Jejak Terlupakan: Raja Sultan Wirakusuma II dan Sultan Tamjidillah II dalam Sejarah Banjar yang Tersembunyi

Dalam kajian historiografi Kesultanan Banjar, nama-nama seperti Pangeran Antasari dan Hidayatullah II sering kali menempati posisi sentral dalam narasi resmi. Namun di balik dominasi naratif tersebut, terdapat tokoh-tokoh penting yang jejak historisnya justru terekam secara signifikan dalam arsip kolonial Hindia Belanda, namun terabaikan dalam historiografi lokal. Dua di antaranya adalah Raja Sultan Wirakusuma, yang dalam konteks lokal dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi Sultan Ratu Anom Wirakusuma II, serta Sultan Tamjidillah.

Pangeran Mangkubumi Sultan Ratu Anom Wirakusuma II, cucu langsung dari Sultan Adam Al-Watsiq Billah, merupakan bagian dari garis utama Dinasti Kesultanan Banjar. Meskipun memiliki garis keturunan yang kuat dan peran strategis dalam dinamika politik istana, nama beliau nyaris tidak muncul dalam penulisan sejarah Banjar arus utama. Padahal, catatan kolonial seperti laporan Van Rees dan dokumen Binnenlands Bestuur justru mencatat kehadirannya secara eksplisit, mengindikasikan peran dan pengakuan administratif yang tidak dapat diabaikan.

Demikian pula halnya dengan Sultan Tamjidillah, yang dalam masa transisi kekuasaan Banjar pada pertengahan abad ke-19 mendapatkan legitimasi dari pemerintah kolonial sebagai Sultan Banjar. Pengakuan ini bertolak belakang dengan nasib Pangeran Hidayatullah II, yang meskipun dianggap sah oleh sebagian besar elite adat dan masyarakat Banjar, tidak pernah mendapatkan pengakuan resmi dari pihak Belanda hingga akhir hayatnya. Kondisi ini mencerminkan adanya dikotomi antara legitimasi adat-tradisional dan legitimasi administratif-kolonial, yang kerap kali menimbulkan konflik otoritas di masa penjajahan.

Ketidakhadiran nama Pangeran Wirakusuma II dalam sejarah resmi Banjar kemungkinan merupakan bagian dari proses penghapusan historiografis (historical omission) yang didorong oleh alasan politis dan naratif. Narasi sejarah pascakolonial cenderung menyoroti tokoh-tokoh yang melawan dominasi kolonial secara langsung, sementara tokoh-tokoh yang berada dalam posisi kompleks—baik sebagai mediator, administrator, atau bahkan korban konflik internal istana—sering kali dikesampingkan.

Pengakuan terhadap Pangeran Mangkubumi Wirakusuma II dalam dokumen resmi Belanda menandakan bahwa ia memainkan peran administratif dan politis yang signifikan, meskipun tidak selalu sejalan dengan narasi perjuangan rakyat. Untuk itu, pendekatan historiografi kritis perlu diterapkan guna merekonstruksi ulang sejarah secara lebih adil dan holistik, mengakui keberagaman posisi dan pengalaman dalam sejarah lokal.

Kesimpulan

Penelusuran terhadap tokoh-tokoh seperti Pangeran Mangkubumi Sultan Ratu Anom Wirakusuma II, cucu Sultan Adam Al-Watsiq Billah, dan Sultan Tamjidillah membuka ruang baru dalam memahami kompleksitas sejarah Kesultanan Banjar. Mereka adalah bagian dari struktur kekuasaan dan dinamika sosial-politik yang sah secara historis, meskipun kerap diabaikan dalam narasi resmi.

Sejarah tidak boleh hanya dibaca dari satu sisi. Sebaliknya, ia harus mencerminkan pluralitas suara dan perspektif, termasuk mereka yang selama ini dianggap ambigu atau “tidak sesuai” dengan narasi dominan. Dengan demikian, rekonstruksi sejarah Banjar yang lebih objektif dan menyeluruh menjadi sebuah kebutuhan mendesak untuk menyambung kembali benang sejarah yang terputus dan menghadirkan kebenaran sejarah bagi generasi masa kini.

📌 Catatan Redaksi:
Publikasi ini dapat dikutip untuk keperluan jurnal sejarah, penelitian budaya, serta dokumentasi arsip keluarga kerajaan yang sah, dengan menyebutkan sumber resmi dari Yayasan Pangeran Wirakusumah cianjur jawa barat

📝 Atas nama keluarga besar Pengurus Yayasan Pangeran Wirakusumah Cianjur Jawa barat
Gusti Pangeran Wirakusuma VI – Coach.Antung Henry S
Generasi Keempat dari Sultan Ratu Anom Wirakusuma II
(Trah Kesultanan Banjar, Kalimantan Selatan – Pengasingan Cianjur)
📞 0882-8927-911