“Pangeran Jayakarta: Jejak, Keturunan, dan Warisan di Jatinegara Kaum”(Kisah dari Penjaga Garis Darah Jakarta Lama)

“Pangeran Jayakarta: Jejak, Keturunan, dan Warisan di Jatinegara Kaum”(Kisah dari Penjaga Garis Darah Jakarta Lama)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga buku ini dapat terselesaikan dengan baik. Buku ini hadir sebagai upaya untuk membuka kembali lembaran sejarah yang kerap terabaikan, khususnya mengenai para penguasa Sunda Kelapa dan Jayakarta dari masa Kesultanan Demak hingga di bawah pengaruh Kesultanan Banten, beserta jejak perjuangan mereka melawan kekuatan kolonial yang berusaha menguasai tanah air.

Sejarah Jakarta tidak dimulai dari berdirinya Batavia, melainkan jauh sebelumnya, ketika wilayah ini berada di bawah kepemimpinan para tokoh besar seperti Sultan Abdul Fatah (Raden Fatah), Tubagus Fatahillah, Pangeran Tubagus Angke, hingga Pangeran Achmad Jakerta. Mereka bukan sekadar penguasa administratif, tetapi pemimpin yang memegang teguh nilai-nilai Islam, kehormatan bangsa, dan kedaulatan wilayah.

Dalam buku ini, penulis berusaha merangkai kisah perjalanan para pemimpin tersebut secara runtut, mulai dari peran mereka dalam membangun pemerintahan, hubungan dengan kekuatan politik besar seperti Kesultanan Demak dan Kesultanan Banten, hingga perjuangan keras melawan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Perjuangan ini bukan hanya soal perebutan wilayah, tetapi juga pertarungan harga diri, kemerdekaan, dan keyakinan.

Buku ini juga menyoroti garis keturunan, hubungan kekeluargaan, serta peran strategis para tokoh yang kerap luput dari narasi sejarah resmi. Penulis meyakini bahwa memahami sejarah secara utuh akan memberikan kita wawasan yang lebih tajam dalam menilai masa kini, sekaligus menjadi pelajaran berharga untuk masa depan.

Akhir kata, semoga karya ini dapat menjadi sumbangan kecil namun berarti bagi khazanah sejarah Indonesia, khususnya sejarah awal Jakarta. Semoga para pembaca dapat mengambil hikmah dari kisah-kisah perjuangan yang terkandung di dalamnya, dan semoga kita dapat meneladani semangat juang para leluhur dalam mempertahankan kebenaran dan kemerdekaan.

Jakarta, 2025
Penulis,
Gusti Henry

Baik, saya buatkan Pendahuluan sebelum masuk ke Bab 1, sekaligus Daftar Isi yang sesuai dengan alur sejarah Sunda Kelapa/Jayakarta dan tokoh-tokohnya.


PENDAHULUAN

Sejarah sebuah bangsa tidak hanya ditulis melalui kemenangan besar di medan perang, tetapi juga melalui jejak-jejak kepemimpinan, diplomasi, dan pengorbanan yang kadang terkubur di balik catatan resmi. Jayakarta—kini Jakarta—memiliki sejarah panjang yang dimulai jauh sebelum era kolonial Belanda. Wilayah ini pernah menjadi pelabuhan penting Kerajaan Sunda, lalu berubah wajah menjadi Jayakarta di bawah panji Kesultanan Demak dan kemudian Kesultanan Banten.

Para penguasanya—dari Sultan Abdul Fatah (Raden Fatah) pendiri Kesultanan Demak, Tubagus Fatahillah penakluk Sunda Kelapa, hingga para adipati penerus seperti Pangeran Tubagus Angke, Tubagus Sungerasa, dan Pangeran Achmad Jakerta—bukan hanya memimpin wilayah strategis, tetapi juga menjadi benteng terakhir melawan gelombang kolonialisme yang terus menguat.

Buku ini berupaya merangkai kembali potongan-potongan sejarah yang sering tercecer atau terdistorsi oleh narasi kolonial. Penulis menyusunnya berdasarkan berbagai sumber sejarah, baik tradisi lisan, naskah kuno, maupun catatan asing. Tujuannya sederhana: menghadirkan kembali wajah asli sejarah Jayakarta dan tokoh-tokoh yang membentuknya, agar generasi kini tidak melupakan akar perjuangan leluhur.

Melalui buku ini, pembaca diajak menyusuri perjalanan dari abad ke-15 hingga awal abad ke-17, menyaksikan jatuh bangunnya kekuasaan, strategi diplomasi, hingga pertarungan hidup-mati melawan kekuatan asing. Dari dermaga Sunda Kelapa yang ramai kapal, lorong istana di Demak, hingga benteng pertahanan di tepi Ciliwung—semua akan terlukis di hadapan pembaca sebagai saksi bahwa Jayakarta adalah kota yang lahir dari darah, doa, dan keberanian.


DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Pendahuluan

Bab 1 – Latar Belakang Sejarah Nusantara Abad ke-15
1.1 Keruntuhan Majapahit dan Munculnya Kesultanan Demak
1.2 Jalur Perdagangan dan Posisi Sunda Kelapa
1.3 Hubungan Politik dan Keagamaan di Jawa

Bab 2 – Sultan Abdul Fatah (Raden Fatah) dan Kesultanan Demak
2.1 Asal Usul dan Garis Keturunan
2.2 Pemerintahan sebagai Adipati Demak (1475–1500)
2.3 Kesultanan Demak Pertama (1500–1518)
2.4 Peran dalam Walisongo dan Penyebaran Islam

Bab 3 – Tubagus Fatahillah: Penakluk Sunda Kelapa
3.1 Asal Usul dan Hubungan dengan Sunan Gunung Jati
3.2 Panglima Perang Kesultanan Demak
3.3 Penaklukan Sunda Kelapa 1527
3.4 Pendirian Jayakarta dan Pemerintahan Pertama
3.5 Peran sebagai Sultan Cirebon II

Bab 4 – Kepemimpinan Pangeran Tubagus Angke (Pangeran Jayakarta II)
4.1 Hubungan Keluarga dan Politik
4.2 Jayakarta di bawah Kekuasaan Tubagus Angke
4.3 Strategi Pertahanan dan Hubungan Dagang
4.4 Warisan dan Keturunan

Bab 5 – Tubagus Sungerasa (Pangeran Jayakarta III)
5.1 Masa Awal Kepemimpinan
5.2 Hubungan dengan Kesultanan Banten
5.3 Kerjasama dengan Inggris dan Konflik dengan VOC
5.4 Serangan Jayakarta 1618 dan Mundurnya Pasukan

Bab 6 – Pangeran Achmad Jakerta (Pangeran Jayakarta IV)
6.1 Latar Belakang dan Penunjukan sebagai Adipati
6.2 Perlawanan terhadap VOC
6.3 Pertempuran 1619 dan Gugurnya Sang Pangeran
6.4 Dampak Jatuhnya Jayakarta dan Lahirnya Batavia

Bab 7 – Warisan dan Pelajaran Sejarah Jayakarta
7.1 Jayakarta sebagai Simbol Perlawanan
7.2 Pengaruh Politik dan Budaya dari Kesultanan Banten dan Demak
7.3 Jejak Keturunan dan Situs Peninggalan
7.4 Nilai-nilai Kepemimpinan dan Keberanian

Penutup
Daftar Pustaka
Lampiran – Peta, silsilah, dan foto situs sejarah



BAB 1 – LATAR BELAKANG SEJARAH NUSANTARA ABAD KE-15

Abad ke-15 menjadi masa transisi penting dalam sejarah Nusantara. Di satu sisi, kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang selama berabad-abad memegang kendali mulai mengalami kemunduran. Di sisi lain, pengaruh Islam yang dibawa para pedagang, ulama, dan tokoh-tokoh dari berbagai daerah mulai mengakar, membentuk tatanan politik baru. Perubahan ini tidak terjadi dalam sekejap, melainkan melalui proses panjang yang melibatkan perdagangan, diplomasi, dan peperangan.

1.1 Keruntuhan Majapahit dan Munculnya Kesultanan Demak

Majapahit, yang pada puncak kejayaannya di abad ke-14 menguasai hampir seluruh wilayah Nusantara, mulai goyah pada awal abad ke-15. Perselisihan internal antar bangsawan, melemahnya kendali pusat terhadap daerah-daerah bawahan, serta meningkatnya serangan dari luar menjadi faktor utama keruntuhannya.

Puncak perpecahan terjadi setelah wafatnya Raja Hayam Wuruk dan gugurnya Patih Gajah Mada. Perebutan tahta di antara keluarga kerajaan memicu perang saudara yang melemahkan kekuatan Majapahit secara signifikan. Dalam kondisi demikian, kekuatan-kekuatan lokal mulai melepaskan diri, termasuk wilayah pesisir utara Jawa yang kaya akan perdagangan.

Di tengah kekosongan kekuasaan itu, muncul Kesultanan Demak. Dipimpin oleh Raden Fatah—yang diyakini masih memiliki hubungan darah dengan Majapahit—Demak berdiri sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Dengan basis kekuatan di pesisir, Demak berhasil memadukan kekuatan militer dan jaringan perdagangan, sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa.

1.2 Jalur Perdagangan dan Posisi Sunda Kelapa

Pada abad ke-15, jalur perdagangan maritim Nusantara menjadi salah satu yang terpadat di dunia. Selat Malaka, Laut Jawa, dan jalur menuju Maluku dipenuhi kapal-kapal dari berbagai bangsa: Jawa, Melayu, Gujarat, Cina, hingga Portugis.

Sunda Kelapa, pelabuhan utama Kerajaan Sunda, memegang posisi strategis di jalur ini. Letaknya di muara Sungai Ciliwung memudahkan arus barang dari pedalaman Priangan ke laut lepas. Lada, beras, kayu, dan hasil bumi lainnya menjadi komoditas utama yang diperdagangkan di sini.

Keterbukaan Sunda Kelapa terhadap pedagang asing membuatnya menjadi titik pertemuan berbagai budaya, agama, dan bahasa. Namun, posisi strategis ini juga membuatnya menjadi rebutan kekuatan besar—baik dari kerajaan-kerajaan lokal seperti Demak dan Banten, maupun dari kekuatan Eropa yang mulai memasuki perairan Nusantara.

1.3 Hubungan Politik dan Keagamaan di Jawa

Jawa pada abad ke-15 adalah mosaik kekuatan politik. Di bagian barat berdiri Kerajaan Sunda yang masih bercorak Hindu-Buddha. Di tengah dan timur, sisa-sisa Majapahit masih bertahan di beberapa daerah, meski kekuatannya terus merosot. Sementara itu, wilayah pesisir utara mulai didominasi oleh kekuatan Islam, seperti Demak, Jepara, Gresik, dan Cirebon.

Hubungan antar kekuatan ini tidak selalu bersifat permusuhan. Ada persekutuan dagang, pernikahan politik, dan perjanjian damai yang terjalin. Namun, perbedaan agama dan kepentingan ekonomi sering memicu ketegangan.

Demak, sebagai kekuatan baru, memiliki misi ganda: memperluas wilayah kekuasaan dan menyebarkan ajaran Islam. Cirebon dan Banten menjadi sekutu strategis, sementara Sunda Kelapa menjadi target penting untuk dikuasai demi memutus hubungan dagang Kerajaan Sunda dengan Portugis yang mulai berlabuh di Malaka.

Dalam pusaran politik dan perdagangan inilah, benih-benih konflik besar mulai tumbuh—konflik yang kelak akan mengubah Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, dan mengantarkan tokoh-tokoh besar seperti Tubagus Fatahillah ke panggung sejarah Nusantara.



BAB 2 – SULTAN ABDUL FATAH (RADEN PATAH)

2.1 Asal-Usul dan Latar Keluarga

Raden Patah, lahir di Palembang pada tahun 1455. Ia adalah putra dari Sri Maharaja Prabu Dyah Singhanegara Wijayakusuma Kertabhumi—raja Majapahit Brawijaya V—dengan seorang putri keturunan Tionghoa bernama Dewi Kian, yang dalam beberapa sumber disebut sebagai putri dari Syekh Bentong (Tan Go Hwat), seorang saudagar dan ulama dari Gresik.

Riwayat kelahiran Raden Patah memiliki beberapa versi yang bersumber dari naskah-naskah kuno:

  • Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa Dewi Kian, selir Tionghoa raja Majapahit, kemudian dinikahkan dengan Arya Damar, adipati Palembang, setelah melahirkan Raden Patah.
  • Purwaka Caruban Nagari dan Serat Walisana juga memuat kisah serupa, menekankan bahwa ia adalah keturunan langsung raja Majapahit dan cucu dari Syekh Bentong.
  • Suma Oriental karya Tome Pires menyebutnya sebagai Pate Rodim, seorang tokoh keturunan Gresik yang kelak mendirikan Demak.

Dari berbagai catatan, dapat disimpulkan bahwa Raden Patah memiliki darah campuran bangsawan Jawa Majapahit dan Tionghoa Muslim, yang kelak memberinya kedudukan unik di tengah peralihan kekuasaan Jawa dari Hindu-Buddha ke Islam.

Raden Patah – Ilustrasi potret yang mewakili sosok Sultan Abdul Fatah (pendiri Demak).Gambar-gambar ini bersifat illustratif dan bukan foto asli, karena tidak ada dokumentasi visual autentik dari era tersebut.

Raden Patah versi seni modern – Gaya lebih kontemporer, menekankan karakter kebijaksanaannya.Gambar-gambar ini bersifat illustratif dan bukan foto asli, karena tidak ada dokumentasi visual autentik dari era tersebut.

2.2 Pendidikan dan Pengaruh Walisongo

Sejak muda, Raden Patah menuntut ilmu agama kepada Sunan Ampel di Surabaya. Hubungan ini tidak hanya bersifat guru-murid, tetapi juga kekeluargaan, karena ia kemudian menikahi Dewi Murthasimah, putri Sunan Ampel.
Dari lingkaran Walisongo inilah ia memperoleh wawasan kepemimpinan, strategi dakwah, dan kemampuan membangun jaringan politik yang kuat.

2.3 Awal Kekuasaan: Dari Glagahwangi ke Demak

Sekitar tahun 1475, Raden Patah diangkat sebagai adipati di wilayah Glagahwangi, sebuah daerah pesisir yang strategis. Atas restu Majapahit, Glagahwangi kemudian berkembang menjadi pusat pemerintahan baru yang diberi nama Demak, dengan ibu kota di Bintara.
Namun, hubungan Demak dengan Majapahit mulai renggang setelah terjadinya kudeta di Majapahit oleh Dyah Ranawijaya (Girindrawardhana), yang menggulingkan ayah Raden Patah. Peristiwa ini menjadi titik balik: Demak melepaskan diri dan berdiri sebagai negara merdeka.

2.4 Berdirinya Kesultanan Demak

Pada tahun 1500, Raden Patah resmi menyandang gelar Sultan Abdul Fatah, menjadikannya Sultan Demak pertama. Gelar lengkapnya, menurut sumber-sumber naskah, bervariasi, namun semuanya menegaskan perannya sebagai pemimpin Islam dan kepala negara, di antaranya Sultan Syah Alam Akbar.

Ilustrasi tokoh klasik – Gaya tradisional, memuat gaya berpakaian era Majapahit–Demak.Gambar-gambar ini bersifat illustratif dan bukan foto asli, karena tidak ada dokumentasi visual autentik dari era tersebut.


Kesultanan Demak memadukan kekuatan maritim, perdagangan, dan dakwah Islam, menjadi pusat peradaban baru di pesisir utara Jawa.

2.5 Konflik dengan Majapahit

Kisah peperangan Demak–Majapahit memiliki perbedaan versi:

Adegan sejarah kerajaan – Lukisan tema kerajaan yang menggambarkan suasana istana atau masa pemerintahan awal Demak.Gambar-gambar ini bersifat illustratif dan bukan foto asli, karena tidak ada dokumentasi visual autentik dari era tersebut.

  • Babad Tanah Jawi menggambarkan Raden Patah menyerang Majapahit setelah wafatnya Sunan Ampel.
  • Versi lain dari sejarawan modern seperti Prof. N. J. Krom dan Prof. Moh. Yamin menegaskan bahwa kejatuhan Majapahit (1478) bukan akibat serangan Demak, melainkan serangan Girindrawardhana. Demak baru terlibat konflik setelah Majapahit dikuasai pihak ini.

Terlepas dari perbedaan catatan, peristiwa tersebut menandai berakhirnya dominasi Majapahit dan mengukuhkan Demak sebagai kekuatan politik baru di Jawa.

2.6 Pemerintahan dan Warisan

Pada 1479, Raden Patah meresmikan Masjid Agung Demak sebagai pusat pemerintahan sekaligus simbol kejayaan Islam di Jawa. Ia memperkenalkan Salokantara, kitab undang-undang kerajaan yang menjadi pedoman hukum.
Raden Patah dikenal sebagai pemimpin toleran terhadap pemeluk Hindu dan Buddha, mengikuti wasiat Sunan Ampel. Politiknya lebih berfokus pada penguatan ekonomi, penyebaran Islam, dan memperluas pengaruh Demak ke daerah pesisir lainnya.

Ia wafat di Demak pada tahun 1518 dan dimakamkan di Bintoro. Kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya, Pati Unus, yang kelak dikenal sebagai Pangeran Sabrang Lor.

penguasa Sultan demak, Sultan Abdul Fatah/ Raden Fatah / Sultan Syah alam Akbar I/ raja pertama kesultanan DemakAnggota Dewan Walisongo (1465 – 1518),
Adipati Demak (1475 – 1500) era Majapahit,
Sultan Demak Pertama 1500–1518 sudah meninggal diganti sultan Pati Unus 1518–1521 sebagai penerus kesultanan Demak, sudah meninggal diganti Sultan Trenggono 1521–1546 sebagai penerus kesultanan Demak, pada masa Demak di pimpin sultan Trenggono inilah Demak menyerang Majapahit dan Majapahit sudah runtuh total. sudah meninggal diganti sultan Sunan Prawoto 1546–1549 sebagai penerus kesultanan Demak, sudah meninggal diganti Sultan Arya Penangsang 1549–1568 sebagai penerus kesultanan Demak
Lahir1455
Meninggal1518 DemakKesultanan Demak
Dimakamkan diBintoroDemak
Kebangsaan– Kerajaan Majapahit
– Kesultanan Demak
Sultan Demak Pertama
Adipati Demak (1475 – 1500) era Majapahit,Sultan Demak Pertama 1500–1518
PendahuluSetelah Bhre Kertabhumi/ Raden Alit Raden Angkawijaya,Raden Kerto wijoyo II,Prabu Brawijaya V kerajaan Majapahit ayahnya dikudeta oleh Dyah Ranawijaya,Brawijaya VI kerajaan Majapahit ia pun melepaskan Demak menjadi negara yang Merdeka.
PenerusPati Unus
Istri– Dewi Murthasimah binti Sunan Ampel– Putri Adipati Kanduruwan
KeturunanPernikahan dengan Dewi Murthasimah :- Pati Unus– Raden Sasongka– Trenggana– Ayu Kirana– Ayu Wulan– Pangeran Surowiyoto

Pernikahan dengan Putri Adipati Kanduruwan :- Pangeran Pamekas– Raden Kanduruwan– Raden Jaladara– Raden Ayu Timur
Orang tuaBhre Kertabhumi/ Raden Alit Raden Angkawijaya,Raden Kerto wijoyo II,Prabu Brawijaya V kerajaan Majapahit (ayah)

Dewi Dwarawati Muda / Dewi Kian (ibu)

Sultan Abdul Fatah / Raden Fatah

Gelar lain: Sultan Syah Alam Akbar I
Peran penting:

  • Anggota Dewan Walisongo (1465–1518)
  • Adipati Demak (1475–1500) di era Kerajaan Majapahit
  • Sultan Demak Pertama (1500–1518)
  • Tokoh penting dalam proses Islamisasi di Jawa dan pembubaran Majapahit

Riwayat Hidup

  • Lahir: 1455
  • Wafat: 1518, di Demak, Kesultanan Demak
  • Dimakamkan di: Bintoro, Demak
  • Kebangsaan: Awalnya bagian dari Kerajaan Majapahit, kemudian memimpin Kesultanan Demak
  • Orang tua:
    • Ayah: Bhre Kertabhumi (Prabu Brawijaya V), Raja Majapahit terakhir yang berkuasa di Trowulan
    • Ibu: Dewi Dwarawati Muda / Dewi Kian (Siu Ban Ci), yang disebut berasal dari Champa

Perjalanan Politik

  1. Masa Adipati Demak (1475–1500)
    Saat itu Demak masih menjadi wilayah bawahan Majapahit.
  2. Pendiri Kesultanan Demak (1500)
    Setelah ayahnya, Bhre Kertabhumi, dikudeta oleh Dyah Ranawijaya (Brawijaya VI), Raden Fatah memisahkan Demak dari Majapahit dan mendirikan negara merdeka.
  3. Kepemimpinan Sultan Demak Pertama (1500–1518)
    • Mengembangkan pelabuhan Demak menjadi pusat perdagangan internasional.
    • Menjadikan Demak sebagai pusat dakwah Islam di Jawa.
  4. Suksesi Setelah Wafatnya (1518)
    • Digantikan oleh Pati Unus (1518–1521)
    • Lalu Sultan Trenggono (1521–1546), di masa inilah Demak menyerang Majapahit yang tersisa hingga runtuh total.
    • Setelah Trenggono wafat, berturut-turut digantikan oleh Sunan Prawoto (1546–1549) dan Arya Penangsang (1549–1568).

Keluarga

Istri:

  1. Dewi Murthasimah binti Sunan Ampel
  2. Putri Adipati Kanduruwan

Anak dari Dewi Murthasimah:

  • Pati Unus (Sultan Demak II)
  • Raden Sasongka
  • Trenggana (Sultan Demak III)
  • Ayu Kirana
  • Ayu Wulan
  • Pangeran Surowiyoto

Anak dari Putri Adipati Kanduruwan:

  • Pangeran Pamekas
  • Raden Kanduruwan
  • Raden Jaladara
  • Raden Ayu Timur

Konteks Sejarah Penting

  • Raden Fatah adalah keturunan Majapahit dan memiliki darah campuran Jawa–Champa.
  • Perannya sangat besar dalam transisi kekuasaan di Jawa dari kerajaan Hindu-Buddha menuju kerajaan Islam.
  • Kesultanan Demak di bawahnya menjadi kekuatan maritim dan politik yang memengaruhi wilayah Nusantara, termasuk Banten, Cirebon, hingga Maluku.
Raden Alit /Raden Angkawijaya,/ Raden Kerto wijoyo II,/ Prabu Brawijaya V Bhre Kertabhumi/ Maharaja Majapahit ke 11
Berkuasa1468-1474
PendahuluSuraprabhawa
PenerusDyah Ranawijaya
Kematian1478
Pasangan1. Dewi Dwarawati Sepuh / Dewi Murdaningrum

2. Dewi Dwarawati Muda / Dewi Kian 

3. Dewi Wandan Kuning / Dewi Bondrit cemoro
Keturunan1.Pernikahan dengan Dewi Dwarawati Sepuh / Dewi Murdaningrum :
*Ratu Ratna Pembayun,istri As-Syekh Syarif Hidayatullah/ Sunan Gunung Jati Sultan Cirebon 1482 – 1568 )
*Hario Peteng Adipati Pamekasan,
*Raden Gugur


2.Pernikahan dengan Dewi Dwarawati Muda / Dewi Kian   :
*Sultan Abdul Fatah/ Sultan Syah Alam Akbar I/Raden Praba/Raden Fatah/Raden Hasan/Raden Yusuf

3.Pernikahan dengan Dewi Wandan Kuning / Dewi Bondrit cemoro :
*Bondan Kejawan

4.Pernikahan dengan Istri Selir :
*Jayan Panolih (Adipati Sumenep)
*Joko Piturun(Adipati Ponorogo)
*Joko Dolog,
*R. Sujalma,
*Joko Dandun,
*Joko Kretek, (Adipati Makassar)
*Joko Krewet, (Adipati Sukadana)
*Dewi Agur,
*Bondan Surati,
*Joko Sujono /Panembahan Jano (Adipati Palembang)
*Harya Dewa Ketut (Adipati Bali)

Pernikahan dengan selir Putri Kalungsu (Putri Kabu Waringin) di ceraikan Maharaja Carang Laleyan, juga dikenal sebagai Raden Arya Dewangsa, adalah seorang tokoh dalam sejarah Kerajaan Negara Dipa yang disebutkan dalam silsilah raja-raja Banjar. Ia adalah putra dari Pangeran Suria-Wangsa putra Maharani Manggalawardhani (Bhre Tanjungpura) Ratu Ratna Junjung Buih janggala Kediri (Bhre Daha) dan menggantikan Maharaja Suria-Gangga-Wangsa saudara ayahnya Pangeran Suria-Wangsa. Raden Arya Dewangsa sebagai raja dengan gelar Maharaja Carang Lalean pada tahun 1464 M.Keterkaitan dengan Kerajaan Negara Dipa:Ia adalah bagian dari garis keturunan raja-raja Negara Dipa, yang merupakan cikal bakal Kesultanan Banjar.Ia naik tahta menggantikan Maharaja Suria-Gangga-Wangsa saudara ayahnya Pangeran Suria-Wangsa.Ia dikenal dengan gelar Maharaja Carang Lalean setelah dinobatkan menjadi raja.Hubungan dengan Majapahit:Beberapa catatan menyebutkan bahwa ia pulang ke tempat asalnya (Majapahit) untuk membantu saudaranya, Samarawijaya, dalam peperangan melawan pamannya.

*Raden Sekar Sungsang/Ki Mas Lalana/Panji Agung Rama Nata atau Raden Sakar Sungsang gelar Maharaja Sari Kaburungan atau Miharaja Sari Babunangan Unro (logat Dayak Maanyan) alias Panji Suranata (Adipati Negara Daha/Banjar)
WangsaRajasa
AyahRajasawardhana Sang Sinagara / Rajasawardhana Dyah Wijayakumara atau Bhre Kahuripan Maharaja Majapahit ke 8 merupakan putra sulung dari Raja Kertawijaya Sri Maharaja Wijayaparakramawardhana
Maharaja Majapahit ke 7 Brawijya I dengan permaisurinya, Dyah Jayeswari yang menjabat sebagai Bhre Daha.
IbuManggalawardhani (Bhre Tanjungpura) Ratu Ratna Junjung Buih janggala Kediri (Bhre Daha)

Manggalawardhani (Bhre Tanjungpura) Ratu Ratna Junjung Buih janggala Kediri (Bhre Daha) menikahi lagi dengan Raden Arya Gagombak Janggala Rajasa Bhre Paguhun Trah Rajasa Majapahit

Raden Alit / Raden Angkawijaya / Raden Kertowijoyo II / Prabu Brawijaya V (Bhre Kertabhumi)

Beliau adalah Maharaja Majapahit ke-11 yang memerintah sekitar tahun 1468–1474.

  • Pendahulu: Suraprabhawa
  • Penerus: Dyah Ranawijaya
  • Wafat: Tahun 1478

Gelar dan Kedudukan

Raden Alit memiliki beberapa nama dan gelar:

  • Raden Angkawijaya
  • Raden Kertowijoyo II
  • Prabu Brawijaya V
  • Bhre Kertabhumi (gelar bangsawan Majapahit)

Beliau merupakan bagian dari Wangsa Rajasa, yaitu dinasti kerajaan Majapahit yang menelusuri asal-usulnya ke Ken Arok (pendiri Singhasari) dan Raden Wijaya (pendiri Majapahit).

Orang Tua

  • Ayah: Rajasawardhana Sang Sinagara (Dyah Wijayakumara atau Bhre Kahuripan), Maharaja Majapahit ke-8.
    Beliau adalah putra sulung Raja Kertawijaya (Sri Maharaja Wijayaparakramawardhana, Maharaja Majapahit ke-7 atau Brawijaya I) dengan permaisuri Dyah Jayeswari (Bhre Daha).
  • Ibu: Manggalawardhani (Bhre Tanjungpura), juga dikenal sebagai Ratu Ratna Junjung Buih, berasal dari Janggala Kediri.
    Setelah bercerai, Manggalawardhani menikah lagi dengan Raden Arya Gagombak Janggala Rajasa (Bhre Paguhun, dari trah Rajasa Majapahit).

Istri-Istri dan Keturunan

1. Dewi Dwarawati Sepuh / Dewi Murdaningrum

  • Anak:
    1. Ratu Ratna Pembayun – menikah dengan As-Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Sultan Cirebon (1482–1568).
    2. Hario Peteng – Adipati Pamekasan.
    3. Raden Gugur – dikenal juga sebagai Sunan Lawu.

2. Dewi Dwarawati Muda / Dewi Kian (Siu Ban Ci)

  • Anak:
    1. Raden Fatah – dikenal juga sebagai Sultan Abdul Fatah, Sultan Syah Alam Akbar I, Raden Praba, Raden Hasan, atau Raden Yusuf. Ia adalah pendiri Kesultanan Demak.

3. Dewi Wandan Kuning / Dewi Bondrit Cemoro

  • Anak:
    1. Bondan Kejawan – tokoh penting dalam silsilah yang menghubungkan Majapahit dengan raja-raja Mataram.

4. Selir

  • Anak:
    • Jayan Panolih (Adipati Sumenep)
    • Joko Piturun (Bathara Katong, Adipati Ponorogo)
    • Joko Dolog
    • R. Sujalma
    • Joko Dandun
    • Joko Kretek (Adipati Makassar)
    • Joko Krewet (Adipati Sukadana)
    • Dewi Agur
    • Bondan Surati
    • Joko Sujono / Panembahan Jano (Adipati Palembang)
    • Harya Dewa Ketut (Adipati Bali)

Pernikahan Politik: Putri Kalungsu

  • Putri Kalungsu /Putri Kabu Waringin, menikah dengan Maharaja Carang Laleyan (Raden Arya Dewangsa), tokoh dari Kerajaan Negara Dipa (cikal bakal Kesultanan Banjar).
  • Raden Arya Dewangsa & Pangeran Suria-Wangsa, putra Maharani Manggalawardhani (Bhre Tanjungpura).
  • Maharaja Carang Laleyan (Raden Arya Dewangsa), menjadi Raja Negara Dipa pada tahun 1464 M

Keterkaitan dengan Kesultanan Banjar

Raden Alit juga terhubung dengan tokoh Raden Sekar Sungsang (Ki Mas Lalana / Panji Agung Rama Nata / Panji Suranata) perkawinan dengan selir Putri Kalungsu putranya bergelar Maharaja Sari Kaburungan atau Miharaja Sari Babunangan Unro (logat Dayak Maanyan). Tokoh ini menjabat sebagai Adipati Negara Daha/Banjar.

Kalau disimpulkan, tentang Brawijaya V, tapi juga mencatat jaringan perkawinan politik Majapahit yang menghubungkannya ke:

  • Kesultanan Cirebon (via Ratu Ratna Pembayun)
  • Kesultanan Demak (via Raden Fatah)
  • Mataram (via Bondan Kejawan)
  • Kerajaan-kerajaan daerah seperti Sumenep, Ponorogo, Makassar, Sukadana, Palembang, dan Bali
  • Kerajaan Negara Dipa / Banjar (via Putri Kalungsu)

Fatahillah memimpin armada laut dan pasukan gabungan menuju Sunda Kelapa. Pertempuran berlangsung sengit, tetapi pada 22 Juni 1527, Fatahillah berhasil merebut pelabuhan tersebut. Kemenangan ini tidak hanya menggagalkan rencana Portugis, tetapi juga memutus jalur dagang vital Kerajaan Sunda.

BAB 3 – TUBAGUS FATAHILLAH: PENAKLUK SUNDA KELAPA

3.1 Asal Usul dan Hubungan dengan Sunan Gunung Jati

Tubagus Fatahillah, yang dalam berbagai sumber juga dikenal sebagai Falatehan, Fadhillah Khan, atau Pangeran Jayakarta I, lahir di wilayah Samudera Pasai sekitar awal abad ke-16. Ia diduga berasal dari keluarga bangsawan keturunan Arab–Aceh, dan pada usia muda telah banyak mengembara di dunia perdagangan serta militer.

Perjalanannya membawanya ke Cirebon, pusat penyebaran Islam di Jawa Barat. Di sinilah ia bertemu dengan Sunan Gunung Jati (Syekh Syarif Hidayatullah), pendiri Kesultanan Cirebon dan salah satu anggota Walisongo. Hubungan mereka tidak hanya politis, tetapi juga kekeluargaan: Fatahillah menikahi Ratu Ayu Wulungputri Sunan Gunung Jati, menjadikannya menantu langsung sang wali besar.

3.2 Panglima Perang Kesultanan Demak

Sekitar tahun 1521, Fatahillah diangkat sebagai panglima perang Kesultanan Demak. Pada masa itu, Demak berada di bawah pemerintahan Sultan Trenggana dan tengah berusaha memperluas pengaruh Islam di Jawa serta mengamankan jalur perdagangan pesisir.

Sebagai panglima, Fatahillah memiliki reputasi sebagai ahli strategi maritim. Ia memimpin berbagai ekspedisi militer, termasuk operasi pembebasan wilayah Banten dari kekuasaan Kerajaan Sunda yang bersekutu dengan Portugis.

3.3 Penaklukan Sunda Kelapa 1527

Sunda Kelapa—pelabuhan utama Kerajaan Sunda—memiliki posisi strategis di jalur perdagangan internasional. Pada awal 1527, Portugis berencana membangun benteng di sana sebagai bagian dari persekutuan dengan Raja Sunda. Hal ini dipandang sebagai ancaman langsung oleh Demak dan Cirebon

Diorama pertempuran 22 Juni 1527 di Monas—menggambarkan momen armada Fatahillah memukul mundur Portugis.

pertempuran di pesisir—mengulas keterlibatan Banten dalam mengusir Portugis dari Jawa

Peta ringkas ekspansi Kesultanan Demak & lokasi Sunda Kelapa—memberi gambaran geografis peristiwa 22 Juni 1527

3.4 Pendirian Jayakarta dan Pemerintahan Pertama

Setelah kemenangan itu, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta—yang berarti “kemenangan yang sempurna”. Ia ditunjuk sebagai Adipati Jayakarta I (1530–1550) dan mulai membangun kota pelabuhan tersebut sebagai pusat perdagangan dan penyebaran Islam.

Di bawah pemerintahannya, Jayakarta berkembang pesat. Sistem perdagangan diatur ulang untuk menguntungkan para pedagang Muslim, sementara hubungan diplomatik dengan Cirebon, Demak, dan Banten diperkuat.

3.5 Peran sebagai Sultan Cirebon II

Setelah wafatnya Sunan Gunung Jati pada tahun 1568, Fatahillah naik takhta sebagai Sultan Cirebon II. Meskipun masa pemerintahannya singkat (1568–1570), ia berhasil mempertahankan stabilitas politik Cirebon dan menjaga hubungan dagang antar-kesultanan di pesisir utara Jawa.

Fatahillah wafat di Cirebon dan dimakamkan di Astana Gunung Sembung, kompleks pemakaman keluarga Kesultanan Cirebon. Warisannya tetap hidup, terutama melalui peran Jayakarta yang kelak berkembang menjadi Batavia pada masa VOC, dan kemudian Jakarta pada era modern.

“Regent of Jakarta” atau “Koning van Jacatra” Tubagus Fatahillah/Falatehan/Fadhillah Khan/Pangeran Jayakarta Ke – I anak mantu/ menantu dari Sayyid Al-Kamil/ As-Syekh Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati/Maulana Jati.
MeninggalKesultanan Cirebon
Dimakamkan diAstana Gunung Sembung
Zaman– Kesultanan Samudera Pasai– Kesultanan Demak– Kesultanan Cirebon
Pekerjaan~Wali Sanga~Panglima Perang Kesultanan Demak (1521-1530)~Penakluk Banten & Sunda Kelapa (Dari wilayah Kerajaan Sunda) (1527)~Adipati Jayakarta I (1530-1550)~Sultan Cirebon Ke-2
DenominasiSunni
Sultan Cirebon Ke-2
1568 – 1570
PendahuluAs-Syekh Syarif HidayatullahSunan Gunung Jati Sultan Cirebon 1482 – 1568 ) yang menikahi Syarifah Fatimah binti As-Syekh Syarif Nurjati / Datuk Kahfi- Syekh Idhofi- Syekh Nurul Jati- Syekh Nurijati- Syekh Datuk Barul- Syekh Datuk Iman- Syekh Dulyamin
PenerusPanembahan Ratu I
Pasangan1.Ratu Wulung Ayu / Ratu Ayu Wangunan / Syarifah Khadijah binti Sayyid Al-Kamil/ As-Syekh Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati/Maulana Jati. Sultan Cirebon 1482 – 1568 ) dengan  Ratu Ratna Pembayun, kakak tiri Raden Patah Sultan Demak putra Bhre Kertabhumi/ Raden Alit Raden Angkawijaya,Raden Kerto wijoyo II,Prabu Brawijaya V kerajaan Majapahit
Keturunan1.Ratu Ayu Pembayun yang bernama lain Syarifah Fatimah (Istri Tubagus Angke ( Pangeran Jayakarta II ) Adipati Jayakarta Ke – 2)

2.Nawati Rarasa
(Ibu dari Panembahan Ratu I)

3.Kiai Bagus Abdurrahman

4.Kiai Mas Abdul Aziz

5.Maulana Abdullah

6.Pangeran Sendang Garuda

7.Minak Kejala Biddien dari Lampung

8.Minak Kejala Khatu dari Lampung

Identitas dan Julukan

  • Nama & Gelar: “Regent of Jakarta” (Bupati Jakarta) atau Koning van Jacatra (Raja Jacatra dalam bahasa Belanda).
  • Nama lengkap dan variasi: Tubagus Fatahillah, Falatehan, Fadhillah Khan, Pangeran Jayakarta I.
  • Hubungan keluarga: Menantu (anak mantu) dari Sayyid Al-Kamil / As-Syekh Syarif Hidayatullah — lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati / Maulana Jati, Sultan Cirebon pertama.

Meninggal & Pemakaman

  • Tempat meninggal: Kesultanan Cirebon.
  • Dimakamkan di: Astana Gunung Sembung, Gunungjati, Cirebon — berdekatan dengan makam mertuanya, Sunan Gunung Jati.

Zaman Kekuasaan dan Kiprah

Fatahillah hidup dan berkiprah dalam tiga era besar:

  1. Kesultanan Samudera Pasai
  2. Kesultanan Demak
  3. Kesultanan Cirebon

Jabatan & Peran

  • Wali Sanga (tokoh penyebar Islam di Jawa)
  • Panglima Perang Kesultanan Demak (1521–1530)
  • Penakluk Banten dan Sunda Kelapa dari Kerajaan Sunda (1527)
  • Adipati Jayakarta I (1530–1550)
  • Sultan Cirebon ke-2 (1568–1570)

Denominasi

  • Islam Sunni

Kepemimpinan di Kesultanan Cirebon

  • Masa kekuasaan: 1568–1570 (sebagai Sultan Cirebon ke-2).
  • Pendahulu: As-Syekh Syarif Hidayatullah / Sunan Gunung Jati (Sultan Cirebon 1482–1568).
  • Penerus: Panembahan Ratu I.

Keluarga & Pernikahan

  1. Ratu Wulung Ayu / Ratu Ayu Wangunan / Syarifah Khadijah
    • Putri dari Sunan Gunung Jati.+ Ratu Ratna Pembayun adik Raden Patah (Sultan Demak pertama) Putra Bhre Kertabhumi (Prabu Brawijaya V, raja terakhir Majapahit).

Keturunan

  1. Ratu Ayu Pembayun / Syarifah Fatimah
    • Menikah dengan Tubagus Angke (Pangeran Jayakarta II), Adipati Jayakarta ke-2.
  2. Nawati Rarasa — ibu dari Panembahan Ratu I.
  3. Kiai Bagus Abdurrahman
  4. Kiai Mas Abdul Aziz
  5. Maulana Abdullah
  6. Pangeran Sendang Garuda
  7. Minak Kejala Biddien (Lampung)
  8. Minak Kejala Khatu (Lampung, dari Keratuan Darah Putih).

Ringkasan Penting

Tubagus Fatahillah adalah tokoh militer, ulama, dan penguasa yang:

  • Berperan besar dalam menghalau Portugis di Sunda Kelapa (1527), yang kemudian diberi nama Jayakarta.
  • Menjabat sebagai penguasa Jayakarta sebelum wilayah tersebut kelak menjadi Batavia.
  • Memimpin Cirebon sebagai Sultan kedua menggantikan mertuanya, Sunan Gunung Jati.
  • Memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Kesultanan Demak, Cirebon, dan sisa elit Majapahit.

Astana Gunung Sembung — Pintu masuk dan gapura kompleks pemakaman

Interior Komplek Makam — Foto area dalam pemakaman, menunjukkan arsitektur dan suasana ziarah

Detail Makam — Foto yang menampilkan dinding dan arsitektur makam

Gerbang atau dekorasi makam — Tampilan visual gapura atau candi bentar dengan motif khas Astana Gunung Sembung

bagan silsilah yang memperlihatkan hubungan Tubagus Fatahillah/Falatehan/Fadhillah Khan/Pangeran Jayakarta Ke – I anak mantu/ menantu dari Sayyid Al-Kamil/ As-Syekh Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati/Maulana Jati. Sunan Gunung Jati, Kesultanan Banten, dan Cirebon, sehingga jelas semua koneksi politiknya. Dengan begitu, keterhubungan antar kerajaan dan pusat perdagangan pada abad ke-16 bisa terlihat dalam satu pandangan


Di dalam ada empat makam. Ratu Ayu Pembayun /Syarifah Fatimah binti Tubagus Fatahillah/Falatehan/Fadhillah Khan/Pangeran Jayakarta I + dengan Ratu Ayu Wangunan / Syarifah Khadijah putri dari Sayyid Al-Kamil/ As-Syekh Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati/Maulana Jati.Sebelahnya Tubagus Angke, Ratu Bagus Angke, Pangeran Gedeng Angke, ( Pangeran Jayakarta II sebagai penerus kepemimpinan Jayakarta) Pangeran Adipati (gubernur) Jayakarta Ke – 2 dan Pangeran Jayakarta II anak mantu/ menantu dari Tubagus Fatahillah/Falatehan/Fadhillah Khan/Pangeran Jayakarta Ke – I sebelahnya Sultan Hamid I dan Syekh Jafar Asnan / Pangeran Idrus

Makam Pangeran Tubagus Angke yang berada di Gang Masjid 1 RT/RW 005/05, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat


Bab 4 – Kepemimpinan Pangeran Tubagus Angke (Pangeran Jayakarta II)

4.1 Hubungan Keluarga dan Politik

Pangeran Tubagus Angke — yang juga dikenal sebagai Ratu Bagus AngkePangeran Gedeng Angke, atau Pangeran Jayakarta II — adalah penguasa Sunda Kelapa/Jayakarta ke-2 yang memerintah antara 1550–1577.
Ia adalah menantu dari Tubagus Fatahillah/Falatehan/Fadhillah Khan, pendiri Kesultanan Jayakarta dan penguasa pertama Jayakarta.

Pangeran Tubagus Angke menikah dengan:

  1. Ratu Ayu Pembayun / Syarifah Fatimah binti Tubagus Fatahillah, yang merupakan anak dari Pangeran Jayakarta I.
  2. Ratu Ayu Wangunan / Syarifah Khadijah, putri Sayyid Al-Kamil / As-Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), Sultan Cirebon.

Dari pernikahan ini, ia memiliki hubungan politik yang sangat erat dengan dua pusat kekuatan Islam di Jawa pada abad ke-16:

  • Kesultanan Cirebon (melalui pernikahan dengan cucu Sunan Gunung Jati).
  • Kesultanan Banten (melalui garis keturunan ibunya).

4.2 Jayakarta di Bawah Kekuasaan Tubagus Angke

Masa pemerintahan Tubagus Angke adalah periode konsolidasi setelah penaklukan Sunda Kelapa oleh Fatahillah (1527). Sebagai Pangeran Adipati Jayakarta ke-2, ia:

  • Memperkuat posisi Jayakarta sebagai pelabuhan penting di bawah perlindungan Kesultanan Banten.
  • Menjaga tatanan politik yang dibangun pendahulunya, dengan tetap memelihara hubungan baik dengan pusat kekuasaan Banten dan Cirebon.
  • Mengelola hubungan dagang internasional dengan pedagang dari Tiongkok, Gujarat, dan Arab.

4.3 Strategi Pertahanan dan Hubungan Dagang

Tubagus Angke menerapkan kebijakan pertahanan yang menitikberatkan pada:

  • Penguatan benteng dan pelabuhan di muara Ciliwung.
  • Pengendalian arus perdagangan agar tetap menguntungkan Kesultanan Banten.
  • Aliansi pernikahan politik yang memperkuat pertahanan dari ancaman Portugis di Malaka.

Di bidang perdagangan, ia memastikan:

  • Keamanan jalur laut menuju Banten.
  • Perdagangan rempah, beras, dan hasil bumi lain tetap terkontrol oleh penguasa lokal.
  • Hubungan harmonis dengan saudagar Tionghoa, yang banyak bermukim di sekitar pelabuhan.

4.4 Warisan dan Keturunan

Dari pernikahannya, Tubagus Angke memiliki anak-anak yang meneruskan garis kepemimpinan Jayakarta:

  1. Tubagus Sungerasa / Pangeran Wijayakrama / Pangeran Jayawikarta – Pangeran Jayakarta III, penerusnya sebagai Adipati Jayakarta ke-3.
  2. Ratu Mertakusuma – menikah dengan Sultan Abul Ma’ali.

Garis Keturunan

  • Ayah: As-Syekh Syarif Abdurrahman (Pangeran Panjunan), putra As-Syekh Syarif Nurjati (Syekh Datuk Kahfi), tokoh penyebar Islam di Cirebon.
  • Ibu: Nyai / Nyimas Putri Banten.
  • Melalui ayahnya, Tubagus Angke memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Sunan Gunung Jati, sedangkan dari ibunya ia terhubung dengan bangsawan Banten.
As-Syekh Syarif Nurjati / Datuk Kahfi- Syekh Idhofi- Syekh Nurul Jati- Syekh Nurijati- Syekh Datuk Barul- Syekh Datuk Iman- Syekh Dulyamin
MeninggalKesultanan Cirebon
Dimakamkan diAstana Gunung Sembung
Zaman– Kerajaan Sunda
– Kesultanan Cirebon
IstriSyarifah Halimah
Keturunan1.Syarif Abdurahman

2.Syarif Abdurrahim

3.Syarifah Fatimah ( Istri As-Syekh Syarif HidayatullahSunan Gunung Jati Sultan Cirebon 1482 – 1568 )

4.Syekh Datul Khafid
Orang tuaSyarif Ahmad / Syekh Datuk Ahmad merupalan cicit Pangeran Santri (Ki Gedeng Sumedang), penerus penguasa di Kerajaan Sumedang LarangJawa Barat
As-Syekh Syarif AbdurrahmanAs-Syekh Syarif Abdurrahman Gelar Pangeran Panjunan

As-Syekh Syarif Abdurrahman mempunyai adik bernama Syarifah Fatimah adalah Istri Sayyid Al-Kamil/ As-Syekh Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati/Maulana Jati.
MeninggalKesultanan Cirebon
ZamanKesultanan Cirebon
Istri~ Nyai Matangsari
~ Putri Banten
Keturunan1.Pernikahan dengan Nyai Matangsari :Pangeran Pamelekaran

2.Pernikahan dengan Putri Banten :Tubagus Angke
( Pangeran Jayakarta II )
 Adipati Jayakarta Ke – 2
Orang tua(Ayah) As-Syekh Syarif Nurjati/Syekh Datuk Kahfi/ Syekh Idhofi /Syekh Nurul Jati / Syekh Nurjati /Syekh Nurijati /Syekh Datuk Barul /Syekh Datuk Iman / Syekh Dulyamin putra Syarif Ahmad /Syeh Datuk Ahmad putra Maulana Isa putra Sayid Abdul Qadir putra Amir Abdullah putra Abdul Malik Azmatkhan.

(Ibu) Sayyidah Halimah

As-Syekh Syarif Abdurrahman

Gelar: Pangeran Panjunan
Seorang tokoh penting dari Kesultanan Cirebon pada abad ke-16, yang memiliki hubungan erat dengan pusat kekuasaan politik dan perdagangan di pesisir Jawa Barat.

Hubungan Keluarga Utama

  • Adik kandung: Syarifah Fatimah, yang menikah dengan Sayyid Al-Kamil / As-Syekh Syarif Hidayatullah / Sunan Gunung Jati / Maulana Jati, Sultan Cirebon dan salah satu Wali Sanga.
  • Dengan demikian, Syarif Abdurrahman adalah ipar dari Sunan Gunung Jati, dan pamannya secara tidak langsung bagi keturunan Sunan Gunung Jati.

Orang Tua

  • Ayah:As-Syekh Syarif Nurjati (Syekh Datuk Kahfi, juga dikenal dengan berbagai nama seperti Syekh Idhofi, Syekh Nurul Jati, Syekh Nurijati, dll.), seorang ulama besar dan penyebar Islam di Cirebon.
    • Garis keturunan ayah ini bersambung ke Sayid Abdul Qadir dan akhirnya ke Abdul Malik Azmatkhan, yang merupakan jalur keturunan Arab (sayyid) dari Hadramaut.
  • Ibu: Sayyidah Halimah.

Pernikahan & Keturunan

  1. Dengan Nyai Matangsari
    • Anak: Pangeran Pamelekaran.
  2. Dengan Putri Banten
    • Anak: Tubagus Angke (Pangeran Jayakarta II)
      → Menjadi Adipati Jayakarta ke-2, menggantikan mertuanya, Tubagus Fatahillah (Pangeran Jayakarta I).

Koneksi Politik

  • Melalui Putri Banten (istri kedua), ia menghubungkan keluarga Cirebon dengan Kesultanan Banten.
  • Melalui adiknya (Syarifah Fatimah), ia terhubung langsung dengan Sunan Gunung Jati dan Kesultanan Cirebon.
  • Melalui anaknya (Tubagus Angke), ia terkait dengan kekuasaan di Jayakarta (pelabuhan Sunda Kelapa yang dikuasai Demak-Cirebon sejak 1527).
  • Dengan demikian, Syarif Abdurrahman berada di simpul keluarga yang menghubungkan tiga kekuatan penting abad ke-16:
    1. Kesultanan Cirebon – basis agama & kekuasaan.
    2. Kesultanan Banten – pusat perdagangan lada dan pelabuhan strategis.
    3. Jayakarta – pelabuhan pengendali jalur rempah.

bagan silsilah keluarga Syarif Abdurrahman yang langsung menunjukkan hubungan ke Banten, Cirebon, dan Jayakarta, sehingga kita bisa melihat peta politiknya di satu gambar.Itu akan membuat koneksi abad ke-16 ini langsung terlihat jelas


Sayyid Al-Kamil/ As-Syekh Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati/Maulana Jati.
Lahir1448
Meninggal19 September 1568
Keraton KasepuhanKesultanan Cirebon
Dimakamkan diAstana Gunung Sembung
ZamanKerajaan Sunda Kesultanan Cirebon
Sultan Cirebon
1482 – 1568
PendahuluPangeran Cakrabuana
PenerusTubagus Fatahillah/Falatehan/Fadhillah Khan/Pangeran Jayakarta I
Istri1.Permaisuri Tua Nyai /Nyimas Ratu Dewi Pakungwati/Nyai /Nyimas Rara Jati

2.Permaisuri Muda Nyai /Nyimas Ratu Kawunganten

3.Selir Nyai /Nyimas Gedeng Babadan

4.Selir Nyai /Nyimas Ageng Tepasari (Syarifah) binti Ki Gede Tepasan (Arya Jaka Semprung) yang merupakan Keturunan Brawijaya V Kerajaan Majapahit Dari pernikahan tersebut maka Sayyid Al-Kamil mendapat sebutan Syarif Hidayatullah.

5.Selir Nyai /Nyimas Lara Baghdad

6.Selir Nyai /Nyimas Ong Tien Nioa

bernama Nyai Ageng Tepasari
Keturunan1.Pernikahan dengan Permaisuri Tua Nyai /Nyimas Ratu Dewi Pakungwati/Nyai /Nyimas Rara Jati:
– Pangeran Jayakalana putra sulung  tidak mempunyai keturunan- Kelak yang menggantikan kedudukan Pangeran Jaya Kelana sebagai putra mahkota adalah adiknya yang bernama Pangeran Brata Kelana, akan tetapi Pangeran Brata Kelana rupanya wafat sebelum naik tahta, sebab terbunuh oleh perompak yang merampoknya di tengah pelayaran.
– Pangeran Brata Kelana,terbunuh oleh perompak yang merampoknya di tengah pelayaran.

2.Pernikahan 1475 dengan Permaisuri Muda Nyai /Nyimas Ratu Kawunganten binti surosowan  bin Prabu siliwangi II+nyimas kentrik maning mayang sunda:
Abdurrahman Al Bagdadi Makam ing Megu Cirebon
– Pangeran Sabakingking al-Azmatkhan alias Maulana Hasanuddin (1478-1570)
 / Sultan Hasanuddin Banten / Sultan Syarif Maulana Hasanuddin

–  lahir pada tahun 1477 Ratu Winaon Wulung Ayu dinikahi oleh Pangeran Atas Angin dari negeri atas angin/Pangeran Atas Angin / Pangeran Raja Laut / Sayyid

3.Pernikahan dengan Nyai /Nyimas Gedeng Babadan :
– Nyai Armillah (istri Pangeran Pamelekaran
– Pangeran Trusmi (Syarif Abdurrahman)


4.Pernikahan dengan Rara Tepasan Rara Tepasan:
–  lahir 1493 M Ratu Wulung Ayu / Wangunan / Syarifah Khadijah
– Pangeran Pasarean

Orang tuaSyarif Abdullah Al-Hasyimi / Sultan Maulana Umdatuddin Al-Hasyimi bin Ali Nuruddin (Jarullah Abdul Aziz/Nurul Alam) bin Husein Jamaluddin Al-Akbar bin Mahmud Nasiruddin bin Makhdum Husein Jalaluddin An-Naqwi bin Ahmad Al-Kabir bin Sayyid Husain Jalaluddin Al-Bukhari bin Ali Al-Mu’ayyid. Ia menguasai wilayah Bani Ismail di Mesir dan Bani israil di Palestina/ Sultan Pertama Kesultanan Champa / Sultan Malaka) (ayah) 

Nyai /Nyimas Rara Santang (Syarifah Mudaim) binti Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran+nyimas subang larang/kencana ningrum subang lahir 1404 wafat 1441 (ibu).

Sunan Gunung Jati / Sayyid Al-Kamil / Syarif Hidayatullah (1448–1568)

  • Lahir: 1448
  • Wafat: 19 September 1568 di Keraton Kasepuhan, Kesultanan Cirebon
  • Dimakamkan: Astana Gunung Sembung, Cirebon
  • Zaman kekuasaan: Kerajaan Sunda dan Kesultanan Cirebon
  • Masa Sultan: 1482–1568 (sekitar 86 tahun memimpin, salah satu masa pemerintahan terpanjang di Nusantara)
  • Pendahulu: Pangeran Cakrabuana (Pangeran Walangsungsang)
  • Penerus: Tubagus Fatahillah / Falatehan / Fadhillah Khan / Pangeran Jayakarta I

Asal-usul & Orang Tua

  1. Ayah:
    • Syarif Abdullah Al-Hasyimi / Sultan Maulana Umdatuddin Al-Hasyimi
    • Keturunan sayyid dari jalur Ali bin Abi Thalib & Fatimah az-Zahra melalui silsilah ulama besar: Husein Jamaluddin Al-Akbar → Mahmud Nasiruddin → Makhdum Husein Jalaluddin An-Naqwi → Ahmad Al-Kabir → Sayyid Husain Jalaluddin Al-Bukhari → Ali Al-Mu’ayyid.
    • Menguasai wilayah Bani Ismail di Mesir dan Bani Israil di Palestina, serta tercatat sebagai Sultan pertama Kesultanan Champa dan pernah berkuasa di Malaka.
  2. Ibu:
    • Nyai / Nyimas Rara Santang (Syarifah Mudaim)
    • Putri Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran dan Nyimas Subang Larang (nama lain: Kencana Ningrum Subang).
    • Nyimas Subang Larang lahir 1404, wafat 1441.

Istri-istri

  1. Permaisuri Tua: Nyai/Nyimas Ratu Dewi Pakungwati (Nyimas Rara Jati)
  2. Permaisuri Muda: Nyai/Nyimas Ratu Kawunganten binti Surosowan bin Prabu Siliwangi II
  3. Selir: Nyai/Nyimas Gedeng Babadan
  4. Selir: Nyai/Nyimas Ageng Tepasari (Syarifah) binti Ki Gede Tepasan (keturunan Brawijaya V Majapahit)
  5. Selir: Nyai/Nyimas Lara Baghdad
  6. Selir: Nyai/Nyimas Ong Tien Nio

Keturunan

  1. Dengan Permaisuri Tua Nyimas Ratu Dewi Pakungwati:
    • Pangeran Jayakalana (tidak memiliki keturunan)
    • Pangeran Brata Kelana (terbunuh perompak sebelum naik tahta)
  2. Dengan Permaisuri Muda Nyimas Ratu Kawunganten:
    • Maulana Hasanuddin Banten (Pangeran Sabakingking al-Azmatkhan) — kelak menjadi Sultan Banten pertama (1478–1570)
    • Ratu Winaon Wulung Ayu — menikah dengan Pangeran Atas Angin / Pangeran Raja Laut / Sayyid dari negeri luar
  3. Dengan Nyimas Gedeng Babadan:
    • Nyai Armillah (menikah dengan Pangeran Pamelekaran)
    • Pangeran Trusmi (Syarif Abdurrahman)
  4. Dengan Nyimas Ageng Tepasari (Rara Tepasan):
    • Ratu Wulung Ayu (Syarifah Khadijah / Wangunan), lahir 1493
    • Pangeran Pasarean

Peran Politik & Hubungan Kekerabatan

  • Sunan Gunung Jati menjadi figur sentral dalam penyebaran Islam di Jawa Barat dan Banten.
  • Melalui pernikahan politik, ia menghubungkan Kesultanan Cirebon, Kesultanan Banten, dan Kerajaan Pajajaran.
  • Anak-anaknya memegang posisi strategis:
    • Maulana Hasanuddin mendirikan Kesultanan Banten.
    • Pangeran Trusmi memimpin wilayah Trusmi, pusat ulama dan pengrajin batik.
    • Keturunan lain terhubung dengan bangsawan Jayakarta, Banten, dan Majapahit.

bagan visual silsilah Sunan Gunung Jati ini supaya koneksi politik dan pernikahannya langsung kelihatan. Bagan mirip peta keluarga + jaringan politik abad ke-15–16.

penguasa Sunda Kelapa/Jayakarta “Regent of Jakarta” atau “Koning van Jacatra” Tubagus Angke, Ratu Bagus Angke, Pangeran Gedeng Angke, ( Pangeran Jayakarta II sebagai penerus kepemimpinan Jayakarta) Pangeran Adipati (gubernur) Jayakarta Ke – 2
Pangeran Jayakarta II anak mantu/ menantu dari Tubagus Fatahillah/Falatehan/Fadhillah Khan/Pangeran Jayakarta Ke – I
Berkuasa1550 – 1577
PendahuluTubagus Fatahillah/Falatehan/Fadhillah Khan/Pangeran Jayakarta I
PenerusTubagus Sungerasa / Pangeran Wijayakrama/ Pangeran Jayawikarta Pangeran Jayakarta III Pangeran Adipati (gubernur)  Jayakarta Ke – 3
Kelahiran & Kematianlahir 1475 & wafat 1577 dalam usia 102 tahun
PasanganRatu Ayu Pembayun /Syarifah Fatimah binti Tubagus Fatahillah/Falatehan/Fadhillah Khan/Pangeran Jayakarta I berpasangan dengan Ratu Ayu Wangunan / Syarifah Khadijah putri dari Sayyid Al-Kamil/ As-Syekh Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati/Maulana Jati.
Keturunan1.Tubagus Sungerasa / Pangeran Wijayakrama/ Pangeran Jayawikarta / Pangeran Jayakarta III PangeranAdipati (gubernur)  Jayakarta Ke – 3

2.Ratu Mertakusuma ( Istri Sultan Abul Ma’ali )
WangsaTubagus
AyahAs-Syekh Syarif Abdurrahman /Pangeran Panjunan putra As-Syekh Syarif Nurjati dengan Sayyidah Halimah.As-Syekh Syarif Nurjati bergelar Syekh Datuk Kahfi (dikenal juga dengan nama Syekh Idhofi atau Syekh Nurul Jati atau Syekh Nurjati atau Syekh Nurijati atau Syekh Datuk Barul atau Syekh Datuk Iman atau Syekh Dulyamin putra Syarif Ahmad

As-Syekh Syarif Abdurrahman /Pangeran Panjunan mempunyai adik bernama Syarifah Fatimah adalah Istri Sayyid Al-Kamil/ As-Syekh Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati/Maulana Jati.
IbuNyai / Nyimas Putri Banten
AgamaIslam

Tubagus Angke / Pangeran Jayakarta II

  • Nama dan Gelar
    Dikenal sebagai Tubagus Angke, Ratu Bagus Angke, atau Pangeran Gedeng Angke. Dalam catatan Eropa kadang disebut Regent of Jakarta atau Koning van Jacatra.
    Ia adalah Pangeran Jayakarta II, Adipati (gubernur) Jayakarta ke-2, menggantikan Pangeran Jayakarta I (Tubagus Fatahillah/Falatehan/Fadhillah Khan).
  • Masa Kekuasaan
    Memerintah Jayakarta sekitar 1550–1577.
  • Pendahulu
    Mertuanya sendiri: Tubagus Fatahillah — panglima dan tokoh penting yang menguasai Sunda Kelapa dari Portugis tahun 1527 dan mengganti namanya menjadi Jayakarta.
  • Penerus
    Tubagus Sungerasa alias Pangeran Wijayakrama / Pangeran Jayawikarta, yang menjadi Pangeran Jayakarta III.
  • Kelahiran dan Kematian
    Lahir 1475, wafat 1577 dalam usia 102 tahun (menurut sumber tradisi Banten dan Cirebon).
  • Keluarga dan Perkawinan
    Menikah dengan Ratu Ayu Pembayun (Syarifah Fatimah), putri Tubagus Fatahillah, sekaligus dengan Ratu Ayu Wangunan (Syarifah Khadijah), putri Sunan Gunung Jati (Sayyid Al-Kamil).
    Hal ini menempatkan Tubagus Angke di pusat jaringan kekuasaan yang menghubungkan Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon, dan Jayakarta.
  • Keturunan
    1. Tubagus Sungerasa / Pangeran Wijayakrama / Pangeran Jayawikarta (Pangeran Jayakarta III).
    2. Ratu Mertakusuma, menikah dengan Sultan Abul Ma’ali.
  • Wangsa
    Termasuk dalam Wangsa Tubagus (keturunan sayyid dari jalur Arab-Hadramaut yang berasimilasi di Banten dan Cirebon).
  • Asal-usul Ayah
    Ayahnya adalah As-Syekh Syarif Abdurrahman (Pangeran Panjunan), putra As-Syekh Syarif Nurjati (Datuk Kahfi) dengan Sayyidah Halimah.
    Syarif Abdurrahman memiliki saudari bernama Syarifah Fatimah yang menikah dengan Sunan Gunung Jati — ini berarti Tubagus Angke adalah keponakan ipar Sunan Gunung Jati sekaligus menantu Fatahillah.
  • Asal-usul Ibu
    Ibunya adalah Putri Banten, yang memperkuat hubungan darah dengan keluarga kerajaan Banten.
  • Agama
    Islam.

Koneksi Politik Abad ke-16

Tubagus Angke berada pada posisi strategis dalam jaringan kekuasaan:

  1. Jayakarta — memimpin wilayah penting di muara Ciliwung yang menjadi pelabuhan utama perdagangan.
  2. Kesultanan Banten — terhubung melalui darah dari ibunya (Putri Banten) dan menantunya (Sultan Hasanuddin Banten adalah paman sepupu).
  3. Kesultanan Cirebon — punya hubungan erat melalui ayahnya yang berasal dari keluarga ulama-penguasa Cirebon dan pernikahan dengan putri Sunan Gunung Jati.
  4. Pusat Perdagangan Internasional — mengontrol titik strategis yang menjadi simpul jalur rempah antara Malaka, Demak, Banten, dan Maluku.

Kehidupan kota pelabuhan Jayakarta pada masa kolonial awal (1700-an), lukisan yang mencerminkan tata letak pelabuhan dan kawasan perdagangan.

Suasana pelabuhan atau benteng tua Jayakarta, menampilkan struktur dan benteng yang mencerminkan pentingnya pertahanan laut dalam sejarah awal kota.

Potret figur sejarah klasik—contoh representasi seniman Asia Selatan abad ke-17—yang memberi wawasan gaya artistik era tersebut, meskipun tidak mengacu langsung pada figur lokal seperti Pangeran Jayakarta III.

Bab 5 – Tubagus Sungerasa (Pangeran Jayakarta III)

5.1 Masa Awal Kepemimpinan

Tubagus Sungerasa, yang juga dikenal sebagai Pangeran Wijayakrama atau Pangeran Jayawikarta, adalah penguasa ketiga Jayakarta (1577–1619). Gelarnya termasuk Pangeran Adipati (setara dengan gubernur) Jayakarta. Ia merupakan putra Tubagus Angke (Pangeran Jayakarta II) dan Syarifah Fatimah, yang merupakan putri dari Tubagus Fatahillah (Pangeran Jayakarta I).
Dengan demikian, Tubagus Sungerasa memiliki hubungan darah langsung sekaligus garis keturunan politik yang sangat kuat, menggabungkan dua dinasti besar pendiri Jayakarta.

5.2 Hubungan dengan Kesultanan Banten

Pada masa itu, Jayakarta berada di bawah pengaruh Kesultanan Banten. Sebagai Pangeran Adipati, Tubagus Sungerasa bertindak sebagai wakil Sultan Banten di wilayah Jayakarta, yang sekaligus menjadi pelabuhan penting untuk perdagangan internasional. Kedekatannya dengan Kesultanan Banten sangat penting, baik secara politik maupun militer, terutama untuk menghadapi ancaman dari pihak luar seperti VOC.

5.3 Kerjasama dengan Inggris dan Konflik dengan VOC

Dalam menghadapi tekanan dari VOC (Belanda), Tubagus Sungerasa menjalin hubungan baik dengan Inggris yang saat itu juga bersaing memperebutkan dominasi perdagangan di Nusantara. Inggris diberi izin membangun loji (gudang dagang) di Jayakarta sebagai bentuk aliansi strategis.
Kebijakan ini menimbulkan ketegangan dengan VOC, karena Belanda menganggap Inggris sebagai saingan berat yang dapat menghalangi monopoli perdagangan mereka di wilayah Jawa Barat.

5.4 Serangan Jayakarta 1618 dan Mundurnya Pasukan

Ketegangan tersebut memuncak pada Serangan Jayakarta 1618, di mana pasukan gabungan Jayakarta dan Inggris berusaha mengusir VOC dari wilayahnya. Meskipun serangan awal cukup berhasil, situasi berbalik setelah Belanda mendapat bala bantuan dari Ambon dan Maluku.
Tekanan militer yang meningkat memaksa Tubagus Sungerasa mundur ke wilayah Kesultanan Banten pada tahun 1619. Peristiwa ini menjadi awal dari berakhirnya kekuasaan lokal Jayakarta dan pembukaan jalan bagi VOC untuk membangun Batavia di bekas wilayah Jayakarta.


penguasa Sunda Kelapa/Jayakarta “Regent of Jakarta” atau “Koning van Jacatra” Ki Buyut Katengahan / Tubagus Sungerasa / Pangeran Wijayakrama/ Pangeran Jayawikarta Pangeran Jayakarta III (sebagai penerus kepemimpinan Jayakarta) Pangeran Adipati (gubernur) Jayakarta Ke – 3 / Pangeran Jayakarta III
Berkuasa1577 – 1619
PendahuluPangeran Tubagus Angke
PenerusPangeran Achmad Jakerta/ Pangeran Achmad Jaketra ( Pangeran Adipati (gubernur)  Jayakarta Ke – 4 )
KematianKesultanan Banten
KeturunanPangeran Achmad Jakerta/ Pangeran Achmad Jaketra sebagai penerus kepemimpinan Jayakarta )( Pangeran Adipati (gubernur)  Jayakarta Ke – 4 / Pangeran Jayakarta IV
WangsaTubagus
AyahTubagus Angke ( Pangeran Jayakarta II ) Pangeran Adipati (gubernur) Jayakarta Ke – 2
IbuFatimah binti Tubagus Fatahillah/Falatehan/Fadhillah Khan/Pangeran Jayakarta I
AgamaIslam

Bab 6 – Pangeran Achmad Jakerta (Pangeran Jayakarta IV) :


6.1 Latar Belakang dan Penunjukan sebagai Adipati

Pangeran Achmad Jakerta, atau dikenal juga sebagai Pangeran Achmad Jaketra, adalah penguasa terakhir Jayakarta sebelum kejatuhannya ke tangan VOC pada tahun 1619.

  • Lahir pada 1593 di Kesultanan Banten.
  • Merupakan putra dari Tubagus Sungerasa (Pangeran Wijayakrama / Pangeran Jayakarta III), penguasa Jayakarta ke-3.
  • Berasal dari Wangsa Tubagus, sebuah keluarga bangsawan yang memiliki garis keturunan langsung dari Tubagus Fatahillah, pendiri Jayakarta.
  • Ditunjuk sebagai Pangeran Adipati Jayakarta ke-4 (gubernur Jayakarta) menggantikan ayahnya pada tahun 1619, di bawah pengaruh politik Kesultanan Banten dan beraliansi dengan Kesultanan Mataram.

6.2 Perlawanan terhadap VOC

  • Pada awal kepemimpinannya, Jayakarta sudah berada dalam situasi tegang dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
  • VOC berupaya memperluas kekuasaannya di wilayah pelabuhan strategis Jayakarta, sedangkan Pangeran Achmad Jakerta mempertahankan kedaulatan kota dan mendukung perdagangan bebas dengan berbagai pihak, termasuk Inggris dan pedagang Asia.
  • Menjalin komunikasi dengan kekuatan lain untuk mengimbangi dominasi VOC, mirip dengan strategi ayahnya.

6.3 Pertempuran 1619 dan Gugurnya Sang Pangeran

  • 30 Mei 1619, VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen melancarkan serangan besar-besaran terhadap Jayakarta.
  • Pertempuran ini berlangsung sengit di darat dan laut.
  • Pasukan Jayakarta yang dipimpin Pangeran Achmad Jakerta bersama sekutu-sekutunya tidak mampu menahan kekuatan gabungan VOC yang dibantu pasukan dari Maluku.
  • Pangeran Achmad Jakerta gugur dalam pertempuran ini, menandai berakhirnya kekuasaan keluarga Tubagus di Jayakarta.

6.4 Dampak Jatuhnya Jayakarta dan Lahirnya Batavia

  • Kekalahan ini mengakhiri status Jayakarta sebagai kota pelabuhan mandiri.
  • VOC segera membangun Batavia di atas puing-puing Jayakarta, menjadikannya pusat administrasi dan perdagangan VOC di Asia Tenggara.
  • Kesultanan Banten kehilangan salah satu titik strategisnya di pesisir utara Jawa, sementara jalur perdagangan internasional mulai terkonsentrasi di bawah kendali VOC.
  • Keturunan Pangeran Achmad Jakerta dan bangsawan Jayakarta banyak yang berpindah ke Banten atau wilayah pedalaman.

Pangeran Jayakarta IV – Pangeran Achmad Jakerta

  • Gelar & Jabatan: Pangeran Adipati Jayakarta ke-4
  • Masa Pemerintahan: 1619 – 30 Mei 1619
  • Kesultanan yang Berkuasa: Mataram (di Jayakarta)
  • Ayah: Tubagus Sungerasa (Pangeran Wijayakrama / Pangeran Jayakarta III)
  • Kakek: Tubagus Angke (Pangeran Jayakarta II)
  • Buyut: Tubagus Fatahillah (Fadhillah Khan) – pendiri Jayakarta dan Sultan Cirebon ke-2

Urutan Nazab Lengkap

  1. Pangeran Achmad Jakerta (Pangeran Jayakarta IV)
    • Adipati Jayakarta ke-4 (1619)
    • Memimpin Jayakarta saat serangan VOC 1619 dan gugur mempertahankan kota.
  2. bin Tubagus Sungerasa (Pangeran Wijayakrama / Pangeran Jayakarta III)
    • Adipati Jayakarta ke-3 (1577 – 1619)
    • Menjalin aliansi dengan Inggris, berseteru dengan VOC.
  3. bin Tubagus Angke (Pangeran Jayakarta II)
    • Adipati Jayakarta ke-2 (1550 – 1577)
    • Mengembangkan pelabuhan Jayakarta sebagai pusat perdagangan pesisir.
  4. bin Tubagus Fatahillah (Fadhillah Khan)
    • Adipati Jayakarta ke-1 (1530 – 1550)
    • Sultan Cirebon ke-2 (1568 – 1570)
    • Pendiri Jayakarta (22 Juni 1527) setelah mengalahkan Portugis di Sunda Kelapa.

Makna Hubungan Keturunan:

  • Keempat generasi ini memegang kekuasaan di Jayakarta secara berkesinambungan hingga VOC merebut kota pada 1619.
  • Semua berasal dari Wangsa Tubagus, yang punya darah bangsawan Arab-Hadrami dan Jawa, dengan hubungan erat ke Kesultanan Cirebon dan Banten.
  • Ada kesinambungan politik antara Cirebon – Banten – Jayakarta – Mataram, yang menjadikan keluarga ini pusat kekuatan maritim dan perdagangan di pesisir utara Jawa.
penguasa Sunda Kelapa/Jayakarta “Regent of Jakarta” atau “Koning van Jacatra” Pangeran Achmad Jakerta/ Pangeran Achmad Jaketra sebagai penerus kepemimpinan Jayakarta )( Pangeran Adipati (gubernur)  Jayakarta Ke – 4 / Pangeran Jayakarta IV
Berkuasa1619 – 30 Mei 1619
Pendahulu

Pengganti
Tubagus Sungerasa / Pangeran Wijayakrama/ Pangeran Jayakarta III Pangeran Adipati (gubernur) Jayakarta Ke – 3

Arya Ranamanggala pada tahun 1619
Kelahiranlahir  1593Kesultanan Banten
WangsaTubagus
AyahTubagus Sungerasa / Pangeran Wijayakrama/ Pangeran Jayawikarta Pangeran Jayakarta III Pangeran Adipati (gubernur) Jayakarta Ke – 3
AgamaIslam

1. Identitas dan Posisi

  • Nama Lengkap: Pangeran Achmad Jakerta / Pangeran Achmad Jaketra
  • Gelar: Pangeran Adipati Jayakarta Ke-4 (Pangeran Jayakarta IV)
  • Tahun Lahir: ± 1593
  • Tahun Wafat: 30 Mei 1619
  • Tempat Pemakaman: Jatinegara Kaum, Klender, Jakarta Timur (dimakamkan bersama Pangeran Sangiang)
  • Status: Adipati (gubernur) yang ditunjuk oleh Kesultanan Banten untuk memimpin Jayakarta.

2. Hubungan dengan Kesultanan Banten

  • Ia memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Kesultanan Banten melalui garis keturunan Tubagus.
  • Meski demikian, statusnya bukan raja Banten, melainkan penguasa bawahan yang bertindak sebagai wakil resmi Kesultanan Banten di wilayah Jayakarta.
  • Jayakarta pada saat itu adalah pelabuhan strategis Banten yang menjadi pusat perdagangan internasional.

3. Masa Pemerintahan

  • Periode Berkuasa: 1619 – 30 Mei 1619
  • Menggantikan ayahnya, Tubagus Sungerasa / Pangeran Wijayakrama / Pangeran Jayakarta III, yang memimpin dari 1577–1619.
  • Memimpin Jayakarta pada masa konflik memuncak antara Kesultanan Banten dan VOC (Belanda).
  • Sebagai Adipati, ia bertanggung jawab mengelola hubungan diplomatik, perdagangan, dan pertahanan kota.

4. Konflik dengan VOC

  • Pangeran Achmad Jakerta memiliki kebijakan yang menentang monopoli perdagangan VOC.
  • Jayakarta menjalin hubungan dengan pihak lain seperti Inggris, yang membuat VOC merasa terancam.
  • Perselisihan ini memuncak dalam serangan VOC pada Mei 1619 di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen.

5. Kejatuhan Jayakarta

  • 30 Mei 1619: Pasukan VOC berhasil merebut dan membakar Jayakarta.
  • Pangeran Achmad Jakerta gugur atau ditangkap (tergantung sumber sejarah), menandai akhir pemerintahan Jayakarta di bawah Kesultanan Banten.
  • Setelah itu, VOC membangun kota baru bernama Batavia di atas puing-puing Jayakarta.

6. Penggantian

  • Setelah kejatuhan Jayakarta, Kesultanan Banten menunjuk Arya Ranamanggala sebagai Adipati pengganti, tetapi peran ini hanya simbolis karena VOC sudah menguasai wilayah tersebut.

7. Peran dalam Sejarah Jakarta

  • Pangeran Achmad Jakerta dikenang sebagai tokoh terakhir penguasa pribumi Jayakarta sebelum kota tersebut jatuh ke tangan VOC.
  • Meskipun ia tidak memerintah sebagai raja Banten, kontribusinya dalam mempertahankan Jayakarta dari kolonialisme membuatnya menjadi bagian penting sejarah perlawanan di Jakarta.

1. Tubagus Sungerasa / Pangeran Wijayakrama / Pangeran Jayakarta III

  • Jabatan: Pangeran Adipati Jayakarta Ke-3 (1577–1619)
  • Perlawanan terhadap VOC:
    • Pada Desember 1618, Pangeran Jayakarta III membangun aliansi strategis dengan Laksamana Inggris Thomas Dale.
    • Tujuan utamanya adalah mengusir Jan Pieterszoon Coen (Gubernur Jenderal VOC) dari Jayakarta.
    • Kerja sama Inggris–Jayakarta ini sempat menekan VOC secara militer dan logistik.
  • Kegagalan dan Kemunduran:
    • VOC memperoleh bantuan tak terduga dari Kesultanan Banten, yang pada saat itu memiliki hubungan dagang penting dengan Belanda.
    • Bantuan ini membuat posisi Pangeran Jayakarta III melemah secara signifikan.
    • Akibat tekanan militer dan politik, ia terpaksa mundur dari pertempuran.

2. Pangeran Achmad Jakerta / Pangeran Jayakarta IV

  • Jabatan: Pangeran Adipati Jayakarta Ke-4 (1619)
  • Latar Belakang:
    • Merupakan putra dari Pangeran Jayakarta III.
    • Mengambil alih kepemimpinan Jayakarta setelah ayahnya terpukul mundur oleh VOC.
  • Perjuangan Melawan VOC:
    • Melanjutkan perjuangan ayahnya dengan semangat yang sama untuk mempertahankan Jayakarta dari dominasi VOC.
    • Menghadapi tekanan militer yang lebih besar karena VOC mendapat dukungan logistik dan persenjataan yang kuat.
  • Akhir Perjuangan:
    • Pertempuran memuncak pada 30 Mei 1619, ketika VOC di bawah Jan Pieterszoon Coen merebut dan membakar Jayakarta.
    • Pangeran Achmad Jakerta gugur atau ditangkap (tergantung versi sumber sejarah).
    • Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan pribumi Jayakarta dan awal berdirinya Batavia oleh VOC.

Garis Besar Konflik

  1. 1618: Ayah (Pangeran Jayakarta III) menggandeng Inggris → sempat menekan VOC.
  2. VOC mendapat bantuan Banten → ayah mundur.
  3. 1619: Anak (Pangeran Jayakarta IV) melanjutkan perlawanan → gugur dalam pertempuran.
AspekKeterangan
LokasiJatinegara Kaum, Jakarta Timur (Kompleks Masjid Jami’ Assalafiyah)
Makam UtamaPangeran Achmad Jakerta / Jayakarta IV
Makam PendampingPangeran Lahut, Pangeran Soeria, Pangeran Sageri, Ratu Rupiah
Status HukumCagar Budaya sejak 1999
Tradisi ZiarahRamai dikunjungi peziarah reguler, terutama Jumat Kliwon dan Ramadhan

Daftar Pustaka

Buku & Artikel:

  • Sukirno, Ade. Pangeran Jayakarta (Perintis Jakarta lewat sejarah Sunda Kelapa). Jakarta: Grasindo, 1995.
  • Tim Publikasi Kearsipan. Mengenal Jakarta Tempo Doeloe (Bagian 4: Masa Kerajaan Jayakarta). Jakarta: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi DKI Jakarta, 2019.
  • Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Jakarta City of History. Jakarta: PT Jayakarta Agung Offset, n.d.
  • Pudjiastuti, Titik, ed. Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat Sultan Banten. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia/Toyota Foundation, 2007.
  • Ricklefs, M. C. A History of Modern Indonesia since c.1200. 3rd ed. London: Palgrave Macmillan, 2001.
  • Vlekke, Bernard H. M. Nusantara: Sejarah Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.
  • Bowring, Philip. Nusantaria: Sejarah Maritim Asia Tenggara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2019.
  • Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500–1900. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982.
  • Pires, Tomé. Suma Oriental. Edited by Armando Cortesão. London: Hakluyt Society, 1944.

Sumber Digital & Ensiklopedia:

Arsip & Sumber Primer:

Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Inventarisasi Makam Pangeran Jayakarta dan Kompleks Jatinegara Kaum. Jakarta: Disbud DKI, 2018.

Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Kumpulan Surat Perjanjian VOC dengan Kesultanan Banten 1600–1700. Koleksi Arsip Kolonial, No. 123/Banten.

Museum Sejarah Jakarta. Pameran Tetap Jayakarta: Dari Sunda Kelapa ke Batavia. Katalog Pameran, 2020.

Kata Penutup

Pangeran Jayakarta bukan sekadar nama yang tertulis di lembar-lembar sejarah; ia adalah simbol keteguhan, keberanian, dan kehormatan yang mengalir dalam darah anak bangsa. Dari Fatahillah hingga Pangeran Achmad Jakerta, garis keturunan ini mewariskan lebih dari sekadar jabatan dan wilayah — mereka mewariskan identitas, harga diri, dan tekad untuk mempertahankan tanah kelahiran.

Di Jatinegara Kaum, pusara mereka berdiri sebagai saksi bisu, namun suaranya tetap bergema bagi siapa saja yang mau mendengar. Di antara nisan-nisan tua itu, tersimpan cerita tentang perlawanan, pengkhianatan, persahabatan, dan pengorbanan. Warisan itu tidak hanya milik keturunan Tubagus atau pewaris resmi garis darah, tetapi milik seluruh masyarakat Jakarta — bahkan Nusantara.

Sejarah Jayakarta mungkin telah berubah menjadi Batavia, dan Batavia kemudian menjadi Jakarta, tetapi semangatnya tak pernah padam. Selama kita mengingat dan menjaga cerita ini, selama kita memuliakan jejak para pendahulu, maka Pangeran Jayakarta akan terus hidup — bukan hanya di buku-buku, tetapi di hati dan sikap kita dalam menjaga tanah air.

Karena sesungguhnya, warisan terbesar dari para pendahulu bukanlah mahkota atau tahta, melainkan keberanian untuk berkata: “Tanah ini, tanah kita — dan kita akan menjaganya.”


“Jayakarta mungkin telah berganti nama… tetapi darahnya tetap mengalir.”

Dari jejak Fatahillah hingga gugurnya Pangeran Achmad Jakerta, buku ini menelusuri garis keturunan para penguasa Jayakarta yang mengikat sejarah Jakarta Lama. Di Jatinegara Kaum, di antara nisan tua dan bisikan angin, tersimpan kisah perlawanan melawan VOC, intrik politik antara Kesultanan Banten, Cirebon, dan Mataram, serta warisan tak ternilai bagi generasi penerus.

Bukan sekadar sejarah, ini adalah kisah tentang keberanian, pengkhianatan, persahabatan, dan pengorbanan — yang membentuk wajah Jakarta hari ini.
Siapa pun yang ingin memahami jiwa kota ini, harus memulai dari para penjaga garis darahnya.