“Mengungkap Jejak Prasasti Pamintihan: Dari Bauwerna ke Baureno, Penanda Batas Majapahit di Gunung Pandan”

Prasasti Pamintihan peninggalan Sri Maharaja Singhawikramawardhana Dyah Suraprabhawa (1466–1474) menjadi saksi penting sejarah akhir Majapahit. Ditemukan di Baureno, Bojonegoro—dahulu disebut Bauwerna—prasasti ini menandai batas wilayah antara Jenggala dan Panjalu di lereng strategis Gunung Pandan. Perubahan toponim dari Bauwerna menjadi Baureno mencerminkan perjalanan panjang sejarah dan budaya Jawa Timur, sekaligus mengungkap peran Gunung Pandan sebagai penjaga keutuhan Majapahit.
Kata Pengantar
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penelusuran sejarah Prasasti Pamintihan ini dapat tersusun. Prasasti Pamintihan yang dikeluarkan oleh Sri Maharaja Singhawikramawardhana Dyah Suraprabhawa pada tahun 1473 M bukan hanya menjadi peninggalan berharga dari masa akhir Majapahit, tetapi juga penanda penting batas wilayah antara Jenggala dan Panjalu.
Ditemukan di Baureno, Bojonegoro—yang dahulu dikenal dengan nama Bauwerna—prasasti ini menyimpan cerita tentang perubahan toponim, perjalanan budaya, dan peran strategis Gunung Pandan dalam mempertahankan keutuhan Majapahit. Melalui kajian ini, diharapkan pembaca dapat lebih mengenal, memahami, dan menghargai kekayaan sejarah yang menjadi identitas bangsa.
Kami menyadari bahwa kajian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi penyempurnaan di masa mendatang. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembelajar sejarah, peneliti, dan masyarakat umum yang ingin mengenal lebih dekat warisan budaya Jawa Timur.
Pendahuluan
Sejarah Majapahit pada paruh akhir abad ke-15 M menyimpan banyak kisah tentang pergolakan politik, perebutan kekuasaan, dan penanda batas wilayah yang menjadi saksi perpecahan kerajaan. Salah satu peninggalan penting dari masa ini adalah Prasasti Pamintihan, yang dikeluarkan pada tahun 1473 M oleh Sri Maharaja Singhawikramawardhana Dyah Suraprabhawa, raja Majapahit yang memerintah pada 1466–1474 M.
Nama Pamintihan berasal dari bahasa Kawi intiha yang berarti “batas” atau “perbatasan”, sehingga keberadaan prasasti ini erat kaitannya dengan penentuan batas wilayah antara dua bagian utama Majapahit, yakni Jenggala dan Panjalu (Kediri). Penemuan prasasti ini di Baureno, Bojonegoro—dahulu disebut Bauwerna—menguatkan bukti bahwa wilayah ini menjadi titik strategis di lereng Gunung Pandan sebagai garis pertahanan dan pemisah wilayah kerajaan.
Perubahan toponim dari Bauwerna menjadi Brawardhana, lalu menjadi Bowerno hingga nama modern Baureno, mencerminkan perjalanan panjang budaya dan sejarah setempat. Penelitian terhadap prasasti ini tidak hanya mengungkap data administratif Majapahit akhir, tetapi juga menyajikan gambaran tentang hubungan geografis, politik, dan sosial di masa runtuhnya kerajaan Hindu terbesar di Jawa.
Melalui kajian ini, diharapkan pembaca dapat memahami konteks historis Prasasti Pamintihan, arti pentingnya dalam peta politik Majapahit, dan relevansinya terhadap identitas sejarah Jawa Timur masa kini.
Sinopsis
Prasasti Pamintihan, yang dikeluarkan pada tahun 1473 M oleh Sri Maharaja Singhawikramawardhana Dyah Suraprabhawa, merupakan salah satu bukti penting sejarah akhir Majapahit. Berasal dari kata Kawi intiha yang berarti “batas”, prasasti ini menandai perbatasan strategis antara wilayah Jenggala dan Panjalu.
Ditemukan di Baureno, Bojonegoro—dahulu dikenal sebagai Bauwerna—prasasti ini berada di lereng Gunung Pandan, kawasan yang memegang peranan penting dalam menjaga keutuhan wilayah kerajaan. Perubahan nama dari Bauwerna menjadi Brawardhana, lalu Bowerno, hingga Baureno, mencerminkan perjalanan panjang sejarah dan budaya setempat.
Kajian ini mengupas latar belakang dikeluarkannya Prasasti Pamintihan, peran strategis wilayah penemuannya, serta hubungannya dengan dinamika politik pada masa Suraprabhawa. Melalui penelusuran toponim, sumber sejarah, dan konteks geopolitik, pembaca diajak memahami makna prasasti ini bagi Majapahit dan warisan sejarah Jawa Timur.

Sri Adi Suraprabhawa Singha wikrama wardhana Giri pati Pasutabhupati Ketubhuta
Maharaja Majapahit ke-10
Masa berkuasa: 1466–1468
Pendahulu: Giri shawardhana
Penerus: Bhre Kertabhumi BRAWIJAYA V
Wafat: sekitar 1474
Asal-usul
- Nama lahir: Dyah Suraprabhawa
- Anak ke-3 Dyah Kertawijaya (Wijayaparakramawardhana) dan Jayawardhani Dyah Jayeswari (Bhre Daha).
- Identik dengan Bhre Pandansalas dalam naskah Pararaton.
- Istri: Rajasa wardhanadewi Dyah Sripura (Bhre Singhapura).
- Anak: Dyah Wijayakarana dan Dyah Ranawijaya.
Pemerintahan
- Muncul dalam Prasasti Waringin Pitu (1447) sebagai pangeran.
- Menjadi raja Majapahit tahun 1466.
- Peninggalan penting: Prasasti Pamintihan (1473).
- Masa pemerintahannya singkat (± 2 tahun).
Akhir Kekuasaan
- Tahun 1468, ia digulingkan melalui kudeta oleh keponakannya, enerus: Bhre Kertabhumi BRAWIJAYA V.
- Periode ini menandai masa-masa kemunduran Majapahit menjelang keruntuhan.
Akhir Riwayat Kerajaan Majapahit (versi Pararaton & tafsir sejarawan)
1. Latar Belakang
- 1466 M – Giri sawardhana wafat. Takhta Majapahit diwariskan kepada Singhawikramawardhana Dyah Suraprabhawa (adik Giri sawardhana).
- Suraprabhawa dikenal juga sebagai Bhre Pandansalas.
2. Pemberontakan Anak-Anak Sang Sinagara (versi Pararaton & Ibu Nia K.S. Irfan)
- Anak-anak Rajasa wardhana Sang Sinagara:
- Bhre Kahuripan Sang Munggwin Jinggan
- Bhre Mataram Dyah Wijayakusuma
- Bhre Lasem (?)
- Bhre Pamotan
- Bhre Kertabhumi BRAWIJAYA V. Dyah Ranawijaya (bungsu)
- Mereka kecewa atas penunjukan Suraprabhawa, lalu minggat dari istana (1468 M) dan membangun benteng di Jinggan.
- 1478 M – Dengan bantuan Sri Brahmaraja Ganggadhara, mereka menyerang istana. Suraprabhawa gugur.
- Setelah itu, Bhre Mataram menjadi raja bergelar Sri Maharaja Bhatara Kling Girindrawarddhana Dyah Wijayakusuma Sri Singhawarddhana, memindahkan ibu kota ke Keling/Daha/Kediri.
3. Tafsir Hasan Djafar
- Menurut Hasan Djafar, yang pergi dari istana adalah Suraprabhawa (bukan anak-anak Sang Sinagara).
- 1468 M – Suraprabhawa digulingkan oleh pamannya, Bhre Kertabhumi BRAWIJAYA V.
- Suraprabhawa pindah ke Daha, berjuluk Bhatara ring Dahanapura.
- 1473 M – Mengeluarkan Prasasti Pamintihan, mengklaim sebagai satu-satunya raja agung.
- 1474 M – Wafat, digantikan putranya Dyah Ranawijaya.
- Ranawijaya menyerang Majapahit, menewaskan Bhre Kertabhumi BRAWIJAYA V. di istana.
4. Perbedaan Kunci Versi
Versi | 1468 M | 1478 M | Akhir Suraprabhawa |
---|---|---|---|
Nia K.S. Irfan | Anak-anak Sang Sinagara keluar dari istana | Serang istana & gugurkan Suraprabhawa | Gugur 1478 di istana |
Hasan Djafar | Suraprabhawa diusir oleh Bhre Kretabhumi | Tidak relevan (konflik sebelumnya) | Wafat di Daha 1474 |
Kalau disarikan, bagian kematian Suraprabhawa ini kira-kira seperti ini:
Kematian Suraprabhawa
- Pararaton:
- Tidak menyebutkan tanggal pasti kematian.
- Hanya menyebut Suraprabhawa (Bhre Pandansalas) meninggal di dalam keraton.
- Disebut sebagai paman Bhre Kertabhumi.
- Prasasti Trailokyapuri (dikeluarkan putranya Girindrawardhana Dyah Ranawijaya):
- Menyebut Suraprabhawa wafat 1474 M.
- Girindrawardhana kemudian menjadi raja Majapahit tahun 1474, mengklaim sebagai pewaris sah Singhawikramawardhana.
- Makna Gelar:
- Dalam gelar abhiseka Suraprabhawa ada unsur Giripati, setara makna dengan Girindra (“raja gunung”), menguatkan klaim pewarisan oleh Ranawijaya.

Ini adalah timeline visual yang merangkum peristiwa penting akhir Majapahit dari masa Suraprabhawa hingga serangan Ranawijaya tahun 1478.

Timeline Dyah Suraprabhawa / Singhawikramawardhana
(Bhre Pandansalas – Raja Majapahit ke-10)
1430 – 1447
Bhre Pandansalas ke-3
Menggantikan Raden Jagulu (Bhre Pandansalas II).
1447 – 1466
Bhre Tumapel ke-4
Namanya tercatat dalam Prasasti Waringin Pitu (putra ketiga Kertawijaya).
1466
Naik takhta sebagai Maharaja Majapahit ke-10
Gelar: Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta.
1468
Kudeta oleh Bhre Kertabhumi
Menurut Pararaton, ia terusir setelah 2 tahun berkuasa. Versi lain: ia pindah ke Daha (Dahanapura).
1473
Prasasti Pamintihan
Mengklaim sebagai satu-satunya Raja Agung Wilwatikta.
1474
Wafat di Dahanapura (Kediri)
Berdasarkan Prasasti Trailokyapuri, wafat sebagai Bhatara ring Dahanapura. Digantikan putranya, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.
1478
Serangan ke Kedaton Majapahit
Ranawijaya menyerang dan membunuh Bhre Kertabhumi, menandai keruntuhan Majapahit pusat.
1430 ── Bhre Pandansalas III
(Suraprabhawa)
1447 ── Bhre Tumapel IV
1466 ── Raja Majapahit X
1468 ── Kudeta Bhre Kertabhumi
1473 ── Prasasti Pamintihan
1474 ── Wafat di Dahanapura
1478 ── Ranawijaya serang Kedaton

Baik, saya akan merangkum dan menjelaskan isi cerita tentang Dyah Suraprabhawa atau Bhre Pandansalas ini supaya lebih jelas dan mudah dipahami.
Dyah Suraprabhawa / Bhre Pandansalas
- Masa pemerintahan: 1466–1474
- Gelar lengkap: Sri Adi Suraprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta.
- Identitas: Disebut sebagai Bhre Pandansalas dalam Pararaton.
- Pusat pemerintahan: Karaton di Tumapel.
- Istri: Rajasawardhanadewi Dyah Sripura (Bhre Singhapura).
- Ayah: Dyah Kertawijaya (Raja Majapahit sebelumnya).
Latar belakang Bhre Pandansalas
- Nama Bhre Pandansalas pernah dipakai oleh beberapa orang dalam sejarah Majapahit.
- Salah satunya adalah Raden Sumirat, putra Raden Sotor (saudara tiri Hayam Wuruk), yang menikah dengan Surawardhani (adik Wikramawardana).
- Namun, Bhre Pandansalas yang menjadi raja Majapahit pada 1466 diyakini adalah Dyah Suraprabhawa, anak bungsu Kertawijaya.
Konflik dengan keponakan
- Tahun 1468, empat putra Sang Sinagara (Rajasawardhana) meninggalkan istana karena kecewa Suraprabhawa naik takhta:
- Bhre Kahuripan VII Samarawijaya (Sang Munggwing Jinggan).
- Bhre Mataram V Wijayakarana.
- Bhre Pamotan II Wijayakusuma.
- Bhre Kertabhumi Ranawijaya (kelak Raja Majapahit).
- Mereka menyingkir ke Jinggan (antara Mojokerto dan Surabaya) untuk mengumpulkan kekuatan.
Akhir pemerintahan
- Suraprabhawa tercatat dalam Prasasti Waringin Pitu (1447) dan mengeluarkan Prasasti Pamintihan (1473).
- Menurut Prasasti Trailokyapuri (dikeluarkan oleh Girisawardhana Dyah Ranawijaya), Suraprabhawa meninggal tahun 1474.
- Pararaton menyebut ia “mokta ring kadaton” — wafat di istana. Ungkapan ini menunjukkan kemungkinan ia terbunuh (bukan meninggal wajar).
- Setelah wafatnya, situasi politik Majapahit semakin rapuh.
Runtuhnya Majapahit (1478)
- Pada 1478, keponakan-keponakannya yang dipimpin Samarawijaya menyerbu ibu kota Majapahit.
- Serangan ini menyebabkan keruntuhan kerajaan Hindu terbesar di Jawa.
- Samarawijaya meraih kemenangan, tetapi gugur dalam pertempuran (disebut dalam Prasasti Petak: ayun-ayunan yudha — menang perang tapi tewas).
Candi Prabhu
- Tempat pembakaran dan penyimpanan abu raja Majapahit seperti Suraprabhawa disebut Candi Prabhu.
Inti singkatnya:
Dyah Suraprabhawa, yang dikenal sebagai Bhre Pandansalas, memerintah Majapahit dari 1466 hingga 1474. Ia naik takhta menggantikan kekuatan keluarga lain, memicu konflik dengan keponakannya yang merasa berhak atas tahta. Setelah 2 tahun memerintah, para keponakan membentuk kekuatan di Jinggan dan akhirnya menyerang ibu kota pada 1478, yang menandai keruntuhan Majapahit. Suraprabhawa wafat di istana, kemungkinan dibunuh.


(Foto Prasasti Sendang Sedati/Pamintihan. Buku Prasasti dan Raja-Raja Nusantara, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 2015)
Oke, saya rangkum dan jelaskan identifikasi lokasi Prasasti Pamintihan ini supaya alurnya jelas.
Prasasti Pamintihan
- Dikeluarkan oleh: Sri Maharaja Singhawikramawardhana Dyah Suraprabhawa
- Tahun: 1473 M
- Masa pemerintahan: 1466–1474 (akhir Majapahit)
- Sumber: Koleksi Universitas Bibliotheken Leiden (didigitalisasi, koleksi 1863–1956)
- Temuan: Pertama kali ditemukan di Baureno, Bojonegoro, Jawa Timur
Makna Nama & Letak
- Pamintihan berasal dari bahasa Kawi intiha → artinya batas atau perbatasan.
- Lokasinya diperkirakan di perbatasan wilayah Jenggala dan Panjalu (Kediri).
- Penemuan di lereng Gunung Pandan (ujung wilayah Bowerno, 1863) menguatkan peran strategis gunung ini sebagai batas dan titik penting pertahanan Majapahit.
Perubahan Nama Toponim
- Bauwerna (nama lama) → tanah lungguh keluarga Raja Sri Wardhana.
- Perubahan fonetik dan ejaan dari waktu ke waktu:
- Bauwerna → Brawar(dha)na (pengaruh bahasa Jawa Kuno dan sebutan lokal).
- Brawardhana → Bowerno.
- Bowerno → Baureno (nama modern).
Pentingnya Lokasi
- Lereng Gunung Pandan = titik strategis di masa Majapahit.
- Berfungsi sebagai:
- Penanda batas wilayah kerajaan.
- Simbol peran wilayah perbatasan dalam mempertahankan keutuhan Majapahit akhir.
- Keberadaan prasasti di sini menegaskan bahwa Pamintihan bukan sekadar prasasti administratif, tapi juga bagian dari strategi politik dan pertahanan.

Daftar Pustaka
- Wikipedia Bahasa Indonesia – Suraprabhawa
Memberikan informasi mengenai Dyah Suraprabhawa (Bhre Pandansalas), masa pemerintahannya, dan Prasasti Pamintihan tahun 1473.
(Wikipedia) - Good News from Indonesia – “Identifikasi Lokasi Prasasti Pamintihan dari Bauwerna Menjadi Brawar(dha)na”
Mengulas asal-usul penemuan prasasti di Baureno (dahulu Bauwerna) dan konteks toponim lokal.
(Good News from Indonesia) - Blog Siwisang Nusantara – “Prasasti Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa / Prasasti Pamintihan 1473M”
Memuat isi prasasti lengkap dan penjelasan tentang pemberian tanah perdikan kepada Arya Surung.
(SIWI SANG) - Sejarah Di Nusantara Blog – “Suraprabhawa – Raja Kesepuluh Majapahit”
Menyajikan ringkasan mengenai prasasti Pamintihan sebagai warisan sejarah Suraprabhawa.
(sejarahdinusantara.blogspot.com) - Kuwaluhan.com – “Kisah Asal Usul Dyah Suraprabhawa Raja Majapahit”
Memuat narasi tentang identifikasi Suraprabhawa dengan Bhre Pandansalas, serta turun tahta dan kematiannya.
(Kuwaluhan.com) - Blog Sejarah-Puri-Pemecutan – “SUPRABHAWA”
Menyajikan sumber dari Pararaton dan prasasti Trailokyapuri mengenai wafat dan jatuhnya Majapahit.
(sejarah-puri-pemecutan.blogspot.com) - Sindonews – “Kisah Raja Terakhir Majapahit Dyah Suraprabhawa…”
Menyebutkan gelar anumerta Sang Mokta Ring Kadaton yang dikaitkan dengan Suraprabhawa menurut prasasti Pamintihan.
(Sindonews Daerah) - Damarinfo.com – “Mentjari Bodjonegoro Jejak-jejak Majapahit di Selatan Bojonegoro”
Mencantumkan katalog dan sumber arkeologi seperti buku Prasasti dan Raja-Raja Nusantara (Kemendikbud, 2015), termasuk tentang prasasti Sendang Sedati / Pamintihan.
(Damarinfo.com) - Blog Pusat Informasi Mojopahit – “Raja-Raja Majapahit Akhir (1)”
Membahas interpretasi prasasti Pamintihan dan perpanjangan pemerintahan Suraprabhawa hingga 1473 sesuai temuan Bosch dan prasasti.
(pusatinformasimojopahit.blogspot.com) - 123dok.com – “Singawikramawardhana Dyah Suraprabhawa, Bathara di Tumapel 1466–1474”
Mengutip teks prasasti Pamintihan tentang Suraprabhawa sebagai penguasa tunggal Jawa (Jenggala–Kediri). Juga menyebut sumbangan dari Slamet Muljana.
(123dok) - Idsejarah.net – “Peninggalan Prasasti pada Zaman Majapahit”
Memberikan konteks pentingnya Prasasti Waringin Pitu (1447), yang terkait dengan Dyah Suraprabhawa dan struktur pemerintahan Majapahit.
(Idsejarah) - Sonora.id – “Sumber Sejarah Kerajaan Majapahit, dari Prasasti hingga Kitab”
Menjelaskan jenis-jenis sumber sejarah Majapahit, termasuk prasasti sebagai bagian utamanya.
(Sonora)
Kata Penutup
Prasasti Pamintihan bukan sekadar artefak batu bertuliskan huruf kuno, melainkan jendela yang membuka pandangan kita pada masa akhir Majapahit. Dari lereng Gunung Pandan di Baureno—yang dahulu disebut Bauwerna—prasasti ini merekam batas wilayah, dinamika politik, dan perjalanan sejarah yang membentuk identitas Jawa Timur.
Melalui penelusuran toponim, interpretasi bahasa Kawi, dan pemahaman konteks geopolitik, kita belajar bahwa setiap prasasti menyimpan pesan yang melampaui zamannya. Pesan itu adalah tentang persatuan, kewaspadaan, dan pentingnya menjaga wilayah demi keutuhan sebuah bangsa.
Semoga kajian ini dapat menumbuhkan kecintaan terhadap warisan sejarah, serta menginspirasi generasi mendatang untuk terus meneliti, melestarikan, dan menghargai peninggalan budaya bangsa. Dengan begitu, jejak Majapahit akan tetap hidup, bukan hanya di buku-buku sejarah, tetapi juga di hati masyarakatnya.