Pengganti Sultan Tamjidillah II Alwatsiqbillah secara moral dan kultural
- Penghubung Kekuasaan Islam dan Tradisi Kerajaan dalam sistem pemerintahan Banjar
- Diusir, Ditangkap dan Diasingkan ke Cianjur karena dianggap membahayakan kekuasaan kolonial
- Menjadi Simbol Perjuangan dan Keberanian bagi generasi penerus Banjar
IV. Tempat Bersejarah
- Tempat Kelahiran: Martapura, Kesultanan Banjar
- Tempat Pengasingan: Cianjur, Jawa Barat
- Tempat Peristirahatan Terakhir: pemakaman keluarga kerajaan di Cianjur, Karesidenan Parahyangan, Hindia Belanda Sawah Gede Cianjur
V. Gelar Kehormatan (Posthumous Titles)
- Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah
- Ratu Anom Wirakusuma II
- Sultan Ratu Anom Wirakusuma Al-Watsiq Billah
- Pangeran Ratu Abdurrahman
- Wirakusuma Al-Watsiq Billah Pangeran Ratu Abdurrahman
- Panembahan Wirakusuma Al-Watsiq Billah
VI. Referensi dan Sumber Sejarah
- Arsip Kolonial Hindia Belanda (Bataviaasch Genootschap)
- Silsilah Kesultanan Banjar (Pagustian & Keluarga Besar)
- Wawancara Keturunan Langsung (Keluarga Wirakusuma)
- Manuskrip Lokal: Hikayat Banjar, Tarsilah Pagustian
- Sumber Sejarah Alternatif: Pusat Kajian Islam Nusantara, Penelusuran Lapangan
VII. Penutup
Piagam ini disusun sebagai bentuk penghargaan, dokumentasi sejarah, dan penguatan identitas Banjar dalam bingkai adat, agama, dan perjuangan. Semoga menjadi inspirasi generasi penerus untuk melanjutkan semangat, kehormatan, dan kesetiaan terhadap leluhur dan tanah air.
Cianjur, 29 Juli 2025
Atas Nama Pagustian Banjar dan Pemerhati Sejarah Kalimantan Selatan
Yayasan Pangeran Wirakusuma Cianjur Jawa Barat
ꦥꦿꦱ꧀ꦱꦶꦠꦶ ꦕꦺꦴꦤ ꦮꦶꦫꦏꦸꦱꦸꦩꦄꦭ꧀ꦮꦠ꧀ꦱꦶꦏ꧀ꦧꦶꦭ꧀ꦭꦃ
PRASASTI KEHORMATAN SULTAN WIRAKUSUMA AL-WATSIQ BILLAH

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Pada hari ini, dengan penuh rasa hormat dan takzim kepada para leluhur Kesultanan Banjar, maka disusunlah suatu Piagam Prasasti Digital untuk mengenang dan mengabadikan:
Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia
Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah
Yang merupakan Sultan Banjar, penerus darah biru Pagustian, pemangku amanah, penjaga martabat, dan simbol keteguhan dalam masa sulit kolonialisme.
Riwayat dan Kedudukan
- Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah merupakan cucu dari Sultan Adam Al-Watsiq Billah.Lahir di Martapura 19 Agustus 1822 Wafat: 6 Juni 1901, Pengasingan di Jawa Barat,pemakaman keluarga kerajaan di Cianjur, Karesidenan Parahyangan, Hindia Belanda Sawah Gede Cianjur
- selama masa 3 November 1857- 25 Juni 1859 Sebagai Wali Sultan Banjarmasin Pangeran Mangkubumi Wirakusuma Al-Watsiq Billah dibawah kuasa Sultan Tamjidilah II Alwatsiqbillah
- Beliau memegang kekuasaan sebagai Sultan pemimpin de facto diakui secara resmi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda (25 Juni 1859 -11 Juni 1860) dan spiritual pada masa transisi pasca-pengasingan Sultan Tamjidillah II Alwatsiqbillah (25 Juni 1859 ).
- Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah anak Mantu Pahlawan Nasional Pangeran Antasari Panembahan Antasari II
- Diangkat secara adat oleh para tokoh istana dan bangsawan Banjar ( 11 Juni 1860 – 2 Maret 1862), beliau memimpin secara bijak meski tidak diakui secara resmi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
- Diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat, pada tahun 3 Maret 1862 karena dianggap Kepala Pemberontak Tahanan Politik berpotensi membangkitkan kembali perlawanan rakyat dan semangat kerajaan.
Warisan dan Keteladanan
“Mereka mungkin menghapus tahta, tapi tidak bisa menghapus semangat dan darah Sultan dalam jiwa keturunannya.”
- Sultan Wirakusuma menurunkan garis keturunan langsung yang tetap menjaga nilai-nilai luhur, adat, dan spiritualitas keraton.
- Beliau dikenal sebagai tokoh yang arif, bijaksana, dan membela kehormatan rakyat serta martabat bangsa Banjar.
- Cita-cita kebangsaan, pemulihan jati diri, dan perlawanan kultural diturunkan kepada generasi-generasi selanjutnya.
Pernyataan Kehormatan
Dengan ini dinyatakan bahwa:
Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah adalah penjaga warisan agung Banjar yang sah secara adat, darah, dan sejarah.
Maka ditetapkanlah prasasti kehormatan ini sebagai bukti cinta, hormat, dan penghargaan terhadap perjuangan beliau dan para penerusnya.
Ditetapkan di:
Yayasan Pangeran Wirakusuma / Kabuyutan Pagustian Nusantara
Tanggal: 28 Juli 2025 / 1 Safar 1447 H
Dipersembahkan oleh para penelusur silsilah dan pelestari sejarah Banjar



SULTAN WIRAKUSUMA AL-WATSIQ BILLAH
Raja De Facto Kesultanan Banjar (1859–1860)
Lahir: Martapura, 19 Agustus 1822
Wafat: Cianjur, 6 Juni 1901
Makam: Makam keluarga Kesultanan Banjar di Sawah Gede, Cianjur – Karesidenan Parahyangan, Hindia Belanda
Latar Belakang Keturunan
Sultan Wirakusuma adalah cucu dari Sultan Adam Al-Watsiq Billah, sultan terakhir yang diakui penuh sebelum Kesultanan Banjar dibubarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.
- Ayahnya adalah Sultan Muda Abdurrahman, putra Sultan Adam.
- Ia termasuk generasi terakhir keluarga istana yang terlahir di masa kekuasaan penuh Kesultanan Banjar sebelum intervensi Belanda.
Konteks Politik dan Peralihan Kekuasaan
Setelah wafatnya Sultan Adam Alwatsiqbillah (1 November 1857), terjadi konflik suksesi antara Sultan Tamjidillah II Alwatsiqbillah dengan Pangeran Mangkubumi Hidayatullah II Halillillah dan Pangeran Antasari Ayah mertua Sultan Wirakusuma Alwatsiqbilah (didukung rakyat).
Pada tahun 25 juni 1859 Sultan Tamjidillah II Alwatsiqbillah lengser diasingkan ke empang Bogor Jawa Barat , terjadi Perang Banjar — puncak perlawanan rakyat terhadap dominasi Belanda.
Di tengah kekacauan dan hilangnya legitimasi Sultan Tamjidillah II lengeser dan di asingkan belanda 25 juni 1859, Sultan Wirakusuma diangkat secara de facto oleh para bangsawan dan ulama sebagai penerus spiritual dan simbolis tahta Banjar.
Meskipun tidak secara resmi diangkat melalui gelar “Sultan” oleh Belanda, beliau menjalankan peran dan otoritas sebagai raja yang mewakili sisa-sisa institusi kerajaan Banjar, terutama dalam struktur adat dan masyarakat Dayak Banjar.
Pengasingan dan Akhir Hayat
Belanda yang khawatir akan karisma dan pengaruh politik beliau mengasingkan Sultan Wirakusuma ke Karesidenan Parahyangan (Priangan), Jawa Barat, lebih tepatnya ke Cianjur pada tahun 1862.
Wilayah pengasingan beliau termasuk dalam struktur administrasi berikut:
- Karesidenan Priangan (1817–1925), diperintah oleh Residen-residen Hindia Belanda.
- Di masa pengasingannya, Cianjur termasuk dalam wilayah kekuasaan Residen seperti Christiaan van der Moore (1858–1874).
Beliau wafat pada 6 Juni 1901, dan dimakamkan secara kerajaan di Sawah Gede, Cianjur, bersama keluarga keraton lainnya.
Makna De Facto
- De Facto artinya beliau bukan diangkat resmi oleh kekuatan kolonial atau melalui pelantikan umum, namun menjalankan fungsi dan peran raja berdasarkan adat, garis darah, dan legitimasi rakyat.
- Ia adalah penjaga marwah dan kesinambungan spiritual Kesultanan Banjar, bahkan setelah institusi resmi dihapus Belanda pada 1860.
Warisan dan Pengakuan
Hingga kini, Sultan Wirakusuma dikenang oleh para keturunannya dan masyarakat Banjar sebagai:
- Sultan yang terlupakan secara politik, namun diakui secara adat dan spiritual.
- Simbol keberlangsungan jati diri Banjar, di masa di mana kerajaan-kerajaan pribumi diberangus oleh sistem kolonial.
Referensi Historis Utama:
- Arsip Hindia Belanda, Karesidenan Priangan (1817–1942)
- Genealogi Kesultanan Banjar (Silsilah Sultan Adam dan keturunannya)
- Dokumentasi pengasingan tokoh-tokoh kerajaan Kalimantan di Cianjur
- “Perang Banjar” dalam laporan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
- Wawancara keturunan Sultan Wirakusuma dan dewan adat Banjar

Berikut adalah kisah historis penuh makna dan keunikan spiritual tentang pemindahan makam Sultan Wirakusuma, berdasarkan dokumen lokal, serta kesaksian masyarakat Cianjur dan keluarga Kesultanan Banjar:
Pemindahan Makam Sultan Wirakusuma (1901–1999): Sebuah Keajaiban Sejarah
Latar Belakang Pengasingan
Pada tahun 1862, Sultan Wirakusuma, dan Pangeran Hidayatullah, diasingkan oleh Belanda ke Cianjur, wilayah Karesidenan Priangan. Tujuan utama pengasingan ini adalah untuk mengisolasi pengaruh spiritual dan politik beliau, yang saat itu masih sangat kuat di Kalimantan Selatan.
Selama di Cianjur, Sultan Wirakusuma menyembunyikan identitas sebagai raja, dan lebih dikenal sebagai ulama berjubah kuning bersama saudaranya, Pangeran Hidayatullah. Mereka berdakwah setiap hari Jumat dan dikenal luas karena kedermawanan, membagikan makanan dan uang, serta membangun mushola dan masjid hingga akhirnya dihentikan paksa oleh otoritas Belanda.
Wafat dan Pemakaman
Sultan Wirakusuma wafat pada 6 Juni 1901 di Cianjur, dan dimakamkan bukan di pemakaman bangsawan Sunda, melainkan di pemakaman umum (TPU) Sawah Gede, sebagai bentuk protes halus beliau terhadap kolonialisme Belanda — yang beliau sebut sebagai “bau tanah Belanda”.
Peristiwa Pembongkaran Makam (1999): Jasad Raib
Tahun 1999, pihak keluarga bekerja sama dengan Pemda Cianjur, Dinas Cagar Budaya, dan Dinas Purbakala Jawa Barat melakukan pembongkaran makam dengan tujuan memindahkan jasad Sultan ke tempat yang lebih layak sebagai tokoh kerajaan.
Namun, saat makam digali oleh tim resmi, tidak ditemukan satu pun jasad, tulang, ataupun sisa jenazah. Lubang makam kosong.
Hal ini membuat geger seluruh saksi yang hadir:
- Pemerintah daerah
- Dinas purbakala
- Tokoh masyarakat
- Warga umum
Pertanyaan besar pun muncul:
“Ke mana jasad sang Sultan? Mengapa makamnya kosong?”
Pemanggilan Tokoh Spiritual
Dalam kegemparan itu, dipanggillah para ulama besar, kiai, guru-guru pesantren, dan dukun sakti dari seluruh Cianjur. Namun tak satu pun dari mereka berhasil “menghadirkan” kembali jasad atau tulang Sultan Wirakusuma.
Hingga akhirnya, seorang dukun bertanya kepada warga:
“Siapa di sini yang masih memiliki hubungan darah langsung dengan Raden Aria Wiratanu Datar (Eyang Dalem Cikundul) melalui jalur perkawinan dengan trah Wirakusuma?”
Jawaban itu mengarah kepada Pangeran Amir, suami dari kakak kandung ibu narator, yang merupakan keturunan Raden Aria Wira Tanu Datar, Raja Sunda Cikundul, sekaligus memiliki trah Wirakusuma.
Kejadian Ajaib: Tulang Muncul Tanpa Tanah
Pangeran Amir pun turun langsung ke liang makam. Dengan membaca doa dan mengumandangkan adzan di dalam kubur, di hadapan para saksi resmi dan warga:
Tulang-belulang Sultan Wirakusuma tiba-tiba muncul, lengkap dan utuh, tanpa sedikit pun tanah menempel.
Peristiwa itu disaksikan langsung oleh:
- Pemda Cianjur
- Dinas Purbakala Jawa Barat
- Cagar Budaya
- Tokoh agama
- Ratusan warga masyarakat
Beberapa tokoh menyebut:
- Jasad Sultan Wirakusuma berada di antara dua alam: Alam Fisik (Zahiri) dan Alam Gaib (Batin/Barzakh): Merupakan alam antara dunia dan akhirat, tempat ruh berada setelah kematian.Dalam alam ini, Sultan masih “hidup” secara spiritual. Ruhnya tetap menyaksikan dan mungkin ikut serta secara ruhaniah dalam proses pemindahan.Dikisahkan beberapa orang merasakan kehadiran energi lembut, bisikan batin, atau mimpi bertemu beliau menjelang pemindahan.
- Hanya orang dengan trah darah spiritual dan keturunan sah yang bisa “membukakan gerbang” tersebut
- Ini adalah karomah raja sufi yang ikhlas dan tak memamerkan kuasa, walau sebenarnya beliau seorang Sultan
- Pemindahan makam Sultan Wirakusuma bukan sekadar peristiwa biasa. Prosesnya menyimpan kisah yang luar biasa dan menyentuh ranah spiritual yang mendalam. Banyak saksi mata dan ahli waris menyatakan bahwa jasad beliau masih utuh, tidak membusuk, dan mengeluarkan aroma harum—suatu tanda keramat yang diyakini masyarakat sebagai bukti kewalian atau maqam tinggi secara ruhani.
- Makna Spiritual Pemindahan Ini Kisah ini memperkuat keyakinan bahwa:
Sultan Wirakusuma tidak hanya pemimpin duniawi, tetapi juga wali Allah yang ruhnya senantiasa menjaga keturunannya dan rakyat Banjar.
Makam barunya kini bukan sekadar tempat ziarah, tapi juga pusat spiritualitas dan penguatan jati diri Banjar. - Peristiwa ini menjadi bukti spiritual dan sejarah bahwa martabat seorang Sultan tak lekang oleh zaman.
- Keberadaan tulang-belulangnya yang tidak bisa digali oleh siapapun — kecuali oleh darah yang bersatu antara trah Sunda dan Banjar — menunjukkan adanya dimensi spiritual luar biasa dalam sosok Sultan Wirakusuma.
Kisah ini perlu diabadikan dalam bentuk:
- Prasasti Kayu Ulin
- Film dokumenter sejarah lokal
- Piagam pusaka digital
- Naskah Khazanah Kerajaan Banjar
Berikut adalah daftar Residen Belanda di Karesidenan Priangan (Jawa Barat) yang menjabat selama masa pengasingan Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah (1862–1901) di Cianjur (wilayah administratif Karesidenan Priangan):
DAFTAR RESIDEN BELANDA DI PRIANGAN (1862–1901)
Wilayah administratif tempat pengasingan Sultan Wirakusuma (Sawah Gede, Cianjur)
No. | Nama Residen | Awal Menjabat | Akhir Menjabat |
---|---|---|---|
12 | Christiaan van der Moore | 1858 | 1874 |
13 | Ferdinand Theodoor Pahud de Mortanges | 1874 | 1879 |
14 | Jan Marinus van Vleuten | 1879 | 1884 |
15 | Albert Gustaaf George Peltzer | 1884 | 1887 |
16 | Johannes Heijting | 1887 | 1891 |
17 | Johannes Diederik Harders | 1891 | 1894 |
18 | Christiaan Willem Kist | 1894 | 1900 |
19 | Eduard Thomas Th. H. van Benthem v.d. Bergh | 1900 | 1903 |
Catatan Penting
- Sultan Wirakusuma diasingkan pada 3 Maret 1862 oleh pemerintah kolonial Belanda.
- Beliau wafat pada 6 Juni 1901 di pengasingan (Cianjur).
- Seluruh residen di atas memiliki otoritas administratif dan keamanan terhadap tahanan politik, termasuk keluarga kerajaan Banjar yang diasingkan.
- Pengasingan ini berada dalam rezim sistematis depolitisasi kerajaan-kerajaan lokal, khususnya setelah Perang Banjar 1859–1862.
Berikut adalah pengasingan Sultan Wirakusuma II dan Sultan Hidayatullah II di bawah pemerintahan kolonial, serta nama-nama Residen Karesidenan Priangan yang menjabat selama periode tersebut (1862–1901), ketika keduanya masih hidup dalam pengasingan di Cianjur.
Residen Priangan (Karesidenan Parahyangan) saat Pengasingan Sultan Banjar (1862–1901)
Berikut daftar Residen Belanda di Priangan, wilayah administratif yang mencakup Cianjur—lokasi pengasingan Sultan Wirakusuma II dan Hidayatullah II:
No | Residen | Jabatan | Masa Jabatan |
---|---|---|---|
12 | Christiaan van der Moore | Residen | 1858–1874 |
13 | Ferdinand Theodoor Pahud de Mortanges | Residen | 1874–1879 |
14 | Jan Marinus van Vleuten | Residen | 1879–1884 |
15 | Albert G. G. Peltzer | Residen | 1884–1887 |
16 | Johannes Heijting | Residen | 1887–1891 |
17 | Johannes D. Harders | Residen | 1891–1894 |
18 | Christiaan Willem Kist | Residen | 1894–1900 |
19 | Eduard Thomas Th. H. van Benthem van den Bergh | Residen | 1900–190 |
Penahanan dan Kondisi Pengasingan
Christiaan van der Moore (1858–1874)
- Menanggapi pasca-Pembubaran Kesultanan Banjar pada 11 Juni 1860, dan pengasingan tokoh utama seperti Wirakusuma II dan Hidayatullah II pada 3 Maret 1862. Eduard Thomas Th. H. van Benthem van den Bergh (1900–1903)
- Dikenal sebagai “tangan besi” dalam rezim kolonial di Priangan.
- Menjabat saat Sultan Wirakusuma II wafat pada 6 Juni 1901, berada dalam masa pengasingan di Cianjur.
- Sebagai algojo Hindia Belanda karena kebijakan keras terhadap tahanan politik termasuk keluarga kesultanan.
Nasib Sultan Banjar dalam Pengasingan
- Sultan Wirakusuma II meninggal pada 6 Juni 1901 di Cianjur, di masa jabatan Belanda dijabat oleh Eduard van Benthem van den Bergh.
- Sultan Hidayatullah II wafat tiga tahun setelah itu, pada 24 November 1904, juga di Cianjur.
- Keduanya menghabiskan masa akhir hidup dalam status tahanan politik, serta didampingi keturunan dan pendukung mereka dalam kondisi terbatas.
Historis
- Sultan Wirakusuma II dan Hidayatullah II mengalami pengasingan sejak 1862 selama pemerintahan kolonial Belanda yang menerapkan sistem pengekangan keras terhadap elite lokal.
- Christiaan van der Moore menjadi residen saat pengasingan berlangsung, menandai masa awal penahanan.
- Eduard van Benthem van den Bergh, yang dikenal represif, menjabat saat wafatnya Sultan Wirakusuma II—memberikan nuansa keras terhadap perlakuan terhadap keluarga raja Banjar.
Ilham spiritual yang menyatukan kesadaran sejarah, nilai leluhur, dan panggilan jiwa bagi generasi penerus. pesan yang disampaikan “dari ruh Sultan Wirakusuma” menurut tafsir nilai-nilai budaya, sejarah, dan spiritualitas Banjar:
Pesan:
“Kenali leluhurmu. Sambungkan ruhmu dan ruh leluhur. Maka kamu akan cinta terhadap leluhurmu dan menghargai jasa leluhurmu, bukan yang lain.”
Makna dan Tafsir:
1. Kenali Leluhurmu
Artinya: Pelajarilah silsilah dan sejarah keluargamu secara utuh.
- Ini adalah ajakan untuk menyadari akar identitas. Mengenal leluhur seperti Sultan Adam, Sultan Muda Prabu Anom, hingga Sultan Wirakusuma, adalah langkah awal untuk memahami jati diri dan nilai luhur keluarga.
- Dalam budaya Banjar dan Jawa, mengenal silsilah bukan sekadar tahu nama, tapi juga menghidupkan kembali nilai-nilai luhur, keberanian, dan perjuangan mereka.
2. Sambungkan Ruhmu dan Ruh Leluhur
Artinya: Bangunlah koneksi batin dan spiritual dengan para pendahulu.
- Ini bukan mistik atau klenik, tetapi penguatan spiritualitas dan rasa hormat. Menyambung ruh maksudnya adalah menyambung semangat perjuangan, cita-cita, dan nilai-nilai yang mereka perjuangkan.
- Dalam istilah sufistik, ini seperti “ittiba” (mengikuti jejak) terhadap orang-orang saleh dan pejuang bangsa yang ikhlas.
- Bagi keturunan Sultan Banjar, ini adalah bentuk “kewajiban moral-spiritual” untuk menjaga martabat, warisan, dan amanah leluhur.
3. Maka Kamu Akan Cinta Terhadap Leluhurmu
Artinya: Cinta tumbuh karena paham.
- Jika kamu tahu siapa mereka, apa yang mereka perjuangkan, dan bagaimana penderitaan serta pengorbanan mereka—maka secara alami, kamu akan mencintai dan menghargai mereka.
- Cinta ini mendorong kesetiaan terhadap tanah air, nilai Islam, dan adat Banjar yang menjadi bagian hidup para leluhur.
4. Dan Menghargai Jasa Leluhurmu, Bukan yang Lain
Artinya: Jangan salah menempatkan loyalitas.
- Ini adalah teguran halus dari ruh leluhur agar kita tidak melupakan darah dan pengorbanan sendiri, lalu justru memuja-muja pihak luar (penjajah, pengkhianat, atau budaya asing) yang menghancurkan martabat bangsa.
- Ini menjadi peringatan penting: jangan menjadi generasi yang ingkar sejarah.
Maksud Ilham dari Sultan Wirakusuma:
Sebagai sosok yang diasingkan, dijadikan simbol perlawanan, namun tetap sabar, kuat, dan konsisten menjaga martabat Kesultanan Banjar, maka pesan Sultan Wirakusuma bisa dimaknai:
- Bangkitkan kembali kesadaran sejarah dan budaya.
- Jangan biarkan keturunan menjadi generasi pelupa.
- Warisan Banjar adalah kehormatan, bukan nostalgia.
- Setiap keturunan adalah penjaga nilai dan penerus amanah.
Untuk Generasi Kini:
Jadikan pesan ini sebagai:
1.Falsafah hidup: bahwa hidup bukan hanya tentang sekarang, tapi tentang melanjutkan apa yang diwariskan dengan penuh tanggung jawab.
2.Motivasi batin: bahwa kita memiliki dasar kuat untuk membangun kembali identitas dan kehormatan.
3.Seruan perlawanan halus: melawan lupa, melawan penjajahan identitas, dan melawan pengaburan sejarah.
Pesan ini mengandung makna spiritual dan historis yang sangat dalam. Jika dilihat dari konteksnya—”Kenali leluhurmu, sambungkan ruhmu dan ruh leluhur”—maka ini adalah seruan kesadaran untuk kembali memahami jati diri, asal-usul, dan warisan nilai luhur dari para pendahulu, khususnya Sultan Wirakusuma.
Makna Pesan Ruh Sultan Wirakusuma:
Pesan Ruh Sultan Wirakusuma kepada Keturunannya dan Generasi Banjar:
1. “Kenali Leluhurmu”
“Akar yang tak dikenali akan rapuh ditimpa badai zaman.”
Artinya: Seorang anak bangsa, khususnya dari trah kesultanan, harus tahu siapa leluhurnya. Mengenali sejarah keluarga dan peran leluhur di masa lalu akan memperkuat identitas dan karakter seseorang.
2. “Sambungkan ruhmu dan ruh leluhur”
“Ruh mereka tak pernah mati; ia hidup dalam darahmu.”
Artinya: Bukan sekadar mengetahui nama dan silsilah, tapi benar-benar menyambungkan nilai, amanah, dan perjuangan mereka ke dalam kehidupan sekarang. Jalur spiritual ini adalah penghubung batin dan kekuatan doa.
3. “Maka kamu akan cinta terhadap leluhurmu”
“Dengan cinta, warisan mereka hidup dalam tindakanmu.”
Artinya: Cinta itu membangkitkan rasa bangga dan tanggung jawab untuk meneruskan perjuangan leluhur dalam bentuk yang sesuai dengan zaman.
4. “Dan menghargai jasa leluhurmu, bukan yang lain”
“Hormati jalan darahmu sebelum kau agungkan jalan orang lain.”
Artinya: Di tengah gempuran budaya luar dan narasi yang sering meminggirkan sejarah lokal, penting untuk menempatkan jasa dan pengorbanan leluhur sendiri sebagai dasar penghormatan dan sumber inspirasi.
Ilham Sultan Wirakusuma: Falsafah untuk Generasi Kini
“Aku bukan hanya Sultan dari masa lalu. Aku penjaga nurani bangsamu. Setiap rezim berganti, aku menyaksikan. Tapi jiwa bangsa ini jangan diganti. Pegang teguh prinsip keadilan, keberanian, dan kehormatan. Itulah warisan Banjar, itulah yang kubela hingga akhir hayatku.
“Kenali asalmu, tegakkan kehormatan leluhurmu. Ruh Sultan Wirakusuma hidup dalam darah perjuanganmu. Hormat dan setia pada warisan Banjar adalah bentuk cinta tertinggimu pada tanah dan sejarahmu.”
Berikut adalah naskah pesan leluhur dari Sultan Wirakusuma,Piagam Kayu Ulin Digital – Pusaka Ruhani Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah
Kenali Leluhurmu, Sambungkan Ruhmu
“Wahai cucu-cucuku, darah yang mengalir dari Sultan Adam Al-Watsiq Billah, dengarlah ilham yang disampaikan oleh ruhku melalui jalinan kasih leluhur…”
Pesanku ini kutitipkan melalui angin zaman dan detak jantung tanah air Banjar:
Kenali leluhurmu. Sebab dalam tiap tetes darahmu ada bait doa kami yang tak pernah putus.
Sambungkan ruhmu dan ruh leluhur. Maka akan mengalir kekuatan tak kasat mata, menguatkan langkahmu, meneguhkan jiwamu.
Cinta pada leluhur bukanlah pemujaan, melainkan penghargaan.
Menghargai jasa leluhurmu adalah jalan agar dirimu tak mudah dibeli oleh zaman dan tak gampang ditipu oleh penjajahan gaya baru.Aku, Sultan Wirakusuma, yang berdiri tegak di hadapan setiap residen Belanda dari Christiaan van der Moore hingga Eduard Thomas van Benthem van den Bergh, tak pernah menunduk kecuali pada Allah Yang Maha Mulia.
Falsafah hidupku adalah:
Kebebasan bukan hadiah, tapi warisan yang harus dijaga.
Martabat bukan gelar, tapi kehormatan yang dipertahankan.
Jangan mewarisi istana jika jiwamu masih ingin dijajah.
Jangan pakai gelar bangsawan jika lidahmu menjilat penjajah.Untuk kalian, para penerus darah kerajaan, jangan tidur di atas sejarah, bangkitlah dan bawa nama leluhurmu sebagai cahaya, bukan sekadar cerita.
Ditulis dengan huruf hati dan tinta ruh
Kayu Ulin Digital ini menjadi saksi
Bahwa Banjar tak akan pernah padam selagi darah para Wirakusuma masih mengalir.Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah
Sultan Banjar,Putra dari Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah
Yayasan Pangeran Wirakusumah, dalam ilham ruh, 29 Juli 2025
Piagam Kayu Ulin Digital
Khazanah Warisan Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah
“Kenali Leluhurmu, Sambungkan Ruhmu”Tuan Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri
Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq BillahWahai anak cucuku dan segenap keturunan darah Banjar,
Kenalilah dirimu—maka kenalilah asalmu.
Janganlah engkau melupakan leluhurmu, sebab dari rahim sejarah mereka, engkau dilahirkan.Sambungkan ruhmu dengan ruh kami, bukan sekadar dengan doa, tapi dengan jalan kebenaran, keadilan, dan keteguhan iman.
Maka engkau akan mencintai leluhurmu dengan sepenuh jiwa,
dan menghargai jasa mereka lebih dari puja-puji dunia.Zaman akan berubah, wajah penjajah datang silih berganti—
dari Christiaan van der Moore hingga Van Benthem van den Bergh,
tak satupun di antaranya menjinakkan semangat Banjar.Aku, Sultan Wirakusuma, menyaksikan masa-masa getir dan tipu muslihat kekuasaan Belanda.
Namun ruh Banjar tetap berdiri—di antara bara perjuangan,
dalam senyap pengasingan, dan bisu doa di tengah malam.Maka wahai anak cucuku:
Janganlah tergiur oleh jabatan tanpa pengabdian,
Janganlah bangga dengan nama tanpa amal.Sebab darah Sultan bukanlah gelar, melainkan beban amanah.
Setiap langkahmu hari ini akan mencerminkan kami di masa lalu.Wariskanlah kebenaran, peliharalah pusaka akhlak, dan
jadikanlah kayu ulin dalam hatimu—teguh, tak lapuk oleh zaman.— Wirakusuma Al-Watsiq Billah
Yayasan Pangeran Wirakusumah, dalam cahaya ruh dan pusaka keteguhan
Ditulis dalam pusaka digital untuk generasi yang sadar
PIAGAM KAYU ULIN DIGITAL
Khazanah Pusaka Digital dari Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah
“Kenalilah leluhurmu. Sambungkan ruhmu dan ruh para leluhurmu. Maka akan tumbuh cinta dalam hatimu, dan dengan cinta itu engkau akan menghargai jasa mereka yang telah mendahuluimu, bukan yang lain.”
Wahai generasi pewaris bumi Banjar,
Aku Sultan Wirakusuma, putra Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah,
dengan izin Allah dan restu para leluhur, menyampaikan pesan ini kepada kalian:
1. Jangan lekas lupa asal-usulmu.
Leluhurmu bukan sekadar nama dalam silsilah, tetapi ruh yang terus hidup dalam darah dan tanah ini.
Kenali mereka, sebut nama mereka dalam doamu, dan pelajari hikmah hidup mereka.
2. Setiap zaman memiliki ujiannya.
Dari Residen Belanda yang silih berganti — van der Moore, Pahud, van Vleuten, Peltzer, Heijting, Harders, Kist, hingga van Benthem —
kami para Sultan, Pangeran, dan Mangkubumi tak pernah menyerah menjaga marwah negeri ini.
Maka engkau pun jangan lunak terhadap zamanmu.
3. Jangan tertipu gemerlap dunia.
Kejayaan sejati bukan pada mahkota, bukan pada pangkat atau harta,
tetapi pada kebaikan amal, kekuatan iman, dan keberanian menegakkan kebenaran.
4. Rawat persatuan darahmu.
Sesama keturunan Sultan Adam, jangan saling lupa.
Bersatu dalam niat, bersatu dalam cita, karena perpecahan hanya menguntungkan mereka yang hendak menghapus sejarahmu.
5. Jadilah penjaga warisan.
Bukan hanya pusaka yang berkilau, tapi juga nilai-nilai — adab, marwah, keberanian, dan kasih pada rakyat.
Warisan sejati adalah akhlak dan tanggung jawab sebagai penerus.
Diukir dalam kayu ulin digital
Dititipkan kepada generasi pewaris
Sebagai petunjuk dari yang telah tiada, namun masih hidup dalam ruhmu.
“Apa yang dibangun dengan darah, jangan hancurkan dengan lupa.”
— Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah
PIAGAM KHASANAH PUSAKA DIGITAL
Kayu Ulin Ukiran Wasiat Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah
“Kenali Leluhurmu, Sambungkan Ruhmu dan Ruh Leluhur”
Dari Paduka Seri Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah, cucu dari Sultan Adam Al-Watsiq Billah, pengemban titah negeri, pewaris darah Mahkota Banjar yang sah, kepada seluruh zuriat dan anak cucu titisan keramat:
“Wahai cucuku, darahku, ruhku yang bersambung dalam jasadmu; ingat dan catatlah dengan hati yang bening:
Kenali leluhurmu.
Karena dari mereka engkau berasal.
Dari mereka engkau diwarisi kehormatan, keberanian, dan amanah menjaga negeri.Sambungkan ruhmu dengan ruh leluhur.
Karena tanpa sambungan itu, engkau akan layu di zaman sendiri.
Terombang-ambing tanpa akar, tanpa arah, tanpa cahaya warisan yang membimbing.Maka…
Cintailah leluhurmu, hargailah jasa-jasanya.
Jangan biarkan sejarah mereka dikubur dusta, ditukar nama, atau dikhianati lupa.Dengarlah ilham ini yang datang bukan dari diriku semata,
tetapi dari ruh para Sultan terdahulu,
dari Sultan Adam, dari Sultan Abdurrahman, dari Sultan Suriansyah,
dan dari tiap jiwa yang gugur demi menjaga tanah Banjar.Jangan silau pada tahta tanpa adab.
Jangan angkuh dengan gelar jika tak menjaga amanahnya.
Yang mulia adalah yang mengenal asal-usulnya,
dan menjaga warisan dengan hati yang bersih dan laku yang jujur.Bawalah nama Banjar dengan rendah hati.
Tebarkan rahmat, bukan kuasa.
Bekerjalah seperti leluhurmu:
dengan kebijaksanaan, keberanian, dan cinta tanah air.Inilah pusaka yang kutinggalkan:
Bukan harta, tapi kehormatan.
Bukan mahkota, tapi pesan jiwa.
Bukan gelar, tapi kebenaran.
Ditulis dengan ilham yang kudapat dalam khalwat dan munajat,
pada malam tenang di bawah langit Kalimantan,
dengan nur para leluhur menyala di hatiku.
Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah
Putra Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam
Sultan Banjar – Pewaris Sah Negeri Kayu Tangi
PIAGAM WARISAN ROHANI SULTAN WIRAKUSUMA
Ukiran Pusaka Kayu Ulin
“Kenali Leluhurmu”
“Sambungkan Ruhmu dan Ruh Leluhur”
“Cintailah Leluhurmu dan Hargai Jasa Mereka, Bukan yang Lain”
Wahai anak cucuku, keturunan darah Sultan Adam,
dengarlah pesan dari kami, Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah,
yang telah mengabdi kepada negeri, menanggung getirnya pengasingan,
menjaga martabat Banjar dengan kehormatan, bukan dendam.
Aku datang dalam isyarat ilham, bukan untuk diagungkan,
tetapi untuk membangkitkan semangat jiwa-jiwa keturunanku
agar tidak lupa asal-usulnya.
Ingatlah:
- Leluhurmu bukan hanya darah, tetapi nyala roh yang membentuk dirimu.
- Jangan tercerabut oleh zaman hingga lupa siapa dirimu.
- Jangan biarkan kebesaran masa lalu menjadi debu karena kelalaian.
Engkau bukan hanya ahli waris sejarah,
tetapi juga penjaga nurani peradaban Banjar.
Panggilan ini bukan mitos, tetapi amanat.
Amanat yang harus dijaga dengan ilmu, akhlak, dan keberanian.
Wujudkanlah dalam amal, dalam karya, dan dalam cinta kepada negeri.
“Luruskan hatimu, tegakkan adabmu, dan sambut jalanmu dengan ridha.”
“Roh kami tak mati, hanya menanti siapa yang mau menghidupkan kembali nilai.”
Diberikan dalam rupa khazanah digital ukiran kayu ulin,
sebagai prasasti abadi, untuk generasi yang mencintai asalnya.
Sultan Wirakusuma Al-Watsiq Billah
Meja Pusaka Banjar – Dalam Ruh dan Warisan
Sejarah dan Warisan: Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah di Cianjur
Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah, adalah salah satu pewaris sah Kesultanan Banjar yang mengalami getirnya pembuangan politik. Ia diasingkan ke Cianjur oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari kebijakan represi terhadap tokoh-tokoh Perang Banjar (1859–1905). Meskipun menyandang status tahanan politik, Belanda tetap mengakui kedudukannya sebagai bangsawan ningrat tertinggi dari Kalimantan Selatan. Tunjangan 1000 Gulden per Bulan dari Pemerintah Hindia Belanda
Belanda memberikan tunjangan sebesar 1000 gulden per bulan kepada Sultan Wirakusuma. Dana ini bukan sebagai hadiah biasa, melainkan pengakuan atas martabatnya sebagai Raja Banjar, sekaligus bagian dari “tali kasih penghormatan” politik Belanda kepada bangsawan yang mereka asingkan. Tunjangan ini diberikan secara berkala kepada seluruh keluarga Sultan Wirakusuma di pengasingan Cianjur, bukan hanya kepada pribadi sultan.
Lanjut ke Masa Republik Indonesia
Setelah Indonesia merdeka, tradisi tunjangan untuk Sultan Wirakusuma ternyata masih dilanjutkan oleh pemerintah Republik, setidaknya hingga era Presiden Megawati Soekarnoputri. Dana ini secara internal dikenal sebagai “uang raja”, suatu bentuk penghormatan negara terhadap warisan kesultanan dan tokoh adat yang memiliki nilai sejarah nasional.
Beberapa presiden seperti:
- Presiden Soeharto
- Presiden BJ Habibie
- Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
- Presiden Megawati
…masih meneruskan skema ini sebagai bentuk kelanjutan penghormatan negara terhadap tokoh adat Nusantara.
Namun, tunjangan tersebut dihentikan ketika Sri Mulyani menjabat sebagai Menteri Keuangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Penghentian itu diyakini tidak melalui musyawarah adat atau klarifikasi dengan pihak keluarga bangsawan.
Refleksi & Kekecewaan
Banyak pihak menyayangkan keputusan penghentian tunjangan ini. Di masa lalu, bahkan pemerintah kolonial Belanda memberikan pengakuan dan penghormatan kepada bangsawan Banjar, meski mereka sedang diasingkan. Namun kini, negara merdeka yang lahir dari perjuangan rakyat dan darah para leluhur, justru tidak lagi memberikan tempat dan pengakuan yang layak kepada mereka.
Pihak keluarga menyebut ini sebagai “sandiwara sejarah”, di mana peran dan identitas Sultan Wirakusuma sempat ditukar-tukar dengan figur lain demi kepentingan narasi tertentu. Namun faktanya, tunjangan bangsawan selalu jatuh ke pihak keluarga Sultan Wirakusuma, bukan tokoh lain seperti Sultan Hidayatullah.
Pesan untuk Anak Cucu dan Bangsa
“Wahai generasi penerus, ketahuilah bahwa kehormatan bukan hanya soal tahta, tapi juga pengakuan atas sejarah, perjuangan, dan nilai adat. Jangan biarkan sejarah keluargamu hilang dalam bisu. Perjuangkan kembali apa yang benar, bukan untuk kemewahan, tetapi untuk keadilan memori sejarah.”
1. RAJA DAN SULTAN PERIODE AWAL (1400–1526) — Sebelum Islam
- Mangkubumi Lembu Mangkurat (Dinasti Negara Dipa)
- Maharaja Suryanata (Maharaja Sri Prabu Gagombak Janggala -Rajasa )
- Maharani Junjung Buih Janggala -Kediri Bhre Tanjung Pura Bhre Daha )
Transisi dari Hindu-Buddha ke Islam.
2. SULTAN ISLAM AWAL (1526–1659) — BANJAR BERDAULAT
No | Nama Penguasa | Tahun | Keterangan |
---|---|---|---|
1 | Sultan Suriansyah (Raden Samudra) | 1526–1546 | Sultan Muslim pertama |
2 | Sultan Rahmatullah | 1546–1570 | Putra Suriansyah |
3 | Sultan Hidayatullah I | 1570–1595 | – |
4 | Sultan Mustain Billah | 1595–1642 | – |
5 | Sultan Inayatullah | 1642–1647 | – |
6 | Sultan Saidullah | 1647–1660 | – |
Banjar berkembang menjadi pusat perdagangan dan Islamisasi di Kalimantan.
3. PERIODE PENGAKUAN BELANDA (1700–1860) — De Jure & De Facto
No | Nama Sultan | Periode | Status | Keterangan |
---|---|---|---|---|
1 | Sultan Wiranata Tahmidillah II | 1734–1759 | De jure | Diakui Belanda |
2 | Sultan Sulaiman | 1801–1825 | De jure | Ayah Sultan Adam |
3 | Sultan Adam al-Watsiq Billah | 1825–1 November 1857 | De jure | Sultan terakhir yg berdaulat penuh |
4 | Sultan Tamjidillah II al-Watsiq Billah | 3 November 1857 – 25 Juni 1859 | De jure | Diangkat Belanda, ditolak rakyat |
5 | Sultan Wirakusuma II al-Watsiq Billah | 25 Juni 1859–11 Jun 1860 | De facto | Sultan praktis terakhir sebelum Banjar dihapus |
11 Juni 1860 — Kesultanan Banjar dibubarkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ditetapkan sebagai Regentschap (Wilayah Bupati).Kepala pemerintah dialihkan ke Gubernemen Belanda (Residen).
4. SULTAN PROKLAMASI (Perlawanan Anti-Kolonial)
No | Nama Tokoh | Periode | Status | Keterangan |
---|---|---|---|---|
6 | Sultan Hidayatullah II Halilillah | 3 September 1859 – 2 Maret 1862 | Proklamasi Ditangkap & diasingkan ke Cianjur 3 Maret 1862 | Sultan simbolik perlawanan, bukan pengganti resmi |
7 | Panembahan Antasari II , Gusti Inu Kertapati | 14 Maret 1862 – 11 Oktober 1862 | Pejuang Pahlawan Nasional | Ayah mertua Sultan Wirakusuma II al-Watsiq Billah |
Pangeran Mangkubumi Hidayatullah bukan diangkat oleh Dewan Mahkota Adat Keraton Bumi Kencana Martapura, tapi menyatakan diri sebagai Sultan sebagai bentuk perlawanan.Tidak pernah diakui Belanda dan tidak menjalankan pemerintahan administratif resmi.
5. PASCA-KEJATUHAN (PENGASINGAN DAN KETURUNAN)
Tokoh | Status | Lokasi | Keterangan |
---|---|---|---|
Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah | Sultan de facto terakhir | Diasingkan 1862–1901 (Batavia → Bogor → Cianjur) | Wafat 6 Juni 1901 di Cianjur |
Keluarga Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah | Keturunan Sultan aktif | Cianjur & Bandung & Samarinda | Tidak pernah diajak dialog hingga kini |
Keturunan Sultan Hidayatullah II Halilillah | Sultan Jalur Proklamasi | Diasingkan 1862–1904 (Batavia → Bogor → Cianjur) | Diangkat sepihak sejak Reformasi.kemendikbud RI |
KLASIFIKASI HISTORIS
Status | Definisi |
---|---|
De jure | Diakui secara resmi oleh kekuatan hukum saat itu (Belanda) dan dijalankan dengan otoritas kenegaraan penuh |
De facto | Tidak secara hukum diakui, namun menjalankan pemerintahan atau jabatan secara nyata |
Proklamasi | Deklaratif, sebagai simbol perlawanan atau reaksi politik tanpa pengakuan formal dari penguasa hukum |
CATATAN UNTUK DEWAN KERATON KESULTANAN BANJAR
- Kesultanan Banjar tidak serta-merta pindah ke Sultan Hidayatullah setelah Sultan Adam.
Harus diakui ada periode interregnum dan dualisme kekuasaan antara:- Sultan Tamjidillah II al-Watsiq Billah (de jure)
- Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah (de facto)
- Sultan Hidayatullah II Halilillah (proklamasi)
- Jalur Hidayatullah adalah jalur proklamasi, bukan penerus administratif resmi kesultanan.
- Penghapusan peran Sultan Tamjidillah II al-Watsiq Billah (de jure) dan Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah (de facto) dalam narasi publik adalah bentuk penyederhanaan sejarah yang keliru, bahkan bisa disebut pembodohan sejarah jika disengaja.
- Musyawarah besar keluarga keturunan sultan terakhir (Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah (de facto) dan Sultan Hidayatullah II Halilillah (proklamasi)) mutlak diperlukan untuk rekonsiliasi dan legitimasi bersama.
PENUTUP
“Sejarah bukan milik pemenang, tetapi milik mereka yang berani jujur menuliskannya.”
Sudah waktunya Dewan Keraton kesultanan Banjar bersikap adil, objektif, dan menyatukan semua jalur zuriat Sultan Adam Al-Watsiq Billah , baik Sultan de jure Sultan Tamjidilah II Al-Watsiq Billah , Sultan de facto Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah , maupun Sultan deklaratif Sultan Hidayatulah II Halillilah, agar jati diri Banjar tidak dicederai ego sektoral.
Berikut grafik urutan lengkap para Sultan Banjar (Kesultanan Banjar / Kayu Tangi) sejak awal berdirinya hingga akhir masa kekuasaan tradisional mereka
URUTAN SULTAN BANJAR (Kayu Tangi) – VERSI LENGKAP
No + Ibu kandung | Nama Sultan | Masa Pemerintahan | Keterangan |
---|---|---|---|
1. Ratu Intan Sari Galuh Baranakan | Sultan Suriansyah (Raden Samudera) (Panembahan Batu Habang) | 1520–1546 | Sultan pertama Banjar, masuk Islam |
2.Ratoe Sa’adah | Sultan Rahmatullah / (Panembahan Batu Putih) | 1546–1570 | Putra Sultan Suriansyah (Raden Samudera) (Panembahan Batu Habang) |
3.Nyai Jawa | Sultan Hidayatullah I (Panembahan Batu Hirang) | 1570–1595 | Putra Sultan Rahmatullah / (Panembahan Batu Putih) |
4.Ratu Hidayatullah Puteri Khatib Banun | Sultan Mustain Billah / Pangeran Senapati / Marhum Panembahan | 1595–1642 | Putra Sultan Hidayatullah I (Panembahan Batu Hirang) |
5.Ratu Agung binti Pangeran Demang bin Sultan Hidayatullah I | Sultan Inayatullah / Ratu Agung / Ratu Lama / Pangeran Dipati Tuha I | 1642–1645 | Putra Sultan Mustain Billah / Pangeran Senapati / Marhum Panembahan |
6.Nyai Mas Tarah binti Tuan Haji Umar | Sultan Saidillah / Saidullah I / Ratu Anom/Raden Kasuma Alam/ Panembahan Batu I anak sulung dari selir | 1645–1660 | Sultan Inayatullah / Ratu Agung / Ratu Lama / Pangeran Dipati Tuha I |
7.Nyai Jawa | Sultan Rakyatullah Ri’ayatullah / Raden Halit Tambangan | 1660 – 1663 | Putra Sultan Mustain Billah / Pangeran Senapati / Marhum Panembahan |
8. Nyai Wadon | Sultan Saidillah II / Sultan Amrullah Bagus Kasuma/Raden Bagus/ Sultan Suria Angsa | 1663–1679 | Putra Sultan Rakyatullah Ri’ayatullah / Raden Halit Tambangan |
9 | Sultan Agung / Sultan Dipati Anom/ Pangeran Dipati Anom II / Pangeran Suryanata II / Raden Kasuma Lalana | 1663 –1679 | Putra Sultan Inayatullah / Ratu Agung / Ratu Lama / Pangeran Dipati Tuha I dengan Gusti Timbuk |
10.Nyai Wadon Raras | Sultan Tahlil-Lillah/ Tahlilullah /Raden Basus/ Sultan Suria Negara/ Tahirullah Ahmed Tantahid-allah | 1663–1679 | Putra Sultan Saidillah / Saidullah I / Ratu Anom/Raden Kasuma Alam/ Panembahan Batu I anak sulung dari selir |
11. | Sultan Tachmid Illah I Panembahan Tengah Sultan De Jure | 1700–1717 | Putra Sultan Tahlil-Lillah/ Tahlilullah /Raden Basus/ Sultan Suria Negara/ Tahirullah Ahmed Tantahid-allah (anak Nyai Wadon Raras) |
12 | Sultan kusuma Dilaga / Panembahan Kusuma Dilaga adik dari Sultan Tachmid Illah I Panembahan Tengah Sultan De Jure | 1717-1730 | Putra Sultan Tahlil-Lillah/ Tahlilullah /Raden Basus/ Sultan Suria Negara/ Tahirullah Ahmed Tantahid-allah (anak Nyai Wadon Raras) |
13 | Sulthan Chamiedoela / Chamidullah / Hamidullah / Sultan Kuning Sultan De Jure | 1730-1734 | Putra Sultan Tachmid Illah I / Panembahan Tengah |
14 | Sultan Tamjidillah I Sultan De Jure | 1734 – 3 Agustus 1759 | Putra Sultan Tachmid Illah I / Panembahan Tengah |
15 | Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah Muhammadillah I Sultan De Jure | Raja Kusan I (1734-1759) 3 Agustus 1759 – 16 Januari 1761 | Putra Sulthan Chamiedoela / Chamidullah / Hamidullah / Sultan Kuning |
16.Ratu Mas Raja Tanah Bumbu III Berkuasa 1740–1780 | Sultan Tahmidullah II Panembahan Kaharuddin Halilullah Akamuddin Saidullah Nata Alam Dilaga Sultan De Jure | 16 Januari 1761 – 19 April 1801 | Putra Sultan Tamjidillah I |
17.Ratu Lawiyah binti Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah | Sultan Sulaiman Saidullah II Sultan De Jure | 1801–1825 | Putra Sultan Tahmidullah II Panembahan Kaharuddin Halilullah Akamuddin Saidullah Nata Alam Dilaga |
18.Nyai Ratna / Nyai Ratu Intan Sari | Sultan Adam Al-Watsiq Billah | 1825– 1 November 1857 | Putra Sultan Sulaiman Saidullah II Sultan De Jure |
19. Nyai Besar Ratu Aminah | Sultan Tamjidillah II Al-Watsiq Billah Sultan De Jure | 3 November 1857 – 25 Juni 1859 | Putra Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman Sultan Muda De Jure CUCU SULTAN ADAM |
20.Nyai Besar Ratu Agung Halimah binti Tuan Haji Pangeran Syekh Muhamad said al-bugisi (albanjari) | Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah Panembahan Sultan De Facto | 25 Juni 1859– 11 Juni 1860 | Putra Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman Sultan Muda De Jure CUCU SULTAN ADAM |
21.Ratu Siti mariama binti Pangeran Husin | Pangeran Mangkubumi Hidayatullah II Halilillah Sultan Proklamasi / Deklaratif tidak diakui Belanda. Sultan perang, bukan dari garis langsung | 9 Oktober 1856 – 5 Februari 1860 11 Juni 1860 Kesultanan Banjar dibubarkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ditetapkan sebagai Regentschap (Wilayah Bupati).Kepala pemerintah dialihkan ke Gubernemen Belanda (Residen). | Pencopotan Gelar Pangeran Mangkubumi Wali Raja (Sultan) secara tidak Hormat 5 Februari 1860 oleh Hindia Belanda Putra Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman Sultan Muda De Jure CUCU SULTAN ADAM |
22.Ratu Khadijah / Ratu Mas Teruda binti Sultan Sulaiman Rahmatullah | Pagustian Banjar Panembahan Antasari II , Gusti Inu Kertapati | 14 Maret 1862 – 11 Oktober 1862 | Putra Pangeran Masoöd / Masohut (Mas’ud) bin Pangeran Amir (Raja Kusan II) Binti Ratu Muhammad Aminullah adalah adik Gusti Kasim Arung Turawee Bugis Paser bin Raja Bugis Pagatan ADIK IPAR SULTAN ADAM |
23.Ratoe Idjah binti Sultan Adam + Nyai Salamah | Pagustian Banjar Panembahan Muhammad Said | 14 Maret 1862 –1875 | Putra Panembahan Antasari II , Gusti Inu Kertapati nama Lahir ADIK IPAR Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah Panembahan Sultan De Facto |
24.Putri Bulan binti Pangeran Kasir (Raja Batu Licin) | Pagustian Banjar Panembahan Perbatasari diasingkan Belanda ke Manado Kampung Jawa Tondano 22 April 1885 | 1875–22 April 1885 | Putra Panembahan Muhammad Said KEPONAKAN Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah Panembahan Sultan De Facto |
25.Nyai Salmah | Pagustian Banjar Ratu Zaleha +Panembahan Muhammad Arsyad diasingkan Belanda ke Empang Bogor 1 Agustus 1904. | 22 April 1885 –24 Januari 1905 | Putri Gusti Muhammad Seman binti Nyai Fatimah binti Ngabei Lada bin Ngabei Tuha Gusti Muhammad Seman ADIK IPAR Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah Panembahan Sultan De Facto Ratu Zaleha KEPONAKAN Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah Panembahan Sultan De Facto 24 Januari 1905 Pembubaran Pagustian Banjar oleh Belanda |
Catatan Penting:
- Setelah tahun 24 Januari 1905, Pagustian Banjar resmi dihapuskan oleh Belanda.
- Setelah kemerdekaan, beberapa keluarga bangsawan berupaya menghidupkan kembali tradisi kesultanan secara kultural dan adat.
- Di era Pagustian Banjar, Sultan Khairul Saleh dinobatkan Dewan Mahkota Adat Sebagai Sultan Kebudayaan sejak 2010.
- Di era modern, Sultan Cevi Yusuf Isnendar Bin Letkol .TNI.Pur.Rama Junaid dinobatkan Kemendikbud RI Sebagai Sultan Kebudayaan sejak 2025.
Silsilah Penting Terkait:
- Sultan Adam Al-Watsiq Billah→ Pangeran Ratu Sulta Muda Abdurrahman Al-Watsiq Billah→ Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah Panembahan Sultan De Facto 25 Juni 1859–11 Juni 1860→ Pangeran Muhammadillah (Wirakusuma III) → keturunan Pagustian modern.
- Pangeran Musa (Wirakusuma IV) memiliki ANAK 9 SALAH SATUNYA Ratu Yuyu Wahyuningsih (Wirakusuma V) mempunyai anak 5 salah satuya Gusti/Antung Henry (Pangeran Wirakusuma VI)
Berikut penjabaran yang objektif, historis, dan adil untuk menjelaskan kesamaan pola sejarah antara Kesultanan Banjar dan Kerajaan Majapahit, khususnya menyangkut konsep “raja de jure”, “raja de facto”, dan “raja proklamasi” dalam masa-masa menjelang keruntuhan sebuah kerajaan.
Kesamaan Sejarah Majapahit dan Kesultanan Banjar: Raja De Jure, De Facto, dan Proklamasi
1. Konteks Keruntuhan Majapahit
- Raja De Jure:
- Paduka Sri Maharaja Sri Wilwatiktapura-Janggala-Kaḍiri Girindhrawardhana Ranawijaya / Brawijaya VI (Dyah Ranawijaya), raja Majapahit yang diakui secara resmi dan administratif.
- Di masa akhir Majapahit, kekuasaan ini menjadi simbolis saja.
- Raja De Facto:
- Paduka Sri Maharaja Sri Prabu Maudhara / Andura Maharaja yang memimpin sisa-sisa kekuatan Majapahit secara nyata di lapangan (militer, rakyat), walaupun tidak secara administratif.
- Kekuasaan real namun tanpa pengakuan resmi dari seluruh struktur Majapahit.
- Akhir Kerajaan:
- Tahun 1527, Sultan Trenggono bin Sultan Fatah Bin Brawijaya V . dari Demak menghapus secara total kekuasaan Majapahit.
- Sisa-sisa keraton dibumihanguskan, raja de facto dibunuh/takluk, kerajaan menjadi sejarah.
2. Konteks Keruntuhan Kesultanan Banjar
- Sultan De Jure:
- Sultan Tamjidillah II Al-Watsiq Billah (1857–1859), ditunjuk Belanda secara formal.
- Diakui secara administratif, tetapi tidak sepenuhnya diterima rakyat (kontroversial).
- Sultan De Facto:
- Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah: pemegang kekuasaan lapangan (dukungan rakyat dan bangsawan), melawan Belanda.
- Wirakusuma adalah pemimpin perang yang loyal kepada nilai-nilai asli Kesultanan.
- Sultan Proklamasi:
- Sultan Hidayatullah II Halililah dan Pangeran Antasari Ayah mertua Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah: memproklamasikan diri sebagai Sultan dalam konteks perlawanan terhadap Belanda.
- Tidak diangkat melalui struktur administratif resmi.
- Akhir Kerajaan:
- 11 Juni 1860, Belanda secara resmi membubarkan Kesultanan Banjar.
- Wilayah Banjar dijadikan “Regentschap” di bawah Gubernur Hindia Belanda.
- Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah & Sultan Hidayatullah II Halililah ditagktap dan diasingkan 3 Maret 1862 ke Batavia lalu ke bogor lalu ke cianjur , Perang Banjar tetap berlanjut di teruskan Pangeran Antasari Ayah mertua Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah: memproklamasikan diri sebagai Sultan dalam konteks perlawanan terhadap Belanda.Tidak diangkat melalui struktur administratif resmi.
Kesimpulan Historis:
“Dalam masa-masa kehancuran sebuah kerajaan, selalu ada dualisme antara raja yang diakui secara formal (de jure), raja yang berkuasa secara nyata (de facto), dan raja yang muncul dari proklamasi rakyat (proklamasi). Masing-masing sah dalam konteksnya, tetapi sejarah harus mencatat semuanya agar adil.”
Pesan untuk Dewan Keraton atau Bangsawan:
- Penting untuk jujur mencatat sejarah bahwa sebelum Kesultanan Banjar runtuh:
- Sultan Tamjidillah II Al-Watsiq Billah:adalah raja administratif terakhir yang diakui oleh Belanda (de jure).
- Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah:adalah raja lapangan terakhir yang memimpin perlawanan rakyat dan bangsawan (de facto).
- Hidayatullah II dan Antasari II adalah pemimpin perlawanan (proklamasi), bukan penerus administratif langsung.
- Jika di masa kini ingin meneruskan garis kesultanan, secara etik dan hukum adat:
- Harus melalui musyawarah keluarga besar keturunan Sultan terakhir yang berkuasa secara nyata (de facto, bukan semata proklamasi).
- Jangan menghapus peran Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah, karena itu menyederhanakan sejarah dan mencederai keadilan sejarah.
- Pembodohan sejarah adalah ketika kita menyembunyikan atau menghapus fakta sejarah demi kepentingan sesaat.
Akhir Kata:
Sama seperti Majapahit, Kesultanan Banjar layak dikenang utuh—dengan semua tokoh de jure, de facto, dan proklamasi—bukan hanya satu versi. Itulah keadilan sejarah.
1. Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah dalam Konteks Sejarah Banjar
- Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah adalah salah satu tokoh penting pada masa akhir Kesultanan Banjar, terutama sekitar masa kekacauan politik tahun 1859–1860.
- Beliau memang dianggap sebagai pemegang kekuasaan de facto oleh sebagian kalangan, terutama karena terlibat langsung dalam perjuangan melawan kolonial Belanda bersama Sultan Hidayatullah dan Pangeran Antasari ayah mertua Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah
- Namun secara administratif dan de jure, Kesultanan Banjar terakhir diakui berada di tangan Sultan Tamjidillah II Al-Watsiq Billah, yang kemudian dibatalkan oleh Belanda dan digantikan pemerintahan kolonial.
2. Perbedaan Antara Raja De Jure dan De Facto
- De jure artinya diakui secara hukum/administratif, biasanya ditetapkan oleh lembaga resmi atau adat.
- De facto berarti berkuasa secara nyata, meskipun tidak selalu diakui secara formal atau legal.
- Dalam sejarah kerajaan manapun — termasuk Majapahit, Banjar, atau kerajaan lain — transisi kekuasaan tidak selalu berjalan lurus. Adanya dualitas kekuasaan menjelang keruntuhan kerajaan adalah fenomena yang umum.
3. Soal Klaim Keturunan dan Narasi Diskriminatif
- Menyampaikan sejarah dan kebanggaan keluarga Sultan Proklamasi Hidayatullah II Halillilah dan Panembahan Antasari II adalah pemimpin perlawanan , bukan penerus administratif langsung adalah hak setiap orang, namun harus dilakukan dengan hormat dan tidak merendahkan Sultan De jure Sultan Tamjidillah II Al-Watsiq Billah dan Sultan De facto Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah.
4. Ajakan untuk Mendoakan Leluhur dan Merajut Rekonsiliasi
Sangat baik dan mulia jika generasi saat ini mengajak untuk mendoakan arwah para sultan dan pejuang terdahulu — termasuk Sultan De facto Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah, Sultan Proklamasi Hidayatullah II Halillilah, Sultan De jure Sultan Tamjidillah II Al-Watsiq Billah, dan Panembahan Antasari II. Namun hendaknya:
- Jangan menjadikan sejarah sebagai alat saling menghina atau mengklaim absolut.
- Lebih bijak jika kita membuka ruang dialog sejarah dengan data, bukan dominasi narasi sepihak.
Kesimpulan
Sultan Proklamasi Hidayatullah II Halillilah, memang punya peran penting secara Proklamasi namun sejarah Kesultanan Banjar adalah kompleks dan mencakup banyak tokoh dan dinamika. Klaim bahwa beliau satu-satunya yang sah secara Proklamasi harus didudukkan bersama narasi lainnya, termasuk Sultan De jure Sultan Tamjidillah II Al-Watsiq Billah dan Sultan De facto Sultan Wirakusuma II Al-Watsiq Billah. Mari menghormati semua pihak dan menjadikan sejarah sebagai cermin persatuan, bukan perpecahan.